Mengutip dari laman mediaindonesia.com, seorang pendonor bisa memberikan setidaknya 600 ml plasma yang kemudian jumlah itu dibagi-bagi kedalam wadah berukuran 200-225 ml, atau dengan kata lain satu orang pendorong bisa berekontribusi terhadap 3 orang terinfeksi covid-19.Â
Bayangkan berapa banyak nyawa yang bisa ditolong jikalau metode ini benar-benar berjalan sebagaimana yang diharapkan. Seiring lebih banyaknya jumlah pasien covid-19 yang berhasil sembuh, maka itu memberikan kesempatan besar bagi mereka yang masih terinfeksi untuk mendapatkan keadaan serupa. Ternyata covid-19 benar-benar bisa dilawan dengan kebersamaan.
Hal ini sekaligus menjadi pembelajaran berharga bagi kita bahwa mereka yang pernah mengidap covid-19 di tubuhnya bukanlah orang-orang yang mesti dijauhi. Justru mereka adalah harapan baru kita. Para mantan itu memiliki sesuatu yang berharga untuk membantu kesembuhan orang-orang yang pernah senasib dengannya.
Covid-19 yang menjadi pandemi dunia belakangan ini telah memberikan dampak cukup besar terhadap cara berhubungan antar manusia. Ada kecenderungan satu orang dengan orang yang lain menaruh curiga satu sama lain.Â
Bersin yang biasanya dipandang sebagai hal wajar, kini justru memantik begitu banyak kekhawatiran. Jabat tangan yang sudah menjadi kebiasaan turun-temurun seolah kini menjadi hal yang tabu untuk dilakukan.Â
Bahkan yang lebih ironis adalah cara masyarakat memperlakukan orang-orang yang memiliki "afiliasi" dengan covid-19, baik itu pasien terinfeksi, dokter yang merawat pasien covid-19, atau korban yang meninggal dunia akibat covid-19 semuanya dianggap sebagai sosok-sosok yang mesti dijauhi.Â
Mereka ditolak, diusir, dan diminta menjauh. Social distance tapi mengabaikan social solidarity. Kenyataan inikah yang mesti kita hadapai akibat terjadinya pandemi ini?
Sungguh sangat disayangkan melihat peristiwa dimana para petugas medis diusir dari tempat tinggalnya hanya karena mereka berjuang melaksanakan tugas merawat pasien covid-19. Mereka seharusnya diberikan dukungan yang memadai, bukan malah diperlakukan bak seorang tersangka kasus kriminal. Begitu juga dengan korban meninggal dunia covid-19.Â
Sebagian kelompok masyarakat berkeras hati menentang pemakaman dilakukan di wilayah mereka. Takut tertular. Padahal protokol medisnya jelas terkait pemakaman sehingga tidak sampai menjangkiti warga sekitar kuburan.Â
Namun, kekhawatiran berlebih telah menjadikan kita kehilangan solidaritas sebagai seorang manusia. Mereka yang meninggal karena covid-19 dalam keyakinan muslim adalah syahid, akan tetapi justru terlihat sebagai seseorang yang terazab. Ditolak pemakamannya disana-sini. Padahal ini terjadi lebih karena pudarnya solidaritas sosial kita.