"Dimarahi bos lagi! Nasib, nasib." Mungkin ini adalah sedikit curahan hati seseorang yang hidup mencari nafkah dengan bekerja kepada orang lain. Apalagi ketika sang atasan merupakan sosok temperamental dan cepat "panas". Ada kesalahan sedikit saja, ngegas.Â
Ada ketidakberesan sedikit saja, marah-marah. Ada ketidakcocokan, main sindir kiri-kanan. Apadaya sebagai anak buah tidak mampu berbuat apa-apa selain hanya mengangguk dan berkata, "Iya.". Mau melawan, menentang, dan beradu argumen? Lha, siapa kita? Hanya seseorang yang hidup mencari nafkah dari gaji yang diberikan orang lain atas jerih payahnya.Â
Risiko dimarahi, ditegur, dimaki-maki adalah sesuatu yang biasa. Syukur-syukur kalau dipuji sesekali. Tapi sekali lagi, menjadi orang bergaji tidak selamanya menyenangkan dan tidak setiap waktu juga mengalami kegelisahan. Ibarat naik roller coaster, naik-turun, jungkir-balik, sedih-ceria, dan sebagainya menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kisah perjalanan seorang manusia bergaji.
Ketika periode gajian datang, betapa bahagianya. Namun ketika ada permasalahan pekerjaan, dengan kemarahan atasan yang mengintai maka perasaan galau dan gelisah datang silih berganti. Berangan-angan punya atasan baik hati dan pemaaf mungkin adalah satu hal yang paling diimpikan waktu itu.Â
Sungguh tidak nyaman rasanya ketika dihadapkan pada suasana kerja dimana kita harus menerima makian atau umpatan. Jika kata-kata sang atasan pada waktu marah tidak terlalu menyakiti hati mungkin kita bisa menganggapnya sebagai angin lalu saja.Â
Lain halnya ketika ungkapan kemarahan bos kita sampai berbuah kata-kata yang menyakiti hati. Nyelekit. Bikin panas telinga. Bahkan menimbulkan kebencian didalam hati. Pada situasi seperti itu sebagian dari kita mungkin beranggapan apakah pantas dan sepadan hal  itu semua dengan gaji yang kita terima? Semakin besar tanggung jawab yang diemban pada umumnya salary yang diterima juga semakin besar.
Barangkali merupakan harapan sebagian besar orang yang berprofesi sebagai pekerja bergaji untuk memiliki rekan kerja dan atasan yang bersahabat serta situasi kerja yang kondusif tanpa perlu sikut kiri kanan. Namun tidak bisa dipungkiri bahwa kondisi seperti itu tidaklah ada di setiap perusahaan, instansi, lembaga, atau organisasi profit  yang didalamnya mempekerjakan orang seorang.Â
Padahal lingkungan kerja yang bersahabat sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh tim human resources dari salah satu perusahaan idaman dunia, Google, antusiasme dan produktivitas pekerja berkorelasi positif terhadap norma kerja organisasi yang membuat para pekerja merasa aman secara psikologis.Â
Dengan kata lain, bekerja tanpa khawatir harus dicaci maki merupakan salah satu kunci penting dalam meningkatkan produktivitas sebuah organisasi bisnis. Permalahannya adalah, setiap orang cenderung ingin menjaga senyaman mungkin apa yang menjadi miliknya.Â
Termasuk dari hal itu adalah harta benda yang diinvestasikan oleh para pemilik bisnis ataupun pemegang saham. Orang-orang seperti mereka tentu tidak ingin modal yang mereka tanam menguap begitu saja.Â
Akhirnya para pemilik modal ini akan memberikan semacam pressure dengan harapan memastikan agar tidak terjadi apa-apa dengan harta mereka. Pressure ini berlangsung secara sistematis dari atas ke bawah.Â
Pada umumnya, pressure ini diterjemahkan dalam sikap ataupun instruksi kerja. Akibat pressure yang begitu tinggi, tidak jarang satu orang dengan yang lain berdebat. Akibat tuntutan ketepatan kerja yang begitu tinggi, seringkali seorang atasan menekan begitu berat bawahannya hingga beberapa kali mereka kelepasan mengucapkan sepatah dua patah kata yang menyinggung perasaan.Â
Akibat keinginan untuk sempurna dalam setiap detail pekerjaan, tidak jarang terjadi saling memaki sesama rekan kerja. Bagaimanapun juga mereka yang ikut terlibat dalam "konflik" operasional pekerjaan tidak melakukan semua itu secara cuma-cuma. Mereka semua sama-sama mengharapkan imbalan berupa gaji. Hanya saja apakah sepadan besaran gaji itu tatkala sampai mengharuskan kita bersitegang satu sama lain hingga tercipta kebencian?
Ada yang mengatakan bahwa agar supaya tidak terus-menerus menjadi bagian dari sistem seperti ini, maka kita harus berlepas diri darinya. Dengan kata lain jangan menjadi karyawan atau pekerja yang mengandalkan penghasilan dari upah yang diberikan oleh orang lain.Â
Selama seseorang menggaji kita, maka dia memiliki kuasa atas diri kita. Meskipun kuasa itu sebenarnya juga memiliki batasan-batasan tertentu. Hanya saja sebagian orang bergaji seolah hanya mampu terdiam seribu bahasa begitu mereka menjadi seorang tervonis bersalah atas bagian tugas mereka sehingga membuat murka sang atasan.Â
Para pekerja ini hanya tertunduk dan mematung pada saat sang atasan meluapkan semua emosinya. Emosi yang bisa jadi didalamnya terselip beragam kata-kata tidak pantas, memojokkan, menyepelekan, dan menjatuhkan orang lain.Â
Terkadang ada sebagian atasan yang sampai memarahi bawahannya dengan mengucap segala kata-kata makian dari nama-nama hewan di kebun binatang. Seorang atasan dengan sikap begitu angkuh barangkali tidak hanya terdapat di sebuah organisasi bisnis saja, dalam lingkungan keluarga seperti Pembantu Rumah Tangga (PRT) kasus-kasus seperti ini jamak ditemukan. Kisah-kisah PRT yang sering mendapatkan makian dan hujatan mungkin sudah sering kita saksikan di layar televisi atau melalui pemberitaan di media masa.
Mereka yang mencari nafkah dengan bekerja kepada orang lain dan hidup dari gajian yang setiap periode waktu tertentu mereka terima pada prinsipnya bukanlah manusia-manusia yang dengan seenaknya saja diperintah dan diperas tenaganya.Â
Orang-orang ini sedang menjalin sebuah kesepakatan bisnis. Kesepakatan antara mereka yang menawarkan jasa dengan mereka yang mau menggantinya dengan sejumlah uang. Para pemberi gaji tidak semestinya bertindak seakan-akan ia berkuasa atas segalanya, dan tidak sepatutnya juga para penerima gaji tertunduk lesu seperti jongos. Mereka adalah sesama manusia yang berinteraksi satu sama lain dalam jalinan kesepakatan bisnis.Â
Salah satu pihak membutuhkan tenaga yang lain, disisi lain ada pihak sebelah yang membutuhkan uang dari yang lainnya. Mereka yang sama-sama berkepentingan ini kemudian bertemu dan bersepakat. Menjadi seakan terjadi ketimpangan karena salah satu pihak memiliki nilai tawar yang lebih baik daripada pihak yang lain.Â
Akibatnya ketika pihak lainnya terdesak hal itu "memaksa" dirinya untuk menjadi pihak yang "kalah". Apabila kedua belah pihak ini bisa saling mawas diri dan bijak memandang satu sama lain maka kerjasama akan terjalin dengan baik. Mereka yang bisa bekerjasama layaknya sebuah keluarga ternyata dalam jangka panjang jauh lebih produktif daripada mereka yang merasa lebih berkuasa dari yang lain. Harus ada penyamaan frekuensi serta kesepahaman melihat kepentingan masing-masing pihak.
Setiap tindakan pada dasarnya dimulai dari keinginan memperjuangkan motif pribadi. Semua bersikap untuk kepentingan egonya sendiri-sendiri. Masih sangat sedikit dari kita yang bertindak untuk mengutamakan kepentingan orang lain. Sama halnya seperti hubungan yang dijalin antara atasan dan bawahan, majikan dan anak buah, penggaji dan yang digaji. Semuanya memiliki egonya masing-masing.Â
Namun jangan sampai ego itu membuat kita lupa untuk menjadi manusia terbaik. Manusia yang memuji, bukan memaki. Manusia yang menasihati, bukan menyakiti. Ketika lisan dan tindakan kita sudah mampu merepresentasikan nilai-nilai mulia itu maka saya kira tidak perlu lagi ada makian dalam proses seseorang mencari nafkah untuk kehidupannya. Bukankah hal ini lebih sepadan?
Salam hangat,
Agil S Habib
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H