Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Esais; Founder Growthmedia, dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Plan, Create, Inspire

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Menyoal Kualitas Rumah Sakit Rujukan Covid-19

28 Maret 2020   11:51 Diperbarui: 28 Maret 2020   12:03 550
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto RSPI Sulianti Saroso, salah satu rumah sajit rujukan korban coronavirus yang ditunjuk pemerintah | Sumber gambar : kabar24.bisnis.com

Beberapa rumah sakit sudah ditunjuk oleh pemerintah untuk menjadi rumah sakit rujukan penanganan kasus virus corona covid-19 di Indonesia. Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI nomor HK.01.07/MENKES/169/2020 tentang Penetapan Rumah Sakit Rujukan penanggulangan Penyakit Infeksi Emerjing Tertentu, terdapat setidaknya 132 rumah sakit rujukan yang bertugas mengurus penyembuhan pasien teridentifikasi covid-19 yang tersebar di 34 provinsi.

Rumah sakit rujukan itu setidaknya harus memenuhi beberapa kriteria yang ditetapkan oleh pemerintah, yaitu memiliki fasilitas ruang isolasi dan memiliki tenaga medis yang sanggup menangani pasien coronavirus. 

Dua hal inilah yang dipersyaratkan oleh pemerintah untuk menilai kesiapan sebuah rumah sakit, khususnya rumah sakit yang berafiliasi dengan pemerintah atau rumah sakit umum. Namun, sebenarnya persyaratan tersebut juga perlu ditambah lagi yaitu terkait kualitas pelayanan yang diberikan kepada para pasien. 

Jangan hanya karena ditunjuk menjadi rumah sakit rujukan lantas pelayanan terhadap pasien dilakukan  dalam standar yang "sangat biasa". Bagaimanapun juga seorang yang sakit ingin mendapatkan tempat yang cukup layak untuk memulihkan kondisinya seperti sediakala.

Beberapa bulan lalu seorang rekan mengisahkan pengalamannya saat merawat sanak keluarga di salah satu rumah sakit. Keluarganya itu mengalami gangguan pada paru-parunya dan kondisinya bisa dibilang sangat buruk. 

Beberapa hari dirawat di sebuah rumah sakit namun seperti tidak ditangani secara serius, alasannya adalah tidak memiliki tenaga medis yang memiliki kompetensi untuk itu. 

Atau alat bantu yang diperlukan untuk perawatan penyakit tersebut tidak tersedia disana sehingga kerabat dari rekan saya tersebut terpaksa harus "diungsikan" ke rumah sakit lain. Meskipun pada akhirnya kerabat dari rekan tadi juga tidak bisa ditolong lagi. 

Beliau menghembuskan nafas terakhir di rumah sakit akibat penyakit paru yang akut.

Beberapa hari setelah berduka, rekan saya berkeluh kesah terkait kekecewaanya terhadap pihak rumah sakit yang pertama kali menangani kerabatnya itu. Pelayanannya ia nilai buruk dan tempatnya sangat tidak nyaman. 

Saya membayangkan pastilah tidak mengenakkan berada di suatu tempat perawatan namun kondisinya justru membuat penat. Mungkin kita bisa beranggapan bahwa seperti itulah kualitas dari kelas "orang biasa". 

Secukupnya saja kalau tidak bisa dibilang ala kadarnya. Bayangkan jika situasi serupa dialami oleh pasien-pasien yang berada di rumah sakit rujukan coronavirus ini. 

Pandemi yang membikin kalut banyak orang, ditambah kondisi tempat perawatan yang kurang bersahabat. Bisa-bisa bukannya sembuh yang didapat, tetapi justru frustasi dan emosi.

Dalih kelas ekonomi dalam kasus covid-19 tidak bisa lagi dijadikan alasan minimnya kualitas pelayanan. Karena covid-19 tidak memiliki kriteria ekonomi dalam menjangkiti korbannya. 

Semua orang, tua atau muda, kaya atau miskin, pria atau wanita, kecil atau dewasa semua berpeluang sama untuk menjadi korban keganasan coronavirus. Sehingga semua pelayanan harus diberikan secara setara. 

Perawatan yang baik harus bisa dirasakan oleh semua orang. Pertanyaannya sekarang, mampukah semua rumah sakit rujukan melakukan hal itu? 

Jangan-jangan antara satu rumah sakit rujukan dengan rumah sakit rujukan lainnya memiliki ketimpangan dalam hal pelayanan, ketersediaan ruang isolasi, atau bahkan kepasitas dan kualitas tenaga medisnya. 

Pemerintah mungkin sudah memiliki pertimbangan tertentu dalam menentukan jumlah serta rumah sakit pada pada setiap daerah. Hanya saja apakah pemerintah sudah benar-benar menguji kualitas layanannya juga?

Saya khawatir akan adanya sebuah pernyataan yang menyebutkan, "masih syukur ada rumah sakit yang bersedia menjadi rumah sakit rujukan.", atau "Syukur-syukur rumah sakit kita masih bisa menampung jumlah korban terinfeksi coronavirus.", serta beberapa pernyataan sejenis lainnya. Apabila hal ini sampai terjadi maka itu tandanya ada keraguan besar dibalik kualitas penanganan pihak rumah sakit terhadap para pasiennya. 

Kita disini sedang membicarakan tentang kualitas, bukan tentang kuantitas. Apabila yang diungkapkan adalah terkait kuantitas rumah sakit yang bisa mengurus orang-orang terinfeksi covid-19, tentu ini adalah masalah serius.

 Semua jenis tempat bisa difungsikan sebagai rumah sakit selama memenuhi standar sebuah gedung rumah sakit. Rumah seseorang bisa menjadi gedung rumah sakit. 

Rumah ibadah pun juga bisa. Bahkan sebuah hotel dari bintang satu sampai bintang lima juga memiliki kemampuan serupa. Masalah utamanya adalah sebaik apa layanan yang diberikan. 

Sebaik apa daya dukung diberikan dalam merawat para pasien terinfeksi. Maksud utama seseorang masuk rumah sakit adalah mengupayakan kesembuhan atau kesehatan atas sakit yang dialaminya. Dan bagaimana bisa sebuah kesembuhan diperoleh apabila penanganannya tidak maksimal?

Namun apabila pelayanan terbaik dan upaya terbaik telah dikerahkan oleh segenap pihak rumah sakit namun ternyata hasilnya masih tidak sesuai harapan, maka bisa jadi itulah jalan takdir yang sudah ditetapkan. 

Kita hanya bisa berusaha. Dan usaha itu seharusnya usaha yang terbaik. Apabila ada sesuatu hal yang dirasa perlu ada di sebuah rumah sakit rujukan coronavirus, maka semestinya hal itu sudah harus diketahui pemerintah selaku pemberi mandat sejak jauh-jauh hari.

 Seperti yang terjadi belakangan ini dimana tenaga medis mengeluhkan minimnya Alat Pelindung Diri (APD). Bahkan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mengultimatum tidak akan melakukan penanganan pasien coronavirus apabila tidak dibekali peralatan yang memadai. bagaimanapun juga kita harus berlaku adil kepada para petugas medis. 

Mereka dituntut memberikan layanan terbaik kepada pasiennya, tetapi mereka juga harus dibekali perlengkapan yang memadai oleh si pemberi mandat. Karena penuntasan kasus coronavirus hanya bisa dilakukan apabila kita saling bekerja sama.

 Salam hangat,

Agil S Habib 

Refferensi :[1]; [2]; [3]; [4]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun