Ada cukup banyak orang diluar sana yang mengeluhkan kondisi kehidupannya, terutama yang berkaitan dengan faktor ekonomi. Ada yang mengeluhkan mahal-mahalnya harga bahan kebutuhan, ada yang mengeluhkan nominal penghasilan kecil, dan lain sebagainya.Â
Pada akhirnya tidak sedikit dari kita yang beranggapan bahwa hidup itu mahal karena semuanya serba harus membayar untuk memenuhi setiap kebutuhan yang ada.
Pernyataan bahwa hidup itu mahal sudah bukan sesuatu yang asing lagi di masyarakat kita. Namun apakah memang pernyataan ini benar adanya?Â
Apabila kita menarik ke belakang terkait esensi dari keberadaan kita di dunia ini, hal itu tidak lain hanyalah untuk beribadah dan mengabdi kepada Sang Pencipta. Ibadah itu bisa berupa aktivitas ritual keagamaan, bisa dalam hal berbagi kepada sesama, serta bisa dalam wujud sikap kita terhadap kehidupan ini.Â
Kesabaran kita saat menghadapi ujian, ketabahan kita saat menerima cobaan, adalah bagian dari perwujudan ibadah itu sendiri. Dan untuk hal ini bisa dikatakan kita tidak harus mengeluarkan bayaran sepeserpun, alias gratis.
Jikalau yang beranggapan bahwa hidup mahal adalah mereka dengan kondisi ekonomi serba kekurangan maka barangkali pernyataan tersebut lebih "mendekati" kebenaran.Â
Hanya saja pernyataan terkait hidup itu mahal juga banyak diutarakan oleh orang-orang dengan kelas ekonomi yang mencukupi untuk menyantap makanan lebih dari tiga kali sehari dan setiap harinya menu hidangannya berganti-ganti.Â
Disatu sisi ada orang yang cukup bahagia dan bersyukur bisa menikmati hidangan nasi putih berlauk ikan asin atau tahu tempe. Tetapi disi lain ada juga orang-orang yang meski bersantap dengan lauk telor atau ayam pun tetap beranggapan bahwa hidup itu mahal.Â
Apabila ukuran mahal tidaknya hidup dilihat dari sisi ekonomi, sayogyanya mereka yang bisa menikmati makanan sehari-hari tidak lagi berkatan bahwa hidup itu mahal. Karena sebenarnya yang mahal bukan biaya untuk hidup, tetapi biaya untuk gaya hidup.
Mereka yang sudah memenuhi kebutuhan dasarnya seperti sandang , pangan, papan beranggapan bahwa hidup mahal karena mereka tidak memiliki cukup uang untuk merenovasi rumahnya, uangnya terbatas untuk membeli smartphone, atau tidak bisa membeli baju baru meskipun sehelai.Â
Lantas yang dilakukan oleh orang-orang itu adalah meminjam uang kesana kemari agar semua hal itu bisa mereka penuhi. Bayarnya nanti setelah punya uang, setelah gaji keluar, setelah suatu barang terjual, dan lain sebagainya.Â
Bahkan kini seiring bejibunnya penawaran pinjaman online, orang-orang berbondong-bondong meminjam uang disana. Hutang tidak lagi dipikir jangka panjang terkait bagaimana nanti harus membayar, bagaimana kalau nanti tidak ada uang saat jatuh tempo.Â
Hal ini luput dari pertimbangan atau barangkali memang sengaja diabaikan. Yang penting sekarang ada uang untuk bisa menutupi semua kebutuhan tadi.
Gaya hiduplah yang mendorong kita ingin memiliki baju ganti yang layak, membeli rumah, atau melakukan renovasi tempat tinggal. Banyak keluarga muda yang beramai-ramai mengajukan kepemilikan rumah via Kredit Pemilikan Rumah (KPR), meskipun sebenarnya uang yang mereka miliki terbatas.Â
Mereka enggan tinggal di rumah kontrakan terlebih dahulu karena merasa bahwa memiliki rumah sendiri harus segera diupayakan. Apakah seseorang yang tinggal di rumah kontrakan tidak lantas bisa hidup dibandingkan mereka yang tinggal di rumah sendiri? Gaya hidup untuk memiliki rumah sendiri telah menciptakan kesan bahwa hidup itu mahal.Â
Lalu pada saat rumah berhasil dibeli lewat KPR, ada keinginan untuk membangun pagar rumah. Uangnya sudah sangat terbatas. Akhirnya setelah meminjam kepada kerabat, pagar rumah yang didambakan berhasil dibangun.Â
Uang hasil pinjaman pun habis, semuanya terpakai pada pembangunan pagar yang telah dilakukan. Pertanyaan lagi, dengan tidak memasang pagar rumah apakah hal itu membuat seseorang tidak bisa hidup? Kembali, yang mengharuskan kita membayar lebih adalah gaya hidup yang kita damba.Â
Gaya hidup itu oleh sebagian orang bisa dimaknai sebagai keinginan, tapi juga bisa dikatakan sebagai kebutuhan. Memiliki rumah sendiri adalah kebutuhan, tetapi mereka yang hidup dengan mengontrak rumah atau tinggal di kos-kosan masih tetap hidup.Â
Apakah pagar rumah tidak dibutuhkan? Tetap butuh karena itu bisa berfungsi sebagai alat bantu melindungi rumah yang kita huni berikut isi yang ada didalamnya.Â
Jika kita kembali pada esensi utama hidup kita, maka bisa dibilang bahwa hidup itu sebenarnya murah. Kita makan ala kadarnya, bertempat tinggal di rumah milik orang lain (kos atau kontrakan) pun kita masih tetap hidup.
Hidup untuk Mencapai Sesuatu
Kita sering beranggapan bahwa keberadaan kita didunia ini adalah untuk menghasilkan uang sebanyak mungkin, memenuhi kebutuhan atau keinginan untuk memiliki rumah sendiri, memiliki mobil atau kendaraan pribadi, memberikan pendidikan di lembaga bergengsi, memberikan makanan enak kepada diri sendiri dan keluarga, atau meninggalkan warisan yang melimpah kepada anak cucu.Â
Padalah semua itu pada akhirnya tidak pernah kita bawa untuk selama-lamanya. Mereka yang meninggal dunia yang membawa sepotong kain kafan yang dipakaikan pada dirinya. Lalu buat apa kita terus mengeluh bahwa hidup itu mahal sedangkan kita sebenarnya sudah cukup mampu untuk hidup?
Apakah hal ini lantas tidak membolehkan kita untuk berangan memiliki sesuatu dimasa yang akan datang? Tidak bolehkah kita berangan memiliki tempat tinggal pribadi? Tidak bolehkah kita berharap memiliki baju baru?Â
Terlarangkah berharap menjadi orang kaya? Jawabannya tentu boleh dan tidak terlarang. Bagaimanapun juga semua hasrat yang muncul didalam benak seseorang bisa menjadi stimulus berharga yang memicunya untuk hidup dengan lebih bersemangat, bekerja keras, dan mengerahkan segenap effort yang ada demi memastikan semua harapan itu terwujud.Â
Hanya yang perlu diperhatikan adalah kita harus mampu mengukur kapatias diri. Jangan berlebihan. Secukupnya saja itu jauh lebih baik. Kalau masih punya baju cukup banyak untuk dipakai, maka hendaknya menahan diri untuk membeli yang baru.Â
Kalau masih ada kebutuhan lain yang lebih penting dan uangnya juga terbatas, tidak perlu malu untuk sementara tinggal di rumah kontrakan. Ketika kita memasakan sesuatu yang tidak seharusnya, akhirnya kita justru mengeluhkan banyak hal.
Seiring dengan semua keinginan yang kita miliki atau semua kebutuhan yang hendak kita cukupi itu, bukanlah tindakan tepat jikalau kita menyertainya dengan keluhan demi keluhan. Adakalanya kita berada dalam situasi sulit, dan membuat kita merasa tertekan dari berbagai penjuru.Â
Namun hal itu harus kita sikapi secara tegar. Hidup adalah ibadah, dan bersabar melewati ujian adalah bagian dari ibadah juga. Sesuatu terbesar yang hendaknya menjadi orientasi utama kita adalah tentang bagaimana kita menjadi sebaik-baik manusia, yaitu yang memberikan manfaat bagi orang lain.Â
Hidup itu bukan untuk mengeluh, tetapi untuk berjuang. Satu poin penting dari sikap ini adalah mendapatkan ridho dari Sang Pencipta atas kehidupan yang kita jalani ini.
Salam hangat,
Agil S Habib
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H