Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Esais; Founder Growthmedia, dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Plan, Create, Inspire

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Betapa Susahnya Menjadi Karyawan Tetap

18 November 2019   12:05 Diperbarui: 18 November 2019   22:15 615
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hidup dalam kemapanan adalah harapan semua orang, terlebih bagi mereka yang berprofesi sebagai pekerja di suatu perusahaan atau organisasi bisnis tertentu. 

Demi harapan ini pula setiap menjelang akhir tahun sekelompok karyawan mengadakan sebuah aksi unjuk rasa untuk menuntut kenaikan upah. 

Memiliki penghasilan yang lebih tinggi dari waktu ke waktu adalah sebuah keinginan yang lumrah ada didalam diri seseorang. 

Akan tetapi, di samping harapan untuk mendapatkan penghasilan yang lebih besar dari periode sebelumnya, seseorang dengan profesi karyawan memiliki satu lagi harapan untuk diwujudkan, yaitu menjadi karyawan tetap di perusahaan atau organisasi di mana ia bekerja.

Menjadi karyawan tetap mungkin adalah sebuah impian sederhana dari seorang pekerja, khususnya mereka yang berada pada level "rendah". Para pekerja dengan level "rendah" itu pada umumnya memiliki kualifikasi yang tidak terlalu sulit untuk digantikan oleh orang lain. 

Sehingga demi mewujudkan rasa aman dalam bekerja, menjadi karyawan tetap adalah kuncinya. 

Dengan menjadi karyawan tetap, seorang pekerja memiliki tingkat kenyamanan yang lebih baik dibandingkan mereka yang masih berstatus kontrak. 

Di antaranya, ketika perusahaan memberlakukan kebijakan perampingan jumlah karyawan melalui Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), maka karyawan tetap lebih memungkinkan untuk mendapatkan uang pesangon dari perusahaan dibandingkan mereka yang berstatus kontrak. 

Selain itu, seorang pekerja berstatus karyawan tetap ketika memasuki periode pensiun juga lebih berpotensi mendapatkan "uang saku" dari tempat kerjanya. Sesuatu yang barangkali sulit untuk diperoleh mereka yang berstatus kontrak atau mereka pekerja honorer.

Dengan semakin tingginya tantangan dalam dunia bisnis selama beberapa tahun terakhir ini, sedangkan beban biaya dari korporasi yang terus meningkat dari waktu ke waktu, maka setiap perusahaan dituntut untuk menciptakan produktivitas dan efisiensi tinggi. 

Terkait dengan upaya ini, maka satu aspek yang seringkali disasar oleh pihak manajemen yaitu perihal pengelolaan Sumber Daya Manusia (SDM). SDM atau tenaga kerja oleh banyak korporasi dianggap sebagai salah satu pos yang menjadi sumber terbesar pengeluaran perusahaan yaitu terkait gaji. 

Otak-atik kebijakan pun dilakukan guna "mengakali" supaya risiko pengeluaran "tidak terduga" bisa dikurangi. Kebijakan yang dilakukan korporasi terkait hal ini adalah dengan memberlakukan sistem kontrak kepada karyawannya untuk beberapa posisi tertentu. 

Beberapa perusahaan memberlakukan sistem kontrak kepada karyawan setingkat staff admin, beberapa yang lain ada yang memberlakukan sistem kontrak untuk semua level dibawah supervisor, dan bahkan beberapa perusahaan memberlakukan kebijakan ini untuk semua level karyawan kecuali level Factory Manager (FM) ke atas. Kebijakan tentang kontrak ini sangat mungkin berbeda-beda pada setiap perusahaan.

Konsekuensi dari kebijakan ini maka munculah sistem kerja outsourcing yang kontroversial itu. Keberadaan sistem kontrak dianggap tidak melindungi hak-hak karyawan. 

Sehingga tidak mengherankan apabila serikat pekerja senantiasa membawa poin terkait penghapusan sistem kerja outsourcing ini dalam berbagai tuntutan aksinya. 

Sistem kerja kontrak adalah potret benturan kepentingan antara korporasi dengan buruh atau pekerja. Setiap pihak mendambakan keamanan bagi dirinya sendiri. 

Mungkin pemerintah memiliki suatu aturan terkait batasan perpanjangan kontrak yang hanya boleh dilakukan dua kali saja. Akan tetapi opsi setelah perpanjangan  dua kali masa kontrak adalah diangkat tetap atau diberhentikan. 

Opsi untuk diangkat menjadi karyawan tetap seringkali lebih kecil daripada opsi untuk diberhentikan. Lagi-lagi hal ini sangat tidak menyenangkan bagi seorang pekerja.

Ada banyak kepentingan yang "bermain" terkait kemungkinan seorang pekerja menjadi karyawan tetap. Kepentingan-kepentingan itulah yang seringkali menjadi penghambat seseorang untuk mewujudkan "cita-citanya" menjadi karyawan tetap. 

Mungkin hal serupa juga dialami oleh para pekerja honorer yang menanti-nantikan untuk diangkat sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS). Seorang kerabat sudah bertahun-tahun menjadi pekerja honorer tanpa ada kejelasan kapan diangkat menjadi PNS. 

Sedangkan kerabat yang lainnya sudah sekitar dua tahun menjadi staf Human Resources Development (HRD) dan masih berstatus karyawan kontrak.

Keberadaan sistem kerja kontrak yang tidak memberikan kepastian dan juga kejelasan terkait kemungkinan menjadi karyawan tetap memang tidak bisa sepenuhnya disalahkan, tetapi juga tidak bisa dibenarkan. 

Penjabaran terkait hal ini tentu sangat panjang. Namun sebagian orang yang merasa mampu mendapatkan pekerjaan dengan jaminan menjadi karyawan tetap, tentu akan mencoba untuk meraihnya. 

Sedangkan sebagian yang lain dengan keterbatasan seperti usia, tingkat pendidikan, atau jarak tempat kerja dengan domisili bisanya akan "memaksa" diri mereka untuk bertahan semampunya disana.

Ketika pertanyaan terkait sampai kapan sistem kerja kontrak ini disodorkan kepada salah seorang direksi perusahaan, ia menjawab diplomatis bahwa selama kinerja karyawan baik maka kontraknya akan terus diperpanjang. Namun adilkah hal ini bagi para karyawan?

Salam hangat,

Agil S Habib

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun