Masih ingat dengan aksi damai 212 di monas pada tahun 2016 lalu? Sebuah aksi masa yang melibatkan umat muslim dari berbagai wilayah yang menuntut ditegakkannya keadilan terkait statement penistaan agama oleh Gubernur DKI Jakarta waktu itu, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok.Â
Pernyataan yang dilontarkan oleh Ahok di Kepulauan Seribu saat itu dianggap menodai keyakinan beragama umat Islam dan merupakan bentuk penistaan yang mesti ditindak tegas. Sesuatu yang pada akhirnya membuat Ahok masuk jeruji besi untuk mempertangungjawabkan perbuatannya.
Kini Ahok telah bebas. Namun beberapa hari terakhir tengah ramai dipersoalkan sebuah ceramah keagamaan yang dilakukan oleh Ustadz Abdul Somad Lc MA (UAS), yang mana isinya dianggap menyinggung keyakinan umat Nasrani perihal salib.Â
Padahal ceramah UAS ini sudah terjadi hampir tiga tahun lalu, tapi baru belakangan ini saja mengemuka. UAS dilaporkan ke Bareskrim oleh sekelompok orang yang menamai diri mereka Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) atas dugaan penistaan agama. Sesuatu yang hampir sama dengan yang dialami oleh Ahok.Â
Namun, anggapan yang disangkakan kepada UAS ini sebenarnya kurang tepat karena bagaimanapun juga UAS hanya menjawab pertanyaan jamaah dan itupun berdasarkan dasar atau dalil yang jelas didalam Islam. Bukan atas dasar argumentasi pribadinya sendiri. Jikalau pernyataan UAS dianggap menistakan agama lain, maka landasan suatu agama secara keseluruhan berpotensi dianggap menistakan agama lainnya karena dalam beberapa hal keyakinan Islam dan Kristen secara prinsip berbeda. Meskipun sebenarnya perbedaan ini adalah hak dari masing-masing pemiliki kepercayaan.
Permasalahannya disini sebenarnya bukan pada konten yang disampaikan oleh UAS terkait salib, karena "kebetulan" antara agama Islam dengan Kristen memiliki pandangan yang berbeda perihal hal ini. UAS menyampaikan pandangannya sesuai dengan pemahamannya terhadap ajaran agama. Begitupun saudara-saudara kita dari GMKI juga memiliki persepsisnya sendiri sesuai dengan keyakinan yang mereka miliki.Â
Ungkapan yang pernah disampaikan oleh Gus Miftah mungkin cukup tepat untuk memberikan gambaran terkait hal ini. Beliau mengatakan bahwa Indonesia itu bisa diibaratkan sebuah rumah yang memiliki beberapa kamar. Kamar tersebut ibarat keyakinan-keyakinan atau agama yang dianut oleh segenap masyarakat Indonesia. Kegaduhan terjadi ketika topik bahasan yang semestinya dibicarakan dalam satu kamar tertentu justru diumbar dan didengarkan oleh kamar lainnya.Â
Pertanyaan jamaah UAS tentang kayu salib tidak salah, dan jawaban UAS pun tidak salah dengan catatan hal itu sebatas menjadi "konsumsi" kalangan umat Islam saja. Saudara-saudara kita yang beragama Kristen atau Nasrani hendaknya tidak menjadi objek penyampaian materi ini. Ibarat sebuah kamar yang didalamnya terjadi obrolan asyik, ketika suaranya terdengar gaduh di kamar sebelah maka hal itu tentu mengganggu kenyamanan mereka yang tinggal di kamar lainnya.Â
Sayangnya, sekat-sekat pembatas antar kamar ini sepertinya sudah menghilang seiring kehadiran media sosial. Kehadiran youtube sebagai sarana berbagi video hampir tidak memiliki batasan samasekali. Ia bisa menjangkau semua kalangan dengan berbagai latar belakang. Begitu ada sebuah video diunggah, maka siapapun pengguna youtube bisa mengaksesnya. Entah dia beragama Islam, Kristen, Hindu, Budha, dan lain sebagainya. Media sosial telah menghilangkan sekat pembatas antar kamar yang semestinya menjadi tirai pembatas yang mampu mencegah ketersinggungan antara beberapa pihak.
Barangkali maksud dari penggunggah video ceramah UAS yang menjawab pertanyaan tentang salib itu ditujukan untuk sesama muslim lainnya. Akan tetapi sang pengunggah video "lupa" bahwa unggahannya tersebut juga bisa dilihat oleh orang lain yang berbeda agama dan keyakinan. Hal inilah sebenarnya yang menjadi pemicu utamanya.Â
Seandainya unggahan video tersebut tidak ada, maka topik bahasan masih akan tetap berada dalam ranah kamar masing-masing. Dalam hal ini mungkin kita bisa mengatakan bahwa medsos atau dalam hal ini youtube merupakan tersangka utama perusak harmoni antar umat beragama.
Zaman Medsos
Dahulu ketika media sosial masih belum hadir dan mewabah seperti sekarang kasus-kasus penistaan agama seperti apa yang dilakukan oleh Ahok dan yang disangkakan kepada UAS tidak pernah terjadi. Semua hidup dalam harmoni dan jauh dari aksi saling hujat. Seandainya dulu video Ahok tidak yang mengutarakan statement tentang Islam dan surat Al-Maidah di kepualauan seribu tidak pernah ada, barangkali Ahok tidak akan masuk penjara.Â
Karena Ahok pun sebenarnya tidak benar-benar berniat membuat rekaman videonya sendiri, atau dengan sadar memberikan pernyataan yang dianggap menista agama. Demikian halnya dengan UAS, beliau hanya sebatas menjawab pertanyaan dari jamaahnya dan tidak berkeinginan jawabannya itu divideokan serta disebarluarkan seperti sekarang.
Pangkal masalahnya mungkin keberadaan medsos. Namun lebih dari itu, sebenarnya kita sendirilah yang menjadikan semua kekacauan ini terjadi. Kita dengan mudahnya mengunggah video tentang bahasan keagamaan tanpa melihat sudut pandang umat dari agama lain. Kita tidak cukup arif dan bijaksana dalam melihat akibat dari tindakan yang kita lakukan.Â
Kita boleh berkeyakinan bahwa agama yang kita anut adalah yang paling benar. Akan tetapi hal itu tidak menjadi sebab dibolehkannya kita menyalahkan keyakinan umat agama lain. Sejak dulu keyakinan yang dimiliki oleh masing-masing agama tidak pernah berubah, tapi mengapa dahulu kita bisa hidup dengan damai?Â
Kita terlalu mudah mengumbar keyakinan kita dimuka publik tanpa tedeng aling-aling. Sesuatu yang semestinya cukup menjadi bagian dari bahasan komunitas kita, malah kita sebarluaskan kemuka publik yang heterogen. Jelas saja hal ini akan memancing keributan. Sayogyanya kita lebih bijak dalam mengambil tindakan.
Kasus Ahok semestinya sudah cukup memberikan kita pelajaran. Tapi seiring mencuatnya kasus UAS ini seakan menandakan bahwa kita ternyata begitu egois menyampaikan keyakinan yang kita miliki kepada khalayak luas. Bermedsos sah-sah saja, namun untuk topik-topik sensitif yang berpotensi menyinggung keyakinan orang lain semestinya lebih berhati-hati dalam pengutaraannya.Â
Salah-salah niatan yang sebenarnya baik untuk berbagi ilmu kepada saudara seagama justru menjadi blunder yang malah menciptakan disharmoni dengan saudara-saudara kita yang berbeda agama. Kita semua bersaudara. Semoga kita tidak terpecah belah oleh perbedaan yang kita miliki
Salam hangat,
Agil S Habib
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H