Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Esais; Founder Growthmedia, dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Plan, Create, Inspire

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Menjadi Karyawan Tidak Membuatmu Terpenjara, Berkreasilah!

14 September 2019   07:00 Diperbarui: 14 September 2019   13:41 241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kita Perlu Berkreasi Di antara Rutinitas Hidup yang Dijalani | Ilustrasi gambar: pixabay.com

Barangkali kita pernah mendengar keluh kesah rekan-rekan kita yang berprofesi sebagai karyawan pabrik atau pekerja di suatu organisasi bisnis. 

Mereka merasa bahwa profesinya hanya membuat kehidupan mereka "begitu-begitu" saja. Terbersit keinginan untuk menjalankan usaha sepulang kerja, tapi tubuh serasa lelah selepas seharian penuh bekerja. 

Pada akhirnya waktu setelah pulang kerja pun hanya dimanfaatkan untuk melepas penat. Beristirahat. Mereka kemudian benar-benar menggantungkan sepenuhnya kondisi perekonomiannya pada profesi sebagai karyawan. 

Sehingga tidak sedikit yang lantas mengeluhkan kondisinya karena merasa hidupnya penuh dengan keterbatasan ekonomi, tidak leluasa saat menginginkan membeli suatu barang tertentu karena harus menunggu sampai akhir bulan terlebih dahulu selepas gajian.

Kehidupan sebagai karyawan menjadi tak ubahnya penjara bagi sebagian orang. Bagi yang bekerja di jam kerja "normal", masuk jam 08.00 dan pulang jam 16.00 atau 17.00, hari-hari seseorang benar-benar dihabiskan untuk bekerja saja. 

Pagi berangkat kerja, pulang sore, malam istirahat di rumah, dan besok pagi kembali lagi berangkat. Saat akhir pekan barulah ada kesempatan untuk rehat dari rutinitas pekerjaan yang menjemukan. Hari-hari selanjutnya kembali berlangsung tidak jauh berbeda dari sebelumnya. 

Untuk mereka yang bekerja shift, mungkin ada perubahan jam masuk serta pulang kerja setiap satu minggu sekali atau setiap beberapa periode waktu tertentu. 

Namun sebenarnya hal ini hanya memperpanjang pengulangan waktu siklus rutinitas dari pekerjaan seseorang saja. Kembali, kondisi seperti ini bagi sebagian orang terasa monoton. Membosankan.

Akan tetapi rutinitas menjemukan seperti itu bagi sebagian orang lain justru memberi mereka kesempatan untuk berkarya lebih dari biasanya. 

Orang-orang yang mampu mencari celah di antara kemonotonan profesinya, justru mampu berkreasi sesuatu yang lebih dari biasanya sehingga mampu memberikan manfaat besar bagi kehidupan pribadi mereka di masa yang akan datang. 

Kita tentu sudah tidak asing menjumpai orang-orang berprofesi karyawan yang masih menyempatkan diri untuk bekerja paruh waktu dengan memberikan layanan jasa ojek online, membuka lapak dagangan selepas pulang kerja, menempuh studi akademik tingkat lanjut, atau bahkan ada yang membuka jasa lain yang bertolak belakang dibandingkan dengan jenis profesi yang dijalaninya sebagai karyawan. 

Saya kira banyak dari para karyawan yang sebenarnya tidak memiliki passion atas profesi yang dijalaninya tersebut selain hanya sebatas sebuah rutinitas biasa tempat mencari nafkah. Mereka menjadi karyawan karena tuntutan untuk menghidupi kebutuhan hidup pribadi serta keluarganya. 

Seandainya semua kebutuhan hidup mereka terpenuhi, maka profesi itu bisa jadi mereka tinggalkan dan mencari profesi lain yang benar-benar mampu mereka nikmati sepenuhnya.

Bagaimanapun juga, tidak ada yang sempurna dalam hidup ini. Termasuk di antaranya perihal profesi yang kita jalani belum tentu menghadirkan suka cita yang besar. 

Oleh karena itu sangatlah tidak mengherankan ketika ada sebagian orang yang beranggapan bahwa menjadi karyawan seperti berada dalam sangkar emas. 

Menikmati gaji pada satu sisi, namun di sisi lain merasa terkungkung tanpa kebebasan berekspresi. Anggapan ini sebenarnya tidak sepenuhnya benar karena ternyata ada banyak orang di luar sana dengan profesi serupa, tapi tetap bisa menikmati profesinya itu. 

Meskipun sebenarnya profesi sebagai karyawan yang dijalaninya tidak terlalu disenangi. Namun mereka menemukan "jalan lain" untuk berekspresi tanpa harus meninggalkan batas-batas yang ditentukan organisasi tempat mereka bekerja. Mereka masih bisa berkreasi tanpa perlu meninggalkan pekerjaan utamanya. 

Kehidupan yang Lain

Waktu kehidupan seseorang dalam satu hari adalah 24 jam, dan tentunya tidak semua waktu itu dipakai untuk bekerja atau menjalani profesi sebagai karyawan. 

Kemungkinan masih ada banyak waktu senggang di antara sekian waktu yang kita miliki dalam satu hari. Kita mungkin bekerja 8 jam sehari dan tidur 8 jam juga. Sisa waktu 8 jam lagi tentu tidak sepenuhnya diperuntukkan untuk satu kegiatan khusus saja. 

Bahkan di antara waktu 8 jam kerja itupun memungkinkan adanya waktu senggang. Demikian juga halnya 8 jam waktu alokasi istirahat, tidak setiap orang menggunakan sepenuhnya "jatah" itu. 

Terlebih pada era teknologi dan media sosial seperti sekarang, hampir setiap orang masih menyempatkan diri untuk menikmati tontonan pada layar smartphone miliknya. Bersantai.

Kita tidak bisa menyebutkan bahwa waktu kita habis karena bekerja, dan kita terpenjara karenanya. Apabila dari sekian waktu senggang yang kita miliki itu mampu kita pergunakan untuk berbuat hal-hal yang produktif, maka hal itu akan memberikan nilai tambah bagi hidup kita. 

Seseorang yang setiap harinya hanya menjadi karyawan kelas "rendahan", kemudian di sela-sela waktu yang ia miliki dipergunakan untuk menempuh pendidikan lanjutan, maka seiring setelah kelulusannya peluang bekerja pada posisi lebih baik akan didapatkan. 

Kemonotonan yang selama ini dianggap sebagai "pendamping setiap" hidup bisa tereduksi dengan sendirinya. Bagi mereka yang memiliki "gaya" lain dalam memanfaatkan sela-sela waktu sibuknya dengan menulis misalnya, suatu saat bisa jadi hasil tulisannya mereka mampu membawanya menuju profesi lain yang sesuai passion. 

Pertanyaan bagi kita adalah, bersediakah kita mengorbankan sedikit dari waktu senggang kita itu untuk berkreasi hal-hal yang lebih besar? Karena tidak sedikit di antara kita yang terlanjur nyaman dengan keterpenjaraannya. Mereka sudah nyaman dengan kemonotonan dan kesempatan bersantai di banyak waktu luang. 

Kesempatan besar untuk berbuat lebih demi menciptakan kehidupan yang lebih baik diabaikan begitu saja seiring adanya anggapan bahwa semua hal itu penuh risiko dan berpotensi membuang-buang waktu saja. 

Kita baru menyadari betapa pentingnya kita harus beranjak dari zona itu tatkala kita dihadapkan pada suatu kondisi di mana kemonotonan itu membuat kita tidak berkutik dan harus menerima keadaan sebagaimana adanya.

Salam hangat,

Agil S Habib

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun