Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Esais; Founder Growthmedia, dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Plan, Create, Inspire

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Bimsalabim Abrakadabra Bersatulah Kembali Bangsaku

25 April 2019   07:14 Diperbarui: 25 April 2019   08:13 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Rekonsisilasi pasca pemilu harus dimulai dari atas dan diikuti oleh akar rumput (Ilustrasi gambar : www.pikiran-rakyat.com)

Pemilihan Umum (Pemilu) 17 April 2019 bukanlah pemilu yang pertama kali diselenggarakan oleh Bangsa Indonesia. Kita sudah melalui beberapa kali pemilu sejak periode kemerdekaan tahun1945. Mungkin perbedaannya pemilu tahun 2019 ini merupakan kali pertama pemilihan anggota legislatif dan presiden dilakukan secara bersama-sama. 

Namun jika kita lakukan perbandingan antara pemilu tahun 2019 ini dengan pemilu-pemilu sebelumnya, betapa terlihat jelas pertentangan yang terjadi antar masing-masing kubu. Pada pemilu terdahulu mungkin kita menemukan pertentangan dan perbedaan visi antar setiap kontestan. 

Akan tetapi hal itu masih terjadi dalam batas yang wajar, tidak berlebihan. Sangat jauh berbeda dengan saat ini dimana ketika keterbukaan berbicara dan beropini bisa dilakukan kapanpun dan oleh siapapun. 

Orang yang awam dengan politik pun bisa dengan mudah menyampaikan pandangannya, orang-orang yang sebelumnya tidak terlihat aktif berpolitik sekarang justru sebaliknya. 

Penyebab "kegaduhan" politik tanah air kita sebenarnya bukanlah pemilu, namun perkembangan teknologi informasilah penyebab utamanya. Perkembangan teknologi informasi telah memungkinkan setiap orang untuk serta merta berpendapat sesuai pandangan pribadinya masing-masing.

Pemilu telah usai. Namun kegaduhan politik perihal pemilu masih terus terjadi. Satu pihak mengklaim kemenangan, pihak yang lain mengklaim kecurangan, dan pihak yang lain lagi sibuk memperbincangkan hal-hal tidak jelas. Pemilu 2019 secara resmi belum diketahui pemenangnya, karena Komisi Pemilihan Umum (KPU) masih dalam proses melakukan rekapitulasi suara. 

Sehingga kurang tepat kiranya jika ada yang mengklaim kemenangan hanya berdasarkan data survei. Kurang tepat juga tindakan yang dilakukan para pemimpin bangsa lain dengan mengucapkan selamat atas kemenangan petahana hanya berdasarkan data quick count. 

Tentu pemimpin bangsa lain tidak salah melakukan itu, juga bukan hak kita untuk melarang mereka. Akan tetapi keberadaan hasil hitung cepat juga berisiko menciptakan kegaduhan publik. 

Masyarakat diminta bersabar menunggu hasil perhitungan KPU, sedangkan disisi lain perhitungan cepat sudah merilis siapa pemenang pemilu. 

Arahan ini seakan merupakan sebuah kontradiksi. Jika memang masyarakat diminta menunggu keputusan hasil pemilu semata dari KPU, maka sebaiknya tidak perlu ada lagi quick count yang diwartakan melalui media masa.

Mengembalikan kondusivitas publik melalui kata-kata atau kalimat penuh retorika tidaklah semudah membalik telapak tangan. Paradigma pertentangan dan "permusuhan" seakan-akan sudah merasuki sebagian dari anggota masyarakat kita. Sampai-sampai keyakinan mereka terhadap sesuatu hal membuatnya membenci pihak lain. 

Mereka yang merupakan simpatisan Prabowo-Sandi tidak sedikit yang memandang Jokowi-Ma'ruf dengan begitu sinis bahkan ada yang penuh kebencian. Pun demikian juga sebaliknya. Situasi seperti ini sangatlah tidak sehat dan berpotensi merusak kerukunan hidup dalam berbangsa serta bernegara.

 Butuh waktu panjang untuk memulihkan kembali kondusivitas agar bisa seperti dulu lagi. Para elit politik mungkin bisa dengan cepat mengakhiri konflik atau pertentangan yang terjadi melalui meja perundingan dan diplomasi. Rekonsiliasi para elit sangat mungkin terjadi hanya dalam hitungan jam pertemuan. 

Namun bagaimana dengan mereka yang ada dibawah? Bagaimana rekonsiliasi yang terjadi diantara kalangan simpatisan di akar rumput? Kita bisa mengatakan dengan adanya rekonsiliasi dari masing-masing tokoh utama maka dengan sendirinya para simpatisan akan mengikuti. Semudah itukah?

Permasalahannya, cara pandang para simpatisan bisa jadi lebih ekstrem daripada yang dimiliki oleh para tokoh panutan mereka. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari brainwash yang terjadi dalam jangka waktu lama saat periode pergulatan politik berlangsung. 

Para simpatisan dijejali dan didoktrin informasi yang dimaksudkan agar mereka dengan sepenuh hati mendukung salah satu kubu serta menolak dengan keras keberadaan kubu lain. Doktrinasi yang sudah terjadi ini efeknya tidak bias dengan sekejap mata dihilangkan. 

Memulihkan pandangan seseorang untuk kembali seperti semula bukanlah tugas yang mudah. Entah berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk melakukan pemulihan kondisi agar seperti sediakala. 

Jikalau memungkinkan cara yang lebih cepat untuk melakukan itu semua, mungkin kita akan mengucap "Bimsalabim... Abrakadabra.. Bersatulah kembali bangsaku!". Sayangnya tidak ada magic untuk merealisasikan sebuah rekonsiliasi total dan menyeluruh dalam waktu cepat. 

Rekonsisilasi itu hanya akan mungkin terjadi apabila setiap anggota masyarakat memiliki semangat yang sama untuk bersatu dan melupakan perbedaan dimasa lalu. 

Jika kita melihat kepentingan yang sama untuk negeri tercinta ini, maka melepaskan ego pribadi atau kelompok yang selama ini melekat bukanlah sesuatu yang mustahil. Syaratnya, kita harus mau berdamai dengan masa lalu. 

Kita harus menghilangkan kecurigaan satu sama lain terkait adanya kemungkinan salah satu pihak akan menjerumuskan masa depan bangsa. Tentunya tidak ada kontestan politik dalam pemilu 2019 ini yang punya niatan untuk menghancurkan bangsa ini.

 Bapak Joko Widodo, Bapak Ma'ruf Amin, Bapak Prabowo Subianto, dan Bapak Sandiana Uno tidak ada satupun dari mereka yang ingin merusak negeri ini. Semuanya memiliki niatan yang baik untuk meningkatkan kesejahteraan bangsa ini.  

Dengan semua memegang semangat yang sama untuk kemajuan bangsa, maka seiring waktu tali sialturrahmi bernegara akan terajut kembali.

Salam hangat,

Agil S Habib

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun