Baru-baru ini kita dibuat mengelus dada oleh sebuah kasus pembunuhan yang dilakukan oleh remaja putri berusia 15 tahun dengan inisial NF terhadap seorang balita berusia 5 tahun.Â
Sungguh sebuah kesedihan besar bagi keluarga korban yang harus mendapati kenyataan buah hati tercintanya harus merenggang nyawa oleh perbuatan NF yang sebenarnya tidak memiliki rekam jejak sakit hati kepada korban ataupun keluarganya.Â
Perbuatan nista NF semata didasarkan oleh karena ia terisnpirasi adegan sadis dari tontonan youtube kegemarannya. Padahal disebut-sebut NF sebenarnya merupakan sosok remaja cerdas, ini terlihat dari coretan tulisan curahan hatinya yang kebanyakan dituangkan dalam bahasa inggris. Namun yang patut disayangkan NF justru berbuat kriminal tanpa menampakkan tanda-tanda penyesalan sedikitpun.
Seperti disampaikan dalam keterangan polisi, NF justru menyatakan dirinya puas telah melakukan aksi pembunuhan. Sebuah tanda seorang psikopat.Â
Psikopat kecil lebih tepatnya mengingat usianya yang masih sangat belia. Hanya saja usianya yang masih muda itu dan dibalut dalam sikapnya yang jarang bergaul serta terkesan pendiam itu ternyata menyimpan kebengisan luar biasa.Â
Dalam diamnya ia menyimpan obsesi yang membikin hati kita menangis. Bagaimana bisa menghilangkan nyawa manusia disebut membikin hati puas?
Entah ini sebenarnya murni kesalahan NF atau karena tontonannya yang salah. Anehnya, sang orang tua NF tidak tahu tontonan kegemaran putrinya itu. Tidakkah terasa janggal bagi orang tua tatkala tahu bahwa buah hatinya mengagumi aksi yang berbahaya seperti pada film "Chucky"? Tapi hal ini ternyata lepas dari pantauan keluarga NF.Â
Sang putri "melenggang bebas" menikmati tontonan tanpa dipilih dan dipilah lebih dahulu. Apakah ini karena NF dianggap sudah cukup dewasa untuk memilih tontonan yang tepat dan baik untuk dirinya sendiri? Youtube dengan segala konten yang ada didalamnya benar-benar menunjukkan kepada kita terkait seberapa besar manfaat dan juga berbahayanya ia. Dan terlihat jelas disini kebiasaan NF tidak terpantau oleh keluarganya.
Saat membaca pemberitaan tentang kasus ini jujur saya teramat sangat jengkel. Tapi saya hanya bisa mengelus dada melihat fenomena "edan" seperti ini.Â
Di satu sisi remaja "pembunuh" ini tidak pantas dikasihani karena merenggut nyawa bocah tak berdosa. Disisi lain, saya juga bertanya-tanya mengapa sekarang remaja-remaja begitu mudahnya menghilangkan nyawa orang lain.Â
Sungguh sulit untuk berkata-kata lebih jauh untuk menggambarkan aksi remaja berinisial NF ini. Bahkan saat dikonfirmasi kepada orang tuanya, sang ayah juga mengaku kaget mendengar peristiwa ini. Apakah memang kendali para orang tua begitu rapuhnya sehingga begitu berani berbuat demikian?
Seiring hilangnya nyawa bocah 5 tahun pasti harus ada sosok yang bertanggung jawab karenanya. NF sudah pasti harus menjadi orang pertama yang menanggung akibatnya. Lantas siapa lagi? Kalau boleh dibilang konten-konten youtube saat ini sudah beredar demikian bebas.Â
Segala jenis tontonan bisa diakses tanpa batas dimanapun dan kapanpun. Kalau dahulu orang tua bisa lebih mudah memantau tontonan putra-putrinya via televisi, maka kini menjadi lebih rumit. Smartphone yang sudah menjadi "sahabat karib" semua orang memungkinkan siapapun menikmati sajiannya dimanapun ia berada.Â
Bagi seorang tertutup seperti NF, ini adalah "surga" untuk mengeksplorasi obsesinya. Tantangan yang jauh lebih sulit adalah bukan perkara gampang menebak isi hari pribadi macam NF. Ia terlihat baik diluar tapi memiliki pemikiran yang berbahaya, hasrat yang hitam kelam. Kita harus berbuat sesuatu terkait hal ini.
Pendidikan spiritual, etika, moral, akhlak, dan sejenisnya tetap memiliki peran penting dalam mencegah "lahirnya" sosok-sosok seperti NF ini.Â
Langkah preventif yang harus diperhatikan setiap orang tua adalah terkait bagaimana mereka bisa menjadi sahabat karib buah hatinya sehingga mereka terbuka atas segala hal.Â
Terkadang kita acuh dengan kehidupan anak-anak kita, terlebih mencari tahu tontonannya. Namun hal ini perlu dilakukan untuk mencegah hal-hal tidak diinginkan terjadi. Orang tua harus bisa "mengetahui" lebih jauh tentang seperti apa jati diri anaknya.
Salam hangat,
Agil S Habib
Refferensi :Â [1]; [2]; [3]; [4]; [5]; [6]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H