'Amul hazn atau tahun duka cita. Demikian waktu itu dikenal kala dua orang terkasih Nabi Muhammad SAW yaitu Sayyidah Khadijah (istri beliau) dan Abu Thalib (paman beliau) wafat dalam rentang waktu tidak jauh berbeda.Â
Abu Thalib dan Khadijah meninggal hanya terpisah jarak waktu beberapa hari saja. Hal ini tentu sangat membuat hati nabi terpukul dan bersedih.Â
Kepergian dua sosok tersebut juga berarti ancaman kaum kafir Quraisy semakin besar karena tidak ada lagi tokoh di pihak baginda nabi yang disegani oleh kaum Quraisy kala itu. Perjuangan dakwah sang nabi menjadi semakin terasa berat pasca wafatnya mereka berdua.
Tekanan yang beliau terima dari kaum Quraisy selepas kepergian paman dan istri tercintanya sangatlah besar. Membuat beliau seakan ingin menyerah terhadap kondisi ini.Â
Bukan hanya hinaan yang harus beliau terima. Tetapi juga siksaan yang bertubi-tubi. Ditolak berdakwah oleh beberapa pihak. Dan belum lagi "embargo" yang harus diterima oleh keluarga beliau dari beberapa kelompok kafir Quraisy sehingga membuat mereka tidak memiliki sesuatu apapun untuk dimakan.
Di balik semua kesedihan yang Rasulullah alami, Allah SWT seakan ingin menghibur beliau dan memberi pelipur lara atas cobaan yang bertubi-tubi. Hingga suatu malam peristiwa luar biasa itu terjadi. Baginda nabi dijemput oleh Malaikat Jibril untuk melakukan perjalanan Isra dan Mi'raj.Â
Perjalanan satu malam dari Masjidil Haram di Mekkah menuju ke Masjidil Aqsa di Palestina, dilanjutkan perjalanan dari Masjidil Aqsa ke Sidratul Muntaha.Â
Dalam perjalanan ini baginda Nabi Muhammad SAW menerima secara langsung perintah shalat lima waktu yang menjadi "ritual" wajib umat Islam di dunia.Â
Inilah satu-satunya ibadah yang Allah SWT berikan secara langsung kepada Rasulullah tanpa melalui perantara malaikat Jibril sebagaimana kewajiban-kewajiban seorang muslim yang lain. Sehingga bisa dikatakan bahwa memang ada nilai spesial dibalik ibadah shalat ini.
Duka Lara Virus Corona dan Shalat yang Meneduhkan Jiwa
Sebanyak 32 nyawa melayang oleh sebab coronavirus yang melanda Indonesia bukanlah angka yang sedikit. Bahkan saat 1 nyawa saja yang hilang hal itu sudah menjadi kesedihan mendalam bagi keluarga yang ditinggalkan. Apalagi dengan 32 nyawa.Â
Berapa banyak orang yang bersedih oleh karena hal itu? Ini baru di Indonesia.Â
Menilik sejarah pengalaman hidup Rasulullah yang begitu bersedih tatkala ditinggal orang terkasih serta perlakuan semena-mena lingkungan terhadap beliau. Ibadah shalat merupakan hadiah terindah yang Allah SWT berikan kepada beliau dan juga umatnya.Â
Bahkan setelah jauh dari masa beliau pun hingga kini shalat diyakini sebagai alat ampuh untuk merilekskan diri sekaligus sarana mendamaikan diri. Rahasia shalat khusyuk dikuak oleh beberapa pakar seperti oleh Ustadz Abu Sangkan misalnya.Â
Diriwayatkan para sahabat nabi semisal Ali bin Abi Thalib atau Umar bin Khatab pernah meminta untuk dicabut hunusan pedang atau anak panah yang menancap pada tubuh mereka pada saat menunaikan shalat.Â
Bukti bahwa ibadah ini adalah saat terbaik bagi hamba mendekat kepada pencipta-Nya. Rasulullah pun setiap kali merasakan kepenatan yang amat sangat menjadikan shalat sebagai sarana untuk menata kembali pikirannya.
Tapi sayangnya kini tidak sedikit dari umat Islam sendiri yang lupa perihal esensi shalat yang sebenarnya. Ia hanya sebatas dipahami sebagai ritual wajib harian saja. Tidak lebih. Padahal shalat adalah Mi'raj kita untuk bersua Sang Empunya kehidupan.Â
Saat untuk menyerahkan sepenuhnya ketidakberdayaan seorang hamba atas segala peristiwa yang terjadi di dunia ini.Â
Virus corona yang begitu membabi buta telah membuat kita seakan tak berdaya. Membuat kita seolah-olah bukan lagi makhluk paling mulia dan berderajat paling tinggi sebagai masterpiece ciptaan-Nya. Mengapa? Karena kita melupakan satu poin penting dari pelaksanaan ibadah shalat yang setiap hari kita jalankan.Â
"Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Tuhan Semesta Alam." Bukankah itu yang selalu kita lantunkan dalam rakaat pertama ibadah shalat? Kita menjadi kurang berserah diri dan kurang meyakini ketetapan-Nya karena betapa lalainya kita selama ini.
Menurut Ary Ginanjar Agustian dalam buku ESQ-nya, shalat adalah media pembentukan karakter yang ampuh. Didalamnya ada begitu banyak lafal bermakna positif yang secara repetitif kita ucapkan setiap kali mengerjakan shalat.Â
Jikalau kalimat afirmasi itu kita pahami dan hayati maksudnya setiap kali terucap dari lisan dan hati kita, maka tentunya hal itu akan memberikan sugesti yang membentuk karakter hebat seorang insan. Lagi-lagi sayangnya kita yang terlalu hafal diluar kepala setiap bacaan itu malah semakin kehilangan rasa.
Peringatan Isra Mi'raj di tengah-tengah pandemi Covid-19 mungkin bukan sesuatu yang ideal. Akan tetapi justru pada momen inilah kita menjadi ingat bahwa ada satu "hadiah" besar yang diberikan Allah SWT kepada hamba-Nya dalam rupa ibadah shalat.Â
Ketika duka itu mendekat oleh karena virus corona, maka shalatlah sebagai wujud keberserahdirian kita atas segala ketentuan-Nya.Â
Betapapun kita dihinggapi kekhawatiran dan ketakutan atas virus corona, satu yang pasti bahwa ajal tidak bisa dimajukan dan tidak bisa dimundurkan biar sedetikpun. Tugas kita hanya berusaha dan berupaya. Selebihnya biar Allah SWT yang menentukan. Dan apapun ketentuan-Nya, itu pasti yang terbaik.
Salam hangat,
Agil S HabibÂ
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI