Dua negara dengan kekuatan ekonomi terbesar di dunia yaitu Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok beberapa tahun terakhir ini memang terlibat persaingan langsung yang cukup sengit di bidang perekonomian.Â
Istilah "perang dagang" sudah bukan barang asing lagi seiring aksi saling "balas" antar kedua negara dalam berbagai lini bisnis.Â
Kedigdayaan ekonomi kedua negara itu seakan-akan menihilkan keberadaan negara lain di kancah dunia.
Seolah-olah kondisi ekonomi dunia saat ini sepenuhnya ditentukan oleh dua negara tersebut. Satu demi satu sektor perekonomian mereka kuasai. Mulai dari industri makanan, persenjataan, hingga urusan luar angkasa pun mereka perebutkan.Â
AS adalah "pemain lama" dalam persaingan luar angkasa dengan "pesaing lama"-nya yaitu Uni Soviet.Â
Pasca Soviet runtuh, cukup lama bagi AS untuk menemukan kembali "lawan" yang sepadan di bidang luar angkasa hingga kebangkitan negeri tirai bambu Tiongkok beberapa tahun terakhir ini.
Entah kebetulan atau tidak, Tiongkok yang dulu merupakan "sahabat karib" Uni Soviet kini tampil sebagai pesaing serius AS dalam berbagai bidang kenegaraan termasuk diantaranya yaitu bidang antariksa atau luar angkasa.
Astronot adalah istilah antariksawan di AS, kosmonot adalah sebutan di negara Rusia (eks Uni Soviet), dan Taikonot adalah sebutan untuk antariksawan di negara Tiongkok.Â
Ketika Astronot Neil Amstrong dan Edwin Aldrin menginjakkan kakinya di bulan, hal itu sebenarnya adalah "balasan" atas aksi Soviet yang telah lebih dahulu mengirimkan Kosmonot Yuri Gagarin ke luar angkasa beberapa tahun sebelumnya.
Luar angkasa dipandang sebagai simbol pencapaian tinggi sebuah bangsa dalam hal pengetahuan, sains, dan teknologi. Belakangan, antariksa ternyata juga menjadi bagian penting dalam menggapai kejayaan secara ekonomi.
Pemimpin China Aerospace Science and Technology Corporation (CAST), Bao Weimin, menyatakan bahwa China atau Tiongkok akan mengembangkan zona ekonomi luar angkasa seiring penilaian beberapa pakar di negara tersebut yang menganggap bahwa proyek tersebut berpotensi menghasilkan pendapatan negara sebesar US$ 10 triliun atau sekitar Rp 140 triliun.
CAST sendiri sudah mencanangkan "master plan" terkait persiapan mereka mewujudkan ambisi itu.Â
Targetnya adalah zona ekonomi ruang angkasa Tiongkok akan terealisasi tahun 2050 mendatang, dimana persiapan-persiapan untuk teknologi dasar diusahakan rampung sekitar tahun 2030 dan teknologi transportasi utama siap dipakai tahun 2040.
Sebuah target besar yang sejauh ini harus diakui potensinya memang cukup menjanjikan.
Mengutip dari laman CNBC Indonesia lembaga antariksa AS, NASA, memasang tarif senilai US$ 35 ribu atau hampir Rp 500 juta untuk sekali perjalanan ke luar angkasa.
Beberapa perusahaan swasta seperti Virgin Galactic milik miliarder Richard Branson pun tidak ketinggalan untuk menjadi "pemain" utama dalam sektor bisnis ini.Â
Sebuah contoh awal bahwa apa yang dikatakan oleh kepala CAST bukan sekadar omong kosong belaka. Potensinya teramat besar dimasa yang akan datang.
Bagaimana dengan Indonesia?
Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), Thomas Djamaluddin, pada tahun 2017 lalu pernah mengatakan bahwa potensi komersial keantariksaan Indonesia besar.Â
Sehingga sangat penting bagi negara kita ini untuk mempersiapkan zona ekonomi antariksa ala Indonesia sendiri sebelum nanti didahului oleh pihak asing.Â
Apakah kita tidak tertarik turut serta untuk mendapatkan sumber pemasukan negara yang potensinya mencapai Rp 140 triliun itu? Pastinya tertarik. Namun apakah kita siap untuk melakukannya? Inilah pertanyaan besarnya.
Jikalau negara dengan perekonomian kuat seperti Tiongkok saja menyiapkan master plan zona ekonomi luar angkasanya baru terealisasi di tahun 2050 mendatang, lantas kita bagaimana? Sudah ada beberapa Taikonot yang menjelajah luar angkasa.Â
Di Tiongkok juga sudah ada riset mendalam terkait pengembangan sains luar angkasa.Â
Apakah kita sudah melakukannya juga? Bahkan gaung LAPAN saja sangat jarang sekali kita dengar, kalah jauh dari bahasan anggaran Lem Aibon Pemerintah DKI Jakarta.
Untuk merealisasikan zona ekonomi luar angkasa milik Indonesia tentu diperlukan perencanaan matang. Kita harus membuat master plan pengembangan zona antariksa kita.Â
Minimal kita harus memulainya dengan mendanai riset-riset yang berorientasi kesana. Selama ini kita sudah tertinggal cukup jauh dari beberapa negara lain. Meskipun sebenarnya kita memiliki potensi yang tidak jauh berbeda dengan mereka.
Jikalau untuk sukses dalam bidang sains luar angkasa dibutuhkan seorang ahli matematika, maka anak-anak Indonesia sudah cukup lama berbicara lantang di ajang olimpiade matematika dan sains internasional.Â
Medali emas bukan barang langka bagi kita. Sebenarnya kekurangan kita bukan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM), akan tetapi kemauan dan tekad untuk menuju kesana.Â
Seandainya kita berani mencanangkan target Indonesia berprestasi dalam tataran angkasa luar di tahun 2045 mendatang, maka itu pastilah akan menjadi kado terindah untuk usia emas negara ini.
Jikalau zona ekonomi luar angkasa ini termasuk dalam cakupan industri wisata antariksa, maka mungkin Bapak Wishnutama selaku Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) perlu untuk segera berpikir ke sana.Â
Potensi wisata luar angkasa sangatlah besar karena melibatkan kalangan atas bersaku tebal atau high class. Atau barangkali ada yang tertarik untuk menjalankan start up bisnis antariksa di Indonesia?Â
Jikalau saat ini wacana ke arah sana masih cukup berat, minimal kita harus mulai bergerak untuk menuju titik itu. Kalau tidak sekarang maka kapanlagi?Â
Jangan menunggu semuanya terlambat baru kita gaduh menentang kehadiran asing untuk mengurus antariksa negara kita. Saatnya kita bergerak.
Salam hangat,
Agil S Habib
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H