Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2019 memberikan penegasan terkait kebijakan baru pemerintah yang akan menaikkan iuran BPJK Kesehatan sebesar 100% pada semua segmen peserta berlaku per 1 Januari 2020.Â
Keputusan ini direspons keberatan oleh publik karena dianggap semakin membebani masyarakat. Meskipun begitu ternyata pemerintah tetap tidak mau bergeming dari keputusannya tersebut dengan pertimbangan bahwa kenaikan iuran BPJS Kesehatan adalah untuk menutupi defisit keuangan negara.
Namun siapa sangka kebijakan pemerintah untuk menaikkan iuran BPJS Kesehatan pada semua kelas ini ternyata menyalahi kesepakatan dengan Komisi IX DPR pada rapat tanggal 2 September 2019 yang meminta agar pemerintah tidak menaikkan iuran untuk kelas III.
Seperti yang disampaikan oleh Nihayatul Wafiroh, Anggota DPR Komisi IX Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), keputusan pemerintah menerbitkan Perpres ini dan mengabaikan permintaan dari Komisi IX DPR adalah bentuk "egoisme" pemerintah.
Dampaknya, Komisi IX DPR mengancam tidak akan bersedia menggelar rapat lagi dengan BPJS Kesehatan dan juga Kementeria Kesehatan (Kemenkes). Â
Seiring keputusan pemerintah yang sudah memastikan bahwa iuran BPJS Kesehatan naik di semua kelas terhitung per 1 Januari 2020, maka seluruh peserta BPJS Kesehatan mau tidak mau harus merogoh koceknya sedikit lebih dalam untuk membayar iuran. Padahal Perpres ini terbit tanpa persetujuan dari DPR, khususnya komisi IX.
Lantas apakah kebijakan kenaikan iuran BPJS ini bisa disebut ilegal?
Dalam sistem demokrasi Indonesia yang menganut trias politika, di mana pemerintahan diatur sedemikian rupa dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Sistem ini membuat kekuasaan "dipecah" dalam tiga kategori, eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Eksekutif adalah pelaksana "harian" dari "operasional" sebuah negara.
Sedangkan legislatif merupakan representatif dari suara masyarakat. Yudikatif sendiri memegang kewenangan di bidang hukum
 Apabila legislatif digambarkan sebagai representasi suara rakyat, maka sayogyanya suara legislatif memiliki kekuatan yang cukup untuk "mencegat" kebijakan pemerintah yang dianggap tidak pro rakyat.