Coronavirus atau Covid-19 telah dinyatakan sebagai pandemi oleh WHO. Hampir semua negara-negara besar dunia menjadi sasaran persebaran virus ini. China, Korea Selatan, Amerika Serikat, Australia, bahkan hingga Indonesia tak luput dari paparannya.
Tak ayal situasi ini membuat panik sebagian besar orang, terutama mereka di wilayah yang terinfeksi. Seakan menjadi efek domino, kepanikan dan kekhawatiran ini menyulut problematika lain yang tak kalah pelik.Â
Ekonomi karut marut, beberapa bahan kebutuhan melonjak tinggi harganya, kelangkaan stok barang, dan lain sebagainya. Belum lagi masalah hoaks yang selalu saja ada di tengah-tengah masalah, seolah tak mau ketinggalan.
Semua ini menuntut kita untuk waspada dan lebih jeli dalam menyikapi segala situasi. Salah-salah ketika bertindak tanpa berpikir panjang bukan tidak mungkin hal itu malah justru merugikan diri kita sendiri di masa yang akan datang, dan mungkin juga memberikan dampak buruk bagi kebanyakan orang.
Dalam rangka menyikapi kondisi semacam ini maka kita butuh "alat bantu" untuk membuat kita lebih arif dalam bersikap, lebih kritis dalam berpikir, dan lebih jeli dalam mengambil tindakan. Kita membutuhkan mindset yang tepat untuk memosisikan diri terhadap pandemi penyakit di era modern ini.
Bagaimanapun juga saat ini kita tidak hanya patut waspada terhadap penyakit itu sendiri sebagai inti masalahnya. Akan tetapi kita juga mesti memahami hal-hal lain di luar itu yang juga turut mengambil "peran".Â
Pandemi penyakit akibat virus mungkin bukan kali ini saja terjadi. Mengutip dari laman katadata.co.id, ada beberapa pandemi yang pernah terjadi dengan merenggut banyak korban jiwa.
Di antaranya pandemi Flu Spanyol yang menewaskan sekitar 500 juta jiwa pada kurun waktu 1918-1918. Kemudian ada pandemi cacar yang membunuh sekitar 300 juta nyawa manusia sejak periode 10.000 SM sampai 1979.Â
"Black death" menjadi pandemi sejak tahun 1340-1771 dengan menelan tidak kurang dari 75 juta jiwa. Pandemi campak sejak abad ke-7 SM sampai dengan 1963 sudah menelan korban sekitar 200 juta jiwa.
Dari beberapa kasus pandemi tersebut kebanyakan terjadi di masa lalu di mana arus informasi tidak "liar" seperti sekarang. Informasi dari satu belahan dunia ke belahan dunia lain tidaklah secepat sekarang tersebarnya. Sehingga meskipun menimbulkan banyak korban jiwa hal itu seakan dipandang sebagai sesuatu yang biasa.
Bahkan meski covid-19 ditengarai tidak jauh lebih berbahaya dibandingkan SARS atau Flu Burung, sebaran informasinya jauh lebih cepat dibandingkan virus "pendahulunya" itu. Dikatakan juga bahwa persebaran informasi tentang Covid-19 ini seringkali lebih membuat khawatir ketimbang sebaran virus itu sendiri.
Kita membutuhkan pola pikir yang tepat untuk menyikapi semua ini. Harapannya adalah kita bisa bersikap secara tepat dan proporsional dalam menanggulangi setiap situasi yang ada. Pola pikir disruptif petama yang kita perlukan adalah terkait pentingnya sebuah ide dan penolakan akan batasan-batasan tertentu.Â
Dalam hal ini kita bisa melihat virus corona telah menciptakan kepanikan yang luar biasa. Satu orang dengan orang yang lain sama-sama berupaya memproteksi diri masing-masing dari penularan. Sebagian orang berbondong-bondong datang ke rumah sakit untuk dites apakah dirinya terinfeksi virus ini atau tidak. Akibatnya beberapa RS kewalahan melayani pasien. Belum lagi ketika rumah sakit bersangkutan memiliki keterbatasan peralatan. Masalah lagi.
Dalam hal ini disruptive mindset akan men-drive kita untuk berpikir beberapa langkah ke depan. Haruskah pihak RS saja yang mengambil peran terkait pengujian kesehatan seseorang? Haruskah menggunakan peralatan yang "itu-itu" saja untuk melakukan pengujian? Kita memiliki cukup banyak perguruan tinggi atau universitas yang bergerak di bidang medis.Â
Kita memiliki orang-orang cerdas di bidang teknologi yang bisa membuat alat-alat nan kreatif. Apakah tidak sepatutnya mereka diberdayakan? Selama prinsipnya tetap mengacu pada standar yang ditetapkan oleh WHO maka seharusnya itu tidak menjadi masalah.
Indonesia khususnya, memang mengalami cukup banyak kendala terkait penanganan corona ini. Akan tetapi hal itu seharusnya tidak membuat ruang gerak kita lebih terbatas. Kita punya ide yang bisa diberdayakan dalam menanggulangi masalah ini. Jangan hanya menggunakan cara pikir lama yang konvensional dan biasa-biasa saja. Dan saya kira kita bisa untuk itu.
Disruptive mindset selanjutnya yang sangat penting untuk kita miliki adalah perihal semangat untuk mencari solusi. Corona telah masuk ke Indonesia dan beberapa pihak saling tunjuk siapa yang salah dan mesti bertanggung jawab atas hal ini. Pemerintah dituding kurang sigap dalam mencegah pandemi ini masuk ke Indonesia.Â
Akibatnya jumlah korban yang terinfeksi pun sudah melewati angka 100 orang. Mencari kambing hitam dan menunjuk salah satu pihak yang bersalah sebenarnya sudah tidak ada gunanya lagi. Hal itu tidak akan membuat coronavirus hilang dari bumi Indonesia. Justru sebaliknya hal itu akan semakin memperkeruh suasana.
Dengan semangat solusi hal itu akan membawa kita saling bergandengan tangan dan saling bekerja sama mencarikan solusi terbaik atas masalah ini. Pemerintah pusat dan daerah mesti menyatukan visi dan pandangan agar pandemi ini bisa segera diatasi.
Penting juga bagi kita untuk selalu update kabar terbaru terkait perkembangan corona di dalam dan luar negeri. Sebagaimana ramai diberitakan bahwa corona mungkin mengalami mutasi sehingga membuat "perilakunya" berubah dan menjadi lebih sulit ditangani. Hal ini jikalau diabaikan tentu akan membuat kita ketinggalan langkah oleh virus ini.Â
Salah-salah kebijakan yang diberlakukan seperti protokol penanganan juga akan turut bermasalah. Masyarakat umum pun harus senantiasa melihat kabar terbaru dan tentunya tervalid untuk mengecek status penanganan serta memelihara kewaspadaan diri.
Pemberitaan terkait pencegahan dan penanganan sesuatu situasi dan kondisi terbaru haruslah diperoleh dari sumber terpercaya. Disruptive mindset seperti ini akan membuat kita bertahan di tengah kepungan ketidakpastian masalah akibat coronavirus ini.
Pola pikir disruptif selanjutnya yang sangat penting untuk kita miliki adalah mengedepankan strategi dalam memecahkan masalah. Hal ini diperlukan agar strategi penangan yang diambil benar-benar merupakan alternatif terbaik untuk menuntaskan masalah, memiliki risiko terkecil, serta memberikan dampak positif terbesar.Â
Misalnya seperti kebijakan lockdown, pengaturan bahan pangan, penjagaan akses perbatasan, pembatasan transportasi, dan lain sebagainya. Semuanya harus dilihat dari sudut pandang strategis.
Melihat apa yang dilakukan oleh Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dengan kebijakannya yang membatasi moda transportasi busway demi meredam persebaran virus corona, hal itu malah berujung pada antrian panjang mengular di beberapa halte bus TransJakarta. Hal itu membuat Anies dicerca oleh banyak kalangan.
Disruptive mindset memang perlu dimiliki oleh para pengambil kebijakan. Namun setiap orang juga harus memilikinya sehingga bisa betindak dengan lebih bertanggung jawab dalam menyikapi kondisi saat ini. Akan ada banyak kekhawatiran dan kepanikan yang terjadi di masyarakat akibat dari hal ini. Biarkan para petugas terkait menjalankan fungsi dan tugasnya.Â
Kita pun demikian, menjalankan peran kita untuk tidak membikin suasana semakin kacau. Arahan yang diberikan oleh pemerintah memang harus kita ikuti, akan tetapi kita juga harus kritis apabila pemberlakuan kebijakan tersebut ternyata justru memperburuk situasi. Penilaian semacam ini perlu kita miliki dengan cara mengedepankan pola pikir disruptif.
Cogito ergo sum. Aku berpikir maka aku ada. Aku berpikir maka aku hidup.
Salam hangat,
Agil S HabibÂ
Refferensi: [1]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H