Writerpreneur dan Semarak Literasi
Budaya literasi tidak bisa dipisahkan dengan dua hal utama, yaitu membaca dan menulis. Dengan kata lain, budaya membaca sebagai prinsip paling sederhana dalam budaya literasi harus didukung dengan kebiasaan menulis. Budaya membaca tidak akan terbentuk tanpa adanya sesuatu untuk dibaca.
Ini berarti harus dimunculkan karya-karya tulis yang mampu memperkaya wawasan serta menambah pengetahuan atas berbagai hal. Untuk bisa mewujudkan hal itu maka peran penulis cukup vital keberadaannya. Setiap penulis harus lebih produktif mencipta karya-karya agar bisa dinikmati sekaligus dikaji oleh para pembacanya. Dengan demikian akan menjadikan budaya literasi lebih hidup.
Seiring perkembangan zaman, kebiasaan menulis sebenarnya tidak lagi hanya menjadi sesuatu yang tanpa hasil. Tulisan-tulisan yang kita buat dan dipublikasikan melalui media cetak, ataupun media elektronik seperti blog sudah bisa dimonetisasi dan menjadi sebuah profesi yang menghasilkan secara finansial.
Belum lagi ketika tulisan berhasil dibukukan menjadi sebuah karya tulis, ia bisa menjadi sumber penghasilan yang berharga bagi penulisnya. Menjadikan profesi menulis sebagai ladang penghasilan atau writerpreneur adalah sebuah kesempatan berharga dalam upaya memperbaiki kehidupan pribadi sekaligus memberikan kontribusi terhadap orang lain melalui tulisan. Selain itu, seorang writerpreneur juga turut berandil penting dalam menyemarakkan budaya literasi.
Logistik 4.0 "Jembatan" Literasi
Menjadi seorang writerpreneur tidaklah semudah yang terlihat. Selain tantangan dalam menuliskan karya-karya, seorang penulis yang ingin "menjajakan" karyanya lewat penerbit profesional harus berjuang melewati screening pihak penerbit dan selanjutnya juga harus bersaing dengan karya-karya para penulis lain.
Waktu untuk menunggu konfirmasi apakah naskah diterima atau tidak biasanya cukup lama, butuh waktu kurang lebih 3 bulan. Sehingga tidak jarang beberapa penulis memilih untuk menempuh jalur "alternatif" dalam mempublikasikan karyanya. Seperti halnya yang pernah saya lakukan yaitu memanfaatkan jasa penerbit indie atau self publishing.
Komunikasi saya jajaki dengan beberapa penerbit hingga akhirnya buku saya yang berjudul "Powerful Life" pun naik cetak. Sembari menunggu buku selesai dicetak, saya melakukan promosi melalui media sosial (medsos) menawarkan buku tersebut. Alhamdulillah, cukup banyak rekan yang antusias untuk membeli dan melakukan pre-order.
Bahkan seorang kerabat yang tengah menjadi Tenaga Kerja Wanita (TKW) di Hong Kong pun juga tertarik untuk membeli. Disinilah keuntungan terbesar hidup di era teknologi seperti sekarang, komunikasi bisa dilakukan secara mudah bahkan dengan orang-orang yang berada di lokasi yang jauh dari kita.