Otak-atik kebijakan pun dilakukan guna "mengakali" supaya risiko pengeluaran "tidak terduga" bisa dikurangi. Kebijakan yang dilakukan korporasi terkait hal ini adalah dengan memberlakukan sistem kontrak kepada karyawannya untuk beberapa posisi tertentu.Â
Beberapa perusahaan memberlakukan sistem kontrak kepada karyawan setingkat staff admin, beberapa yang lain ada yang memberlakukan sistem kontrak untuk semua level dibawah supervisor, dan bahkan beberapa perusahaan memberlakukan kebijakan ini untuk semua level karyawan kecuali level Factory Manager (FM) ke atas. Kebijakan tentang kontrak ini sangat mungkin berbeda-beda pada setiap perusahaan.
Konsekuensi dari kebijakan ini maka munculah sistem kerja outsourcing yang kontroversial itu. Keberadaan sistem kontrak dianggap tidak melindungi hak-hak karyawan.Â
Sehingga tidak mengherankan apabila serikat pekerja senantiasa membawa poin terkait penghapusan sistem kerja outsourcing ini dalam berbagai tuntutan aksinya.Â
Sistem kerja kontrak adalah potret benturan kepentingan antara korporasi dengan buruh atau pekerja. Setiap pihak mendambakan keamanan bagi dirinya sendiri.Â
Mungkin pemerintah memiliki suatu aturan terkait batasan perpanjangan kontrak yang hanya boleh dilakukan dua kali saja. Akan tetapi opsi setelah perpanjangan  dua kali masa kontrak adalah diangkat tetap atau diberhentikan.Â
Opsi untuk diangkat menjadi karyawan tetap seringkali lebih kecil daripada opsi untuk diberhentikan. Lagi-lagi hal ini sangat tidak menyenangkan bagi seorang pekerja.
Ada banyak kepentingan yang "bermain" terkait kemungkinan seorang pekerja menjadi karyawan tetap. Kepentingan-kepentingan itulah yang seringkali menjadi penghambat seseorang untuk mewujudkan "cita-citanya" menjadi karyawan tetap.Â
Mungkin hal serupa juga dialami oleh para pekerja honorer yang menanti-nantikan untuk diangkat sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS). Seorang kerabat sudah bertahun-tahun menjadi pekerja honorer tanpa ada kejelasan kapan diangkat menjadi PNS.Â
Sedangkan kerabat yang lainnya sudah sekitar dua tahun menjadi staf Human Resources Development (HRD) dan masih berstatus karyawan kontrak.
Keberadaan sistem kerja kontrak yang tidak memberikan kepastian dan juga kejelasan terkait kemungkinan menjadi karyawan tetap memang tidak bisa sepenuhnya disalahkan, tetapi juga tidak bisa dibenarkan.Â