Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Esais; Founder Growthmedia, dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Plan, Create, Inspire

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Plasma "Convalescent", Jalan Kesembuhan Pasien Covid-19 dari Para "Mantan"

3 April 2020   06:41 Diperbarui: 3 April 2020   07:02 794
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berbagai upaya dilakukan semua pihak untuk mengobati korban terinfeksi coronavirus covid-19. Sebagaimana diketahui, hingga saat ini masih belum ditemukan vaksin "resmi" yang bisa menangkal virus dari keluarga corona ini. 

Beberapa waktu lalu pemerintah Indonesia melalui Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyebut dua jenis obat yaitu Chloroquine dan Avigan sebagai "obat penawar" dari infeksi virus corona. 

Berdasarkan pengujian yang dilakukan di Wuhan, Avigan terbilang cukup efektif untuk mengobati pasien terinfeksi covid-19. Sedangkan Chloroquin yang merupakan obat anti malaria juga dianggap efekfif memerangi coronavirus seiring kemampuannya dalam memblokir virus dan merangsang kekebalan tubuh. 

Akan tetapi, meski dalam beberapa pengujian memiliki potensi besar untuk mengobati pasien positif covid-19, kedua jenis obat ini belum terbukti secara klinis menyembuhkan pasien positif coronavirus. 

Selain itu, Avigan dan Chloroquin tidak bisa sembarangan dikonsumsi mengingat efek sampingnya yang berbahaya. Obat-obat tersebut berisiko menyebabkan gangguan pada penglihatan serta gangguan pada fungsi jantung. Terlebih apabila dipergunakan dalam waktu lama serta dengan dosis yang tinggi.

Dengan kata lain, keberadaan vaksin anti virus covid-19 sejauh ini masih belum benar-benar ditemukan. Baru pada tahap pengujian lab untuk menakar keampuhan vaksin tersebut dalam mengobati pasien terinfeksi. 

Beberapa negara pun berlomba-lomba untuk menjadi yang pertama menemukan antivirus covid-19 ini. Indonesia termasuk diantaranya, dengan digawangi oleh Lembaga Biologi Molekuler Eijkman (LBME) untuk memimpin riset pengembangan vaksin antivirus corona. 

Namun, sejauh ini belum ada yang berani memberikan gambaran pasti perihal kapan vaksin yang dinanti-nantikan itu akan hadir ke tengah-tengah masyarakat.

Harapan Kesembuhan dari Mantan Penderita COVID-19 yang Sembuh

Di sisi lain gencarnya upaya menemukan obat penawar untuk virus corona covid-19 dilakukan, sekelompok ilmuwan ternyata tengah mengambangkan cara pengobatan lain yang memiliki potensi besar dalam meningkatkan angka kesembuhan orang-orang yang terinfeksi virus corona. Metode ini mempergunakan plasma convalescent sebagai serum untuk menolong para korban terinveksi virus.

Sejak pandemi ini mengglobal yang dimulai dari Kota Wuhan, China, akhir Januari 2020 lalu kita semua dihebohkan dengan situasi disana yang seakan begitu mencekam. 

Bahkan beberapa Warga Negara Indonesia (WNI) yang tinggal disana sampai harus dievakuasi oleh pemerintah Indonesia dan dipulangkan ke tanah air. Tapi apadaya setelah beberapa waktu berlalu kini justru Indonesia yang mengalami situasi serupa. Sebaliknya, Wuhan semakin menunjukkan kesembuhannya. 

Status darurat dicabut, rumah sakit darurat ditutup, dan warga mulai beraktivitas normal kembali. Tak ayal keberhasilan Wuhan pun menjadi perhatian dunia dan dijadikan sebagai rujukan beberapa negara untuk mengatasi situasi serupa. Mulai dari penerapan lockdown hingga kajian kelimuan untuk menemukan metode pengobatan terbaik.

Plasma convalescent merupakan salah satu dari sekian terapi yang diujikan kepada para korban terinfeksi coronavirus. Dan sepertinya hasilnya terlihat baik untuk mengupayakan kesembuhan pasien coronavirus, bahkan bagi mereka yang dalam kondisi kritis sekalipun. Apa itu plasma convalescent? Yaitu plasma dari pasien yang sudah sembuh dari serangan coronavirus. 

Plasma merupakan komponen penyusun mayoritas darah kita, dan merupakan cairan hampir bening yang tersisa setelah sel darah merah dan sel darah putih dikeluarkan dari darah. 

Tersusun sebagian besar dari air (90%) serta sisanya zat-zat lain seperti imunoglobin, antibodi, elektrolit, protein, dan gula. Plasma yang diperoleh dari mantan pasien yang sembuh dari infeksi covid-19 lantas diinjeksikan kepada pasien positif covid-19. 

Mereka yang mendapatkan tranfusi plasma ini disebutkan bisa menghambat lepasnya virus dari sel tubuh, mencegah infeksi baru ke sel, dan meningkatkan kemampuan sel untuk membersihkan diri dari infeksi virus. 

Bisa dikatakan keampuhan plasma convalescent ini cukup mumpuni. Paling tidak itulah yang diyakini oleh penanggung jawab penyembuhan pasien covid-19 di China, Dr Liu Bende.

Permasalahannya, plasma convalescent tidak bisa dibuat langsung oleh laboratorium. Ia membutuhkan sumber donor berupa darah seseorang yang pernah terinfeksi covid-19 dan sembuh total darinya, serta tidak mengidap penyakit seperti HIV, sipilis, serta beberapa penyakit lain yang berpotensi menular lewat transfusi darah. 

Para mantan penderita yang dipandang risih secara sosial oleh masyarakat sekitar ternyata memiliki peran mahapenting dalam memberikan sumbangsih penanggulangan pandemi covid-19 ini. 

Dengan kondisi dimana kesembuhan pasien terinfeksi covid-19 adalah karena antibodi dalam tubuhnya,  maka "sumbangan" antibodi dari pasien yang berhasil menumpas covid-19 itu mungkin akan sangat membantu pasien-pasien lain agar mendapatkan kesembuhan serupa. 

Para mantan pasien yang berhasil menaklukkan ganasnya covid-19 bisa menjadi  jalan keluar kesembuhan para korban di tengah ketidakpasian kapan vaksin antivirus ditemukan. 

Mengutip dari laman mediaindonesia.com, seorang pendonor bisa memberikan setidaknya 600 ml plasma yang kemudian jumlah itu dibagi-bagi kedalam wadah berukuran 200-225 ml, atau dengan kata lain satu orang pendorong bisa berekontribusi terhadap 3 orang terinfeksi covid-19. 

Bayangkan berapa banyak nyawa yang bisa ditolong jikalau metode ini benar-benar berjalan sebagaimana yang diharapkan. Seiring lebih banyaknya jumlah pasien covid-19 yang berhasil sembuh, maka itu memberikan kesempatan besar bagi mereka yang masih terinfeksi untuk mendapatkan keadaan serupa. Ternyata covid-19 benar-benar bisa dilawan dengan kebersamaan.

Hal ini sekaligus menjadi pembelajaran berharga bagi kita bahwa mereka yang pernah mengidap covid-19 di tubuhnya bukanlah orang-orang yang mesti dijauhi. Justru mereka adalah harapan baru kita. Para mantan itu memiliki sesuatu yang berharga untuk membantu kesembuhan orang-orang yang pernah senasib dengannya.

Social Solidarity

Covid-19 yang menjadi pandemi dunia belakangan ini telah memberikan dampak cukup besar terhadap cara berhubungan antar manusia. Ada kecenderungan satu orang dengan orang yang lain menaruh curiga satu sama lain. 

Bersin yang biasanya dipandang sebagai hal wajar, kini justru memantik begitu banyak kekhawatiran. Jabat tangan yang sudah menjadi kebiasaan turun-temurun seolah kini menjadi hal yang tabu untuk dilakukan. 

Bahkan yang lebih ironis adalah cara masyarakat memperlakukan orang-orang yang memiliki "afiliasi" dengan covid-19, baik itu pasien terinfeksi, dokter yang merawat pasien covid-19, atau korban yang meninggal dunia akibat covid-19 semuanya dianggap sebagai sosok-sosok yang mesti dijauhi. 

Mereka ditolak, diusir, dan diminta menjauh. Social distance tapi mengabaikan social solidarity. Kenyataan inikah yang mesti kita hadapai akibat terjadinya pandemi ini?

Sungguh sangat disayangkan melihat peristiwa dimana para petugas medis diusir dari tempat tinggalnya hanya karena mereka berjuang melaksanakan tugas merawat pasien covid-19. Mereka seharusnya diberikan dukungan yang memadai, bukan malah diperlakukan bak seorang tersangka kasus kriminal. Begitu juga dengan korban meninggal dunia covid-19. 

Sebagian kelompok masyarakat berkeras hati menentang pemakaman dilakukan di wilayah mereka. Takut tertular. Padahal protokol medisnya jelas terkait pemakaman sehingga tidak sampai menjangkiti warga sekitar kuburan. 

Namun, kekhawatiran berlebih telah menjadikan kita kehilangan solidaritas sebagai seorang manusia. Mereka yang meninggal karena covid-19 dalam keyakinan muslim adalah syahid, akan tetapi justru terlihat sebagai seseorang yang terazab. Ditolak pemakamannya disana-sini. Padahal ini terjadi lebih karena pudarnya solidaritas sosial kita.

Plasma convalescent yang merupakan cara penyembuhan dari para mantan pengidap covid-19 mungkin merupakan sebuah pengingat bahwa diantara kita semua harus mengedepankan kepedulian satu sama lain. 

Yang sehat menolong yang sakit, yang sembuh dari sakit membantu yang sedang sakit, dan seterusnya. Covid-19 jumlahnya sangat banyak dan keberadaannya tak kasatmata. Kita tidak bisa melawannya sendirian. Kita butuh bersinergi, menjaga solidaritas, dan senantiasa waspada. Semoga pandemi ini lekas usai.

Salam hangat,
Agil S Habib 

Refferensi: [1]; [2]; [3]; [4]; [5]; [6]; [7]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun