Menjadi guru semestinya bukanlah profesi alternatif sebagai tempat mengais nafkah. Akan tetapi profesi ini haruslah benar-benar menyeleksi mereka yang benar-benar berbudi pekerti luhur dan berakhlak mulia. Seringkali problematika guru hanya menyangkut aspek kesejahteraan dan beban kerja saja. Lalu bagaimana dengan perbaikan moral guru? Jika moral seorang guru saja sudah sedemikian bejat, lalu apa yang bisa diharapkan dari murid-muridnya?
Memilih Guru yang "Bersih" dan "Bersih-bersih" Guru Amoral
Dunia pendidikan Indonesia cenderung terfokus pada perubahan kurikulum demi kurikulum. Hanya saja pelakunya adalah orang-orang yang "itu-itu" saja dan dengan konsep berfikir yang tidak jauh berbeda. Dunia pendidikan kita hampir mengabaikan hal penting perihal akhlak guru-guru pengajarnya.
Jikalau ada oknum guru berotak mesum, hal itu hanya dianggap sebagai pelanggaran hukum biasa yang cukup hanya ditindak oleh aparat berwajib. Padahal kasus pelanggaran asusila dengan pelaku seorang oknum guru memiliki "juntrungan" masalah yang jauh lebih berbahaya. Guru pengajar berotak mesum pastilah memiliki hasrat tersembunyi dibalik pikirannya.
Sehingga mereka mengajar tidak lebih dari sebuah upaya mencari "mangsa" untuk "dimesumi". Transfer keilmuan tidak akan pernah terjadi jikalau gurunya tidak memiliki ketulusan hati dalam mengajar. Konsekuensinya, ilmu yang diajarkan tidak akan tersampaikan dengan baik. Bagaimana mungkin ilmu yang "suci" bisa berpadu dengan pikiran kotor dan mesum para oknum guru itu?
Dalam hal ini pihak sekolah atau institusi pendidikan lain mungkin akan kesulitan untuk menilai apakah seorang guru itu berotak mesum atau tidak. Semua baru bisa terungkap ketika yang bersangkutan menunjukkan tingkah polah yang menjurus ke arah situ.
Seperti halnya perilaku mesum guru yang baru terungkap tatkala aksi bejatnya dilaporkan sang korban. Sulit memang. Tetapi pastinya bukan sesuatu yang mustahil untuk melakukan deteksi dini para oknum guru dengan isi otak yang "kotor".
Dunia akademis adalah pusatnya riset dan penelitian. Barangkali perlu adanya suatu bahasan khusus untuk merumuskan tata cara pemilihan guru yang benar-benar memenuhi syarat layaknya guru yang "sesungguhnya". Mas Nadiem setidaknya perlu memikirkan hal ini, karena bagaimanapun juga sosok guru itu memiliki afiliasi terhadap dunia pendidikan.
Ketika ada seorang guru melakukan aksi pidana, tanggung jawab penindakan terhadap akhlak guru sebenarnya tidak secara otomatis menjadi urusan aparat penegak hukum.
Dunia pendidikan juga mesti bertanggung jawab terhadap hal ini. Akankah sistem pendidikan di era Mas Nadiem ini juga akan mangarahkan kepedulian terhadap hal ini? Langkah pertama yang harus dilakukan oleh Mas Nadiem mungkin bisa meniru kolega menteri yang lain di Kabinet Indonesia Maju (KIM). Mas Nadiem bisa "mengadopsi" gaya Erick Thohir kala melakukan aksi "bersih-bersih" pejabat BUMN yang ditengarai penuh masalah. Bagaimana Mas Nadiem?
Salam hangat,