Lupa adalah sesuatu hal yang dirasa paling tidak mengenakkan oleh sebagian orang. Tidak jarang karena lupa sesuatu pekerjaan menjadi tidak tuntas penyelesaiannya. Karena lupa sebuah target kerja menjadi tidak terealisasi. Karena lupa pula sebuah rencana besar menjadi bermasalah.Â
Efek yang ditimbulkan oleh lupa dalam beberapa kesempatan mungkin sepele, akan tetapi pada kesempatan yang lain justru menciptakan dampak yang luar biasa.Â
Seorang petugas yang lupa menunaikan instruksi yang dibebankan kepadanya bisa berdampak timbulnya kerugian besar hingga akhirnya membuat petugas tersebut mendapatkan masalah.Â
Sang atasan yang memberi penugasan bisa menjadi kecewa terhadapnya hingga sang petugas pun harus mendapatkan punish atas "perbuatannya" tersebut. Sang petugas harus menerima amarah sang atasan atau lebih-lebih harus mendapatkan Surat Peringatan (SP). Padahal kalau boleh berargumen, manusia adalah tempatnya salah dan lupa. Maka bukankah lupa menjadi suatu kewajaran?
Seorang rekan kerja saya pernah lupa mengirimkan "file" informasi perencanaan produksi kepada tim produksi di lapangan, sehingga berimbas pada terganggunya lini produksi tersebut hingga akhirnya terjadi kesalahan produksi. Akibat dari hal ini sang manajer pun marah besar kepada rekan saya tadi, dan SP pun diterbitkan.Â
Dalam kesempatan yang lain, seorang rekan kerja pernah tidak menjadwalkan kedatangan barang dari supplier juga karena lupa. Dampaknya, proses produksi tidak bisa berjalan karena ada material tertentu yang belum tiba. Hal ini pun menjadikan sang atasan rekan tadi memarahinya meski tidak sampai memberikan SP. Beberapa pekerjaan seringkali tidak selesai sesuai harapan oleh karena kita dilanda lupa.Â
Hal ini terkadang menjadi dilema tersendiri bagi seorang atasan ataupun sesama rekan kerja. Pada satu sisi suatu pekerjaan tetap harus selesai sesuai harapan, tetapi disisi lain "wabah" lupa juga bisa menyerang siapa saja. Ungkapan bahwa lupa adalah manusiawi seakan menguatkan pandangan bahwa kita pun "diizinkan" untuk lupa.Â
Sampai-sampai ada tuntunan terkait pelaksanaan Sujud Syahwi dalam ibadah sholat untuk "mengkompensasi" lupanya seseorang dalam menunaikan satu atau lebih rukun sholat.
Bagaimanapun juga lupa memang harus diantisipasi seperti membuat catatan kecil atau sejenisnya. Hanya saja ketika lupa sudah terlanjur terjadi tepatkah kita yang mendapatkan efek atas lupa itu mengungkapkan kekeselan atau menghakimi mereka yang lupa itu? Tepatkah tindakan kita untuk menghakimi rekan, kerabat, atau anggota keluarga kita yang didera lupa? Jawabannya mungkin relatif bagi setiap orang.Â
Ada yang sepakat bahwa "penghakiman" harus diberikan kepada mereka yang lupa agar menjadi sebuah pembelajaran sehingga tidak terulang kembali dikemudian hari. Namun ada yang beranggapan juga bahwa tidak perlu kiranya kita menghakimi atau terlebih meluapkan amarah jikalau seseorang tidak berbuat sebagaimana yang seharusnya oleh karena lupa.Â
Disinilah kebijaksanaan seorang pemimpin dibutuhkan. Menyikapi kondisi ini sehingga tidak berdampak buruk dalam jangka panjang sekaligus tidak menjadikan si pelupa tadi kehilangan semangat dalam bekerja.
Kecenderungan seseorang yang mana ketika rekannya, kerabatnya, anak buahnya, atau siapapun mereka yang didera lupa akan sesuatu sehingga menimbulkan efek tidak nyaman pada diri seseorang adalah dengan menghakimi. Yang paling umum dilakukan adalah dengan memarahinya.Â
Namun apakah hal itu efektif? Bagi orang-orang yang anti terhadap luapan amarah orang lain bisa saja hal itu menjadi pembelajaran berharga sehingga membuat mereka lebih berhati-hati untuk kedepannya. Akan tetapi bagaimana jika orang-orang yang lupa tersebut sudah "kebal" telinganya terhaadap caci maki, umpatan, apalagi amarah? Sepertinya luapan amarah bukanlah sesuatu yang terlalu efektif untuk dilakukan.Â
Menghakimi adalah bentuk punish atau hukuman, bukan sebuah solusi atas lupanya seseorang. Tidak ada jaminan memarah-marahi seseorang akan merubahnya menjadi tidak pelupa lagi. Oleh karena itu, seorang pimpinan yang baik akan mencari cara yang lebih efektif dalam menuntaskan permasalahan seperti ini.
Tidak bisa dipungkiri bahwa lupa bisa melanda siapa saja. Hanya saja yang harus diketahui oleh seorang pimpinan adalah bagaimana agar seandainya lupa itu melanda salah seorang atau lebih anggota timnya hal itu tidak sampai berdampak besar terhadap kinerja tim secara keseluruhan.Â
Sehingga pada pos-pos penugasan tertentu yang kiranya benar-benar krusial yang menuntut tidak adanya kesalahan sekecil apapun, maka sosok-sosok yang "terkenal" pelupa harus "dijauhkan" dari sana. Beri mereka tugas yang tidak terlalu membutuhkan kemampuan mengingat yang besar.Â
Para pelupa ini bukanlah suatu aib, melainkan mereka memiliki potensinya sendiri dalam menjalankan suatu tugas dan tanggung jawab.
Menyuruh orang untuk tidak lupa bukanlah suatu perkara mudah. Makian, amarah, bahkan Surat Peringatan sekalipun belum tentu ampuh untuk menuntaskan permasalahan itu. Salah satu cara paling aman untuk menyiasati hal ini adalah dengan menerapkan prinsip the right man in the right place. Tempatkan orang-orang yang mempunyai kemampuan ingatan lebih baik untuk memegang kendali pekerjaan yang membutuhkan daya ingat mumpuni. Semoga bisa memberikan masukan berharga.
Salam hangat,
Agil S Habib
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H