Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Esais; Founder Planmaker99, dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Think Different, Create Excellent

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

"Artificial Intelligence" Pengawas Siaran Youtube

26 Agustus 2019   08:35 Diperbarui: 26 Agustus 2019   08:47 528
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media sosial butuh pengawasan berbasis kecerdasan buatan | Ilustrasi gambar : www.livemint.com - istock

Sudah beberapa kali terjadi ketika video unggahan di youtube memicu polemik dan kisruh di tengah-tengah masyarakat. Mulai dari video berkonten candaan, entertainment, diskusi publik, hingga ceramah keagamaan. 

Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok pernah menghebohkan jagad publik tatkala unggahan videonya saat masih menjabat sebagai gubernur DKI di Kepulauan Seribu dianggap menistakan agama, yang berujung pada aksi damai besar-besaran seperti aksi 411 dan aksi 212. 

Kemudian ada juga Andre Taulany ketika unnggahan video program talkshow-nya di salah satu stasiun televisi swasta dianggap menghina Nabi Muhammad SAW. Terbaru, Ustadz Abdul Shomad (UAS) juga mengalami situasi serupa. Dilaporkan ke Polisi karena unggahan video ceramahnya dianggap menghina agama lain. 

Uniknya, diantara kasus Ahok, Andre, hingga UAS ini memiliki suatu kesamaan. Video mereka sama-sama viral selang beberapa lama setelah pernyataan "live" yang mereka berikan. 

Bahkan ada yang berselang beberapa tahun lamanya. Artinya, kasus-kasus yang mengemuka itu sebenarnya masih akan tenggelam dibawah permukaan apabila videonya tidak beredar di dunia maya.

Segala aktivitas kita di media sosial mulai dari instagram, facebook, twitter, youtube dan lain sebagainya merupakan aktivitas-aktivitas yang bisa disaksikan oleh jutaan orang. Tulisan kita atau ucapan kita senantiasa berada dalam perhatian publik. 

Apabila kata-kata yang kita utarakan dianggap menyakiti pihak-pihak tertentu dan menimbulkan kegaduhan publik, maka bisa jadi kita akan menjadi pesakitan seiring laporan kepada pihak berwajib terhadap diri kita. 

Keberadaan UU ITE memang dimaksudkan agar masyarakat lebih berhati-hati dalam menggunakan media sosial, sehingga suasana kondusif tetap terjaga. Akan tetapi fakta di lapangan menunjukkan bahwa konflik horisontal masih saja sering terjadi.

Kasus Ahok menunjukkan kepada kita bahwa UU ITE memang berhasil menjerat pengunggah video penyebab keresahan dengan dijebloskannya Buni Yani ke penjara. Namun hal itu tidak bisa menghapus stigma penistaan agama yang dilakukan Ahok. 

Harus diakui bahwa setelah mengemukanya kasus Ahok, konflik horisontal dikalangan masyarakat lebih sering terjadi. Setidak-tidaknya kita lebih sering menjumpai perdebatan antar netizen di dunia maya. 

Konflik tersebut bahkan menjalar pada kontestasi pemilihan kepala daerah dan puncaknya saat pemilihan umum presiden (pilpres). "Luka" yang ditimbulkan oleh unggahan video tersebut ternyata berdampak luar biasa besar.

Ketika video UAS merebak, kita seolah dihadapkan pada dejavu dengan situasi yang berkebalikan. Konflik horisontal sepertinya sudah mengintai kita. Terbukti dari banyaknya aksi saling sindir para netizen, hingga bermunculannya tulisan atau video bernada krtitik dan penolakan. 

Apakah pemicu merebaknya kasus UAS ini didasari oleh ketidaktahuan pengunggahnya terkait sensitivitas konten ataukah karena hal itu masih perlu ditelusuri lebih jauh lagi. Secara UU ITE mungkin video ceramah UAS ini samasekali tidak "melanggar" aturan perundang-undangan karena hal itu sebenarnya dimaksudkan untuk suatu konumitas tertentu saja. 

Namun karena isi konten memiliki nilai yang secara prinsip berseberangan dengan keyakinan umat beragama lain, dan video dapat diakses oleh semua kalangan maka hal ini menjadi bermasalah. Oleh karenanya itu patut dipertanyakan peran dari keberadaan UU ITE tersebut.

Komisi Penyiaran Youtube

UU ITE hanyalah sebatas peraturan perundang-undangan yang bisa ditafsiri beraneka ragam oleh setiap orang. UU ITE juga tidak punya kuasa langsung menghindari unggahan tulisan atau video ke media sosial. Ia hanya sebatas menjadi pengingat bagi setiap orang atau menjadi penasihat para pengguna media sosial saat hendak membuat unggahan. 

Dengan kata lain kita semua hanya bisa berharap bahwa UU ITE akan mampu menjaga norma masyarakat saat berinteraksi di dunia maya tanpa ada kuasa langsung menghindari sesuatu yang berpotensi menciptakan konflik di tengah-tengah masyarakat seperti halnya kasus Ahok dulu atau kasus UAS baru-baru ini. 

Mungkin kita memerlukan sebuah satuan khusus yang bertugas melakukan filter terhadap setiap konten yang akan diunggah. Seperti layaknya Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang menyaring setiap program acara sebelum diputuskan tayang atau tidak di televisi atau bioskop tanah air. 

Terkait dengan hal ini, maka keberadaan youtube selaku media penyedia layanan video berbagai konten sebenarnya patut diperhatikan. Acara-acara di youtube bisa dikatakan berjenis sama dengan apa yang tampil di televisi. Sama-sama berwujud gambar video yang disaksikan banyak orang. 

Hanya saja di youtube kontennya lebih bervariasi dan bisa dibuat oleh siapa saja baik perorangan ataupun institusi. Berbeda halnya dengan tayangan program televisi atau film-film bioskop yang dikendalikan oleh suatu organisasi besar yaitu stasiun televisi atau rumah produksi.

Perlunya komisi pengawas penyiaran untuk konten youtube | Ilustrasi gambar : www.istockphoto.com
Perlunya komisi pengawas penyiaran untuk konten youtube | Ilustrasi gambar : www.istockphoto.com
Siaran program televisi hampir pasti melalui filter KPI sebelum tayang ditengah-tengah masyarakat. Namun apakah hal itu juga terjadi pada setiap unggahan video youtube? Sepertinya setiap pemilik akun youtube bisa kapan saja melakukan unggahan video tanpa melalui proses panjang penyeleksian. 

Berkualitas tidaknya suatu unggahan samasekali tidak menjadi dasar diizinkannya sebuah konten mengudara. Sehingga pada akhirnya banyak sekali unggahan video tidak berkualitas yang berseliweran di muka publik. Lebih berbahayanya adalah ketika video provokatif meluncur tanpa tedeng aling-aling. Menyasar langsung ke publik dan berujung kegaduhan.

Hal ini perlu disikapi segera oleh pihak-pihak terkait. Pemerintah semestinya sudah berfikir jauh dalam hal menjaga kondusivitas ruang publik. Terlebih dengan pernah terjadinya kasus Ahok dulu dan kini kasusa UAS. Peristiwa serupa tidak menutup kemungkinan akan kembali terjadi pada masa-masa mendatang apabila penanganan yang dilakukan masih seperti biasanya. 

Hal ini butuh sikap dan tindakan yang lebih dari biasanya. Bukan sekadar upaya yang berbeda dari sebelumnya, tapi upaya yang lebih dari biasanya. Biasanya kita hanya mengajak masyarakat untuk mematushi peraturan yang berlaku, biasanya kita hanya mengajak pengguna media sosial untuk bijaksana dalam bermedsos, dan sejenisnya. Upaya itu sudah sering dilakukan, dan ternyata hasilnya masih sama saja.

Bagi pengelola youtube atau jenis-jenis media sosial lain mesti berfikir lebih kreatif dengan menciptakan algoritma sistem yang mampu menanggulangi hal ini. Apalagi saat ini Artificial Intelligence (AI) sudah bukan barang yang asing lagi. 

Teknologi ini harus diberdayakan sembari terus dikembangkan untuk mejadi bagian dari komisi penyiaran youtube. Bagaimanapun juga, apabila kita memberlakukan konsep yang sama persis dengan yang dilakukan oleh KPI terhadap program-program yang ia awasi maka tentu butuh sumber daya manusia yang sangat banyak sebagai daya dukungnya. 

Konten-konten yang diunggah ke youtube setiap menitnya bisa berjumlah ribuan bahkan jutaan. Sangatlah sulit tentunya melakukan seleksi satu demi satu dari kesemua konten tersebut. Mau tidak mau kemjuan teknologi juga harus dibarengi dengan teknologi lain sebagai penyeimbang. 

Dalam artian bahwa gaung media sosial yang sudah demikian besar mesti disikapi dengan bijak dan cerdas. Diharapkan, video-video yang beredar di media sosial nantinya adalah konten-konten yang tidak memiliki unsur penistaan ataupun pencemaran nama baik. 

Hal ini tentu perlu pemikiran mendalam karena sudah pasti teknisnya sangat rumit bahkan kemungkinan besar membutuhkan dukungan finansial yang tidak sedikit. 

Akan tetapi saya sepenuhnya yakin bahwa peradaban kita saat ini cukup mampu untuk membuat solusi atas masalah sosial yang menjadi efek samping dari kemajuan era teknologi sekarang ini.

Salam hangat,

Agil S Habib

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun