Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Esais; Founder Growthmedia, dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Plan, Create, Inspire

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Apa Kabar "Dewi" dan "Dedi", Pak Wishnutama?

4 November 2019   09:42 Diperbarui: 4 November 2019   15:57 985
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bapak Wishnutama selaku Menparekraf beserta jajarannya tentu menyadari Pekerjaan Rumah (PR) yang harus beliau selesaikan. PR besar tentunya bagi beliau untuk bisa membangun desa "baru" yang berdaya saing secara wisata ataupun dalam hal digitalisasi.

PR ini tidak semata-mata merubah tampilan desa menjadi tempat wisata atau membedayakan sarana prasarana berbasis digital, akan tetapi juga harus mampu memberikan sumbangsih maksimal terhadap pembangunan bangsa dan kesejahteraan masyarakat di wilayah itu sendiri. Syukur-syukur jikalau keberadaan Dwi dan Dedi ini mampu mengerek desa-desa di sekitarnya untuk turut serta menjadi kreatif.

Wahyu Aditya, dalam bukunya Sila ke-6: Kreatif Sampai Mati, menjabarkan bahwa kreativitas itu sama pentingnya atau jauh lebih penting dari bahasan eksak. Bahkan seorang Albert Einstein pernah memberi pernyataan bahwa imajinasi lebih berarti dari sekadar ilmu pasti. Imajinasi adalah tentang kreativitas.

Pola pikir kreatif itulah yang perlu ditularkan kepada segenap rakyat Indonesia. Kreatif bukan hanya hak orang-orang yang tinggal di kota-kota besar dengan label kota kreatif. Akan tetapi hal itu juga menjadi hak orang-orang yang bertempat tinggal di desa-desa. Terlebih dengan semakin berkembangnya teknologi informasi, impian untuk menciptakan sebuah komunitas pedesaan yang terdigitalisasi bukan lagi pepesan kosong semata. Harapan itu sangat realistis untuk diwujudkan.

Saya yakin Bapak Wishnutama menyadari sepenuhnya hal itu. Lantas bagaimana nasib "Dewi" dan "Dedi" itu saat ini? Sama halnya ketika kita mengajukan pertanyaan kepada Mendikbud Nadiem Makarim, jawabannya adalah kita harus memberi mereka waktu untuk mempersiapkan semuanya. Apalagi dengan karakteristik desa-desa di Indonesia yang bejibun jumlahnya itu tentu tidak bisa dituntaskan dengan satu jenis gagasan saja. Bisa jadi hal itu membutuhkan beragam langkah kreatif agar mampu memberikan hasil yang optimal.

"Tangan dingin" Menparekraf beserta sumbangsih dari wakil menteri (wamen) sangatlah dibutuhkan di sini. Selain tentunya harus ada semangat kolabirasi dari segenap masyarakat di desa untuk turut serta memajukan desa tempat tinggalnya. \

Apabila Dewi dan Dedi dibuat sebagai bagian dari bentuk adaptasi bangsa terhadap perkembangan zaman, maka konsep utama dari zaman disrupsi ini juga penting untuk diikuti. Sekarang adalah eranya ekonomi berbagi (sharing economy). Dan sepertinya cita-cita membangun Dewi dan Dedi itu juga harus menerapkan prinsip serupa.

Harapan kita adalah pembangunan dirasakan betul manfaatnya oleh seluruh lapisan masyarakat. Masyarakat desa harus diajak berperan aktif untuk penciptaan kesejahteraan hidup mereka sendiri. Karena selama ini hidup masyarakat desa lebih banyak bergantung pada kondisi ekonomi di kota-kota besar.

Desa masih belum menjadi pusat dari berkembangbiaknya sektor ekonomi di negara kita. Mungkin sekaranglah saatnya bagi desa-desa itu untuk mulai menngambil alih peranan terkait pembangunan di Indonesia.

Salam hangat,
Agil S Habib

Refferensi :

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun