Pemimpin China Aerospace Science and Technology Corporation (CAST), Bao Weimin, menyatakan bahwa China atau Tiongkok akan mengembangkan zona ekonomi luar angkasa seiring penilaian beberapa pakar di negara tersebut yang menganggap bahwa proyek tersebut berpotensi menghasilkan pendapatan negara sebesar US$ 10 triliun atau sekitar Rp 140 triliun.
CAST sendiri sudah mencanangkan "master plan" terkait persiapan mereka mewujudkan ambisi itu.Â
Targetnya adalah zona ekonomi ruang angkasa Tiongkok akan terealisasi tahun 2050 mendatang, dimana persiapan-persiapan untuk teknologi dasar diusahakan rampung sekitar tahun 2030 dan teknologi transportasi utama siap dipakai tahun 2040.
Sebuah target besar yang sejauh ini harus diakui potensinya memang cukup menjanjikan.
Mengutip dari laman CNBC Indonesia lembaga antariksa AS, NASA, memasang tarif senilai US$ 35 ribu atau hampir Rp 500 juta untuk sekali perjalanan ke luar angkasa.
Beberapa perusahaan swasta seperti Virgin Galactic milik miliarder Richard Branson pun tidak ketinggalan untuk menjadi "pemain" utama dalam sektor bisnis ini.Â
Sebuah contoh awal bahwa apa yang dikatakan oleh kepala CAST bukan sekadar omong kosong belaka. Potensinya teramat besar dimasa yang akan datang.
Bagaimana dengan Indonesia?
Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), Thomas Djamaluddin, pada tahun 2017 lalu pernah mengatakan bahwa potensi komersial keantariksaan Indonesia besar.Â
Sehingga sangat penting bagi negara kita ini untuk mempersiapkan zona ekonomi antariksa ala Indonesia sendiri sebelum nanti didahului oleh pihak asing.Â
Apakah kita tidak tertarik turut serta untuk mendapatkan sumber pemasukan negara yang potensinya mencapai Rp 140 triliun itu? Pastinya tertarik. Namun apakah kita siap untuk melakukannya? Inilah pertanyaan besarnya.