Malang, begitulah kira-kira kata yang paling tepat untuk menggambarkan nasib nasabah korban penipuan First Travel yang sudah bergulir sejak tahun 2017 lalu. Tuntutan nasabah untuk memenjarakan otak di balik penipuan besar-besaran ini mungkin sudah terealisasi.
Pasangan suami istri Andika Surachman dan Anniesa Desvitasari Hasibuan, pemiliki usaha First Travel ini sekarang sudah menerima ganjaran atas perbuatan mereka, dipenjara masing-masing 20 tahun penjara dan denda Rp 10 miliar subsider 8 bulan untuk Andika Surachman serta vonis 18 tahun penjara dan denda Rp 20 miliar subsider 8 bulan untuk Anniesa Hasibuan.
Namun sepertinya vonis itu sama sekali tidak membuat lega para nasabah yang tertipu seiring keputusan Pengadilan Negeri (PN) Depok yang dikuatkan putusan Mahkamah Agung (MA) yang menyatakan bahwa barang sitaan First Travel diambil oleh negara dan bukannya dibagikan kepada para korban penipuan.
Hal inilah yang kemudian menyulut masalah baru sehingga "drama" First Travel pun kini memasuki episode baru. Bukan lagi nasabah korban penipuan versus manajemen First Travel, tetapi kini berganti menjadi nasabah korban penipuan versus negara. Bagaimana bisa seperti ini?
Para korban yang sangat berharap negara akan membantu pengembalian hak-hak atas penipuan yang mereka alami kini justru harus beradu dan berhadap-hadapan memperebutkan hak atas kepemilikan barang sitaan First Travel.
Apakah memang sepatutnya negara menyita barang-barang berharga milik First Travel ini ataukah sepatutnya justru dikembalikan lagi kepada para korban?
Barang First Travel adalah Hak Korban Penipuan
Korban penipuan First Travel pastilah memiliki hak atas barang-barang First Travel yang disita oleh negara itu seiring gagalnya First Travel mengembalikan hak-hak korban. Seperti halnya seseorang yang berutang kemudian dia meninggal dunia, maka harta peninggalannya harus diprioritaskan untuk melunasi hutang-hutangnya tersebut.
Demikian halnya dengan para korban First Travel seharusnya mendapatkan perlakuan serupa. Meski barangkali barang-barang milik First Travel yang disita tersebut belum tentu cukup untuk menutupi semua tunggakannya kepada nasabah yang menjadi korban.
Bahkan Sekjen Majelis Ulama Indonesia (MUI) Anwar Abbas mempertanyakan perihal keputusan PN dan MA ini. Menurutnya, seharusnya negara mengembalikan hak nasabah yang telah dirugikan oleh First Travel, bukan malah mengambilnya.
Jikalau hak para nasabah ini lantas diserobot oleh negara, dan kemudian menjadi anggaran yang dialokasikan untuk kepentingan pendanaan pembangunan negeri ini sedangkan sang pemilik sebenarnya dari harta itu tidak ridho maka apa yang akan terjadi?
Pembangunan yang dilakukan tentulah kehilangan berkahnya. Lalu apa yang akan terjadi kemudian? Sangat sulit mengharapkan pembangunan yang berkualitas.