Seorang tokoh motivator paling terkenal di dunia, Anthony Robbin, pernah mengatakan bahwa sumber daya atau modal terbesar yang dimiliki manusia adalah kreativitas. Apabila kita mampu mengoptimalkan potensi luar biasa ini, maka kita akan memiliki kesempatan yang lebih besar untuk menciptakan karya hebat dalam kehidupan ini. Sehingga kreativitas menjadi sangat penting untuk dilatih, dipupuk, dibina, dan diberdayakan agar mampu memberi manfaat besar bagi diri kita pribadi ataupun masyarakat luas.
Dalam hal ini kreativitas tidak hanya diperlukan untuk mencapai puncak karier, tetapi juga membangun sebuah peradaban yang menebarkan manfaat bagi banyak orang.
Arti penting kreativitas pada saat ini sepertinya sudah diakui sebagian besar kalangan. Terbukti negara kita memasukkan "unsur" kreativitas sebagai bagian penting yang memerlukan perhatian tersendiri. Saat ini pemerintah kita memiliki kementerian khusus yang diberi nama Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) dengan pimpinan barunya Bapak Wishnutama Kusubandrio.
Eks pelaku bisnis kreatif pertelevisian Indonesia yang mendapatkan mandat khusus dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk meningkatkan kreativitas di Indonesia melalui jabatan Menparekraf. Rekam jejak Wishnutama dalam dunia pertelevisian diakui banyak pihak telah menciptakan "label" kreatif pada dirinya. Terlebih pada saat acara Opening Ceremony Asian Games 2018 yang fenomenal kala itu di mana "Presiden Jokowi" melakukan aksi bak film aksi Hollywood. Sebuah aksi yang mengundang decak kagum ini adalah salah satu buah karya dari Wishnutama.
Potret sebagai sosok kreatif itulah yang mungkin diharapkan Presiden Jokowi bisa menular ke segala penjuru negeri ini. Sebagaimana kita tahu, pada saat debat kampanye calon presiden dan wakil presiden beberapa waktu lalu Pak Jokowi dan Kyai Ma'ruf "memperkenalkan" kepada publik terkait salah satu program andalan mereka yang diberi nama Desa Wisata (Dewi) dan Desa Digital (Dedi).
Harapan yang ditujukan agar desa-desa di seluruh pelosok negeri ini mampu menjadi lokomotif utama pembangunan di era modern. Tentunya visi ini patut diapresiasi mengingat hal itu memiliki potensi besar untuk memeratakan pembangunan di negeri ini.
Dewi dan Dedi adalah salah satu contoh bagaimana sebuah desa dikemas secara kreatif dan kondisi perekonomian "diserahkan" langsung kepada masyarakat di kalangan akar rumput. Potensi desa-desa di seluruh Indonesia tentu sangat beraneka ragam dan memiliki keunikan tersendiri. Hanya saja potensi itu mungkin masih belum banyak disadari.
Sehingga diperlukan pengarahan yang tepat agar masyarakat "menyadari" sendiri potensi besar apa yang mereka miliki. Salah satu contoh fenomenal tentang desa yang telah "menemukan" potensi besarnya itu adalah Desa Umbul Ponggok, di wilayah Kecamatan Polanharjo, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah.
Upaya kreatif aparat Desa Umbul Ponggok telah merubah wajah desa yang sebelumnya hanya berpenghasilan Rp 5 juta per tahun menjadi Rp 6,5 miliar per tahun (Kompas.com, 2016). Bahkan saat ini Desa Umbul Ponggok ini telah berkembang dengan sangat luar biasa dengan kreativitas-kreativitas di sektor lain. Sesuatu yang patut dicontoh oleh desa-desa lain seiring prestasi desa ini menjadi seorang "Dewi" yang sukses.
Nasib "Dewi" dan "Dedi"
Mengutip dari laman katadata.co.id, jumlah desa di seluruh Indonesia berdasarkan informasi Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2018 adalah sekitar 75.436 desa. Dari sekian banyak desa yang ada di Indonesia itu, berapa banyak desa yang namanya populer di telinga kita selain Desa Umbul Ponggok?
Barangkali ada yang menyebutkan nama Kampung Inggris di daerah Kediri, Jawa Timur. Atau mungkin ada yang menyebut Desa Penari yang terkenal dengan KKN mistisnya itu? Ya, sepertinya masih sangat sedikit desa-desa di Indonesia ini yang namanya dikenal luas terkait kreativitas yang dimilikinya.
Bapak Wishnutama selaku Menparekraf beserta jajarannya tentu menyadari Pekerjaan Rumah (PR) yang harus beliau selesaikan. PR besar tentunya bagi beliau untuk bisa membangun desa "baru" yang berdaya saing secara wisata ataupun dalam hal digitalisasi.
PR ini tidak semata-mata merubah tampilan desa menjadi tempat wisata atau membedayakan sarana prasarana berbasis digital, akan tetapi juga harus mampu memberikan sumbangsih maksimal terhadap pembangunan bangsa dan kesejahteraan masyarakat di wilayah itu sendiri. Syukur-syukur jikalau keberadaan Dwi dan Dedi ini mampu mengerek desa-desa di sekitarnya untuk turut serta menjadi kreatif.
Wahyu Aditya, dalam bukunya Sila ke-6: Kreatif Sampai Mati, menjabarkan bahwa kreativitas itu sama pentingnya atau jauh lebih penting dari bahasan eksak. Bahkan seorang Albert Einstein pernah memberi pernyataan bahwa imajinasi lebih berarti dari sekadar ilmu pasti. Imajinasi adalah tentang kreativitas.
Pola pikir kreatif itulah yang perlu ditularkan kepada segenap rakyat Indonesia. Kreatif bukan hanya hak orang-orang yang tinggal di kota-kota besar dengan label kota kreatif. Akan tetapi hal itu juga menjadi hak orang-orang yang bertempat tinggal di desa-desa. Terlebih dengan semakin berkembangnya teknologi informasi, impian untuk menciptakan sebuah komunitas pedesaan yang terdigitalisasi bukan lagi pepesan kosong semata. Harapan itu sangat realistis untuk diwujudkan.
Saya yakin Bapak Wishnutama menyadari sepenuhnya hal itu. Lantas bagaimana nasib "Dewi" dan "Dedi" itu saat ini? Sama halnya ketika kita mengajukan pertanyaan kepada Mendikbud Nadiem Makarim, jawabannya adalah kita harus memberi mereka waktu untuk mempersiapkan semuanya. Apalagi dengan karakteristik desa-desa di Indonesia yang bejibun jumlahnya itu tentu tidak bisa dituntaskan dengan satu jenis gagasan saja. Bisa jadi hal itu membutuhkan beragam langkah kreatif agar mampu memberikan hasil yang optimal.
"Tangan dingin" Menparekraf beserta sumbangsih dari wakil menteri (wamen) sangatlah dibutuhkan di sini. Selain tentunya harus ada semangat kolabirasi dari segenap masyarakat di desa untuk turut serta memajukan desa tempat tinggalnya. \
Apabila Dewi dan Dedi dibuat sebagai bagian dari bentuk adaptasi bangsa terhadap perkembangan zaman, maka konsep utama dari zaman disrupsi ini juga penting untuk diikuti. Sekarang adalah eranya ekonomi berbagi (sharing economy). Dan sepertinya cita-cita membangun Dewi dan Dedi itu juga harus menerapkan prinsip serupa.
Harapan kita adalah pembangunan dirasakan betul manfaatnya oleh seluruh lapisan masyarakat. Masyarakat desa harus diajak berperan aktif untuk penciptaan kesejahteraan hidup mereka sendiri. Karena selama ini hidup masyarakat desa lebih banyak bergantung pada kondisi ekonomi di kota-kota besar.
Desa masih belum menjadi pusat dari berkembangbiaknya sektor ekonomi di negara kita. Mungkin sekaranglah saatnya bagi desa-desa itu untuk mulai menngambil alih peranan terkait pembangunan di Indonesia.
Salam hangat,
Agil S Habib
Refferensi :
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H