Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan selama beberapa waktu terakhir memang sering menjadi objek pembicaraan publik. Setelah beberapa waktu lalu heboh dengan anggaran "aneh" di pemerintah daerah (pemda) DKI Jakarta, baru-baru ini Anies Baswedan kembali disinggung seiring keputusannya mengizinkan dan memperbolehkan acara Reuni Akbar 212 dilakukan di wilayah pemerintahan DKI Jakarta.
Ketua Forum Warga Kota Jakarta (FAKTA) Tigor Nainggolan meminta Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian untuk mengevaluasi dan menegur Anies Baswedan terkait dengan hal ini.Â
Tigor mempermasalahkan kehadiran Anies yang berseragam ke acara itu serta menilai bahwa kawasan Monumen Nasional (Monas) tidak seharusnya diperbolehkan untuk mengadakan acara keagamaan. Menurutnya, fungsi monas harus dikembalikan lagi ke awal yaitu sebagai tempat rekreasi dan tempat olahraga warga ibukota.
Di sini saya tidak ingin mengulas lebih jauh terkait penggunaan Monas sebagai tempat pelaksanaan Reuni Akbar 212 yang dipermasalahkan oleh Ketua FAKTA, Tigor Nainggolan. Akan tetapi lebih kepada arti dibalik kehadiran sosok Anies Baswedan dalam acara Reuni Akbar 212 tersebut.Â
Silang pendapat perihal boleh tidaknya Anies Baswedan menghadiri acara reuni dengan berseragam dinas belakangan mengemuka. Selain Tigor Nainggolan yang meminta Mendagri untuk mengevaluasi tindakan Anies Baswedan ini, politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Eva Kusuma Sundari menduga bahwa kehadiran Anies dalam Reuni Akbar 212 ini adalah sebagai upaya pencitraan menuju pemilihan umum presiden (pilpres) 2024 mendatang.Â
Eva juga mempersolakan kehadiran Anies dalam acara tersebut yang dianggapnya menyalahi tata krama Aparatur Sipil Negara (ASN). Namun pandangan dari Ketua FAKTA Tigor Nainggolan serta politisi PDIP Eva Kusuma Sundari itu tidak selaras dengan pandangan dari pihak Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) yang samasekali tidak mempermasalahkan apa yang dilakukan oleh Anies Baswedan terkait kehadiran ke acara Reuni Akbar 212 dengan mengenakan seragam.Â
Silang pendapat terkait kehadiran Anies dalam acara ini mungkin banyak terjadi di luar sana. Akan tetapi bagaimana sebenarnya dengan pandangan Anies Baswedan sendiri? Mengapa beliau menyempatkan diri untuk hadir dalam acara "kontroversial" tersebut? Apakah benar tudingan yang dialamatkan kepadanya bahwa Anies Baswedan tengah mencari panggung politik?
Untuk menjawab beberapa hal tersebut mungkin kita perlu flashback sejenak ke belakang. Kita ingat kembali momen beberapa waktu lalu ketika kontestasi pemilihan Gubernur DKI Jakarta tengah mencapai puncaknya di tahun 2017 lalu. Waktu itu ada tiga pasangan calon gubernur -- wakil gubernur yang bersaing untuk memperebutkan kursi DKI 1. Meski ada tiga pasangan calon, namun tidak bisa dipungkiri bahwa Ahok -- Djarot seperti menjadi "musuh bersama" kala itu.Â
Pasangan Anies -- Sandi ataupun AHY -- Sylvi terkesan bahu membahu untuk menumbangkan kubu petahana. Kebetulan, Ahok yang sempat digadang-gadang akan mempertahankan posisinya tengah tersandung kasus penistaan agama sehingga memberikan keuntungan kubu "lawan" untuk mendesak pasangan Ahok -- Djarot.Â
Pasangan Anies -- Sandi yang sebelumnya tidak terlalu dijagokan memenangi kontestasi pilgub DKI ternyata tampil sebagai pemenang berkat andil masa 212 yang terang-terangan menolak Ahok serta menuntut gubernur DKI Jakarta pengganti Pak Jokowi itu agar diproses hukum.
Anies Baswedan menjadi Gubernur DKI Jakarta tidak bisa dipungkiri ada andil masa 212 disana. Sehingga bisa dibilang bahwa 212 berjasa terhadap keterpilihan Anies Baswedan. Tidak berlebihan kiranya jika kita menyebut bahwa ada "212" di dada Anies Baswedan.Â