Apabila mayoritas suara di legislatif tidak sepakat dengan kebijakan pemerintah, maka seharusnya kebijakan tersebut tidak dipaksakan ada.
Seperti halnya ketika masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang berencana menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM), kala itu sebagian besar anggota legislatif bersepakat "menentang" kebijakan itu.
Sehingga pada akhirnya pemerintah kala itu pun tidak jadi menunaikan kebijakannya menaikkan harga BBM.
Mengapa situasi serupa tidak terjadi terhadap kebijakan pemerintah yang menaikkan iuran BPJS Kesehatan untuk semua kelas? Permintaan DPR agar pemerintah tidak menaikkan iuran BPJS Kesehatan kelas III ternyata tidak membuat presiden merevisi Perpres yang diterbitkannya. Minimal untuk saat ini.
Apakah memang pemerintah diperbolehkan "membantah" permintaan dari DPR? Apakah terkait kebijakan menaikkan iuran BPJS Kesehatan ini tidak memerlukan "restu" dari badan legislatif? Apabila memang demikian realitasnya, lalu untuk apa legislatif ada?
Mungkin memang perlu iuran BPJS Kesehatan dinaikkan mengingat defisit anggaran yang semakin menganga. Padahal seharusnya pemerintah masih bisa mengusahakan opsi lain dalam rangka menyiasati hal ini.
Kalau pun memang harus naik, setidak-tidaknya untuk BPJS Kesehatan kelas III jangan diperlakukan sama kenaikannya dengan kelas yang lebih tinggi. Jikalau pemerintah mengatakan untuk beli rokok dan pulsa saja mampu, mengapa untuk bayar BPJS Kesehatan saja tidak?
Pandangan seperti itu sama artinya dengan menyamarakatan masyarakat yang berada di kelas ekonomi bawah adalah para perokok dan "pecandu" pulsa. Padahal belum tentu demikian.
Kenaikan iuran BPJS Kesehatan sudah diputuskan secara resmi. Bahkan DPR pun sepertinya tidak mampu membuat pemerintah bergeming dengan keputusannya. Walaupun hal itu hanya terkait kemungkinan diturunkannya tarif untuk kelas III saja.
Pemerintah berdalih bahwa mereka sedang menyiapkan rencana untuk memberikan subsidi bagi peserta BPJS Kesehatan kelas III Â sehingga seolah-olah tidak terjadi kenaikan iuran untuk kelas tersebut.
Lalu apa bedanya merevisi Perpres di mana untuk kelas III tidak perlu mengalami kenaikan tarif dibandingkan tidak merevisi Perpres namun dibarengi dengan pemberian subsidi? Apakah rencana pemberian subsidi ini bukan membuat birokrasi bertambah dan makin rumit? Belum lagi potensi gelontoran dana subsidi yang rawan diselewengkan.