Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Esais; Founder Growthmedia, dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Plan, Create, Inspire

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Nak, Menangislah demi Matamu!

9 April 2019   07:57 Diperbarui: 9 April 2019   08:35 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hidup dan tinggal terpisah dengan sang buah hati merupakan cobaan terberat bagi orang tua, terlebih anak yang dirindukan itu masih berada dalam usia emas yang sedang lucu-lucunya. 

Melihat senyumannya adalah sebuah obat mujarab penawar lelah, mendengar ocehannya memberi ketenangan hati, dan menyaksikan galak-tawanya adalah kepuasan tak terkira. Ketika waktu bersua dengannya hanya terjadi di akhir pekan saja, dan itupun hanya semalam saja menikmati tawa candanya. 

Pada saat itulah kita sebagai orang tua merasa ingin memberikan segalanya kepadanya. Asalkan ia bisa tersenyum, tertawa, dan bersuka ria. 

Sehingga tidak jarang apapun yang menjadi keinginan sang buah hati hampir selalu dituruti. Seolah mendengar jerit tangisnya adalah sesuatu yang haram terjadi.

Diusia anak saya yang sudah menjelang satu setengah tahun ini tidak bisa saya pungkiri bahwa akhir pekan adalah saat-saat yang paling ditunggu. 

Bukan karena bisa melepaskan diri dari kepenatan kerja, namun lebih karena diakhir pekan itulah salah satu kesempatan saya berkumpul dengan keluarga khususnya berjumpa dengan anak yang tinggal bersama neneknya. 

Setiap kali saya datang berkunjung, anak saya hampir selalu menunjuk-nujuk tas yang saya bawa. 

Pada awalnya hal itu saya pahami sebagai keinginannya untuk bermain-main dengan tas. Namun si kecil itu ternyata masih saja terus menunjuk ke arah tas. Saya keluarkan beberapa barang isi tas, hingga akhirnya tangan mungilnya tertuju pada sebuah benda persi empat dengan layar disalah satu sisinya. Smartphone. 

"Anak usia 1,5 tahun darimana bisa tahu benda ini?", pikir saya. Mungkin beberapa kali ia melihat tante atau omnya yang sedang asyik bermain smartphone dengan sesekali ditunjukkan kepadanya. 

Yang menarik bagi anak saya dari smartphone itu sebenarnya cukup umum digemari oleh mayoritas anak kecil lainnya seperti video hewan-hewan,  teletubbies, lagu anak-anak, hingga game hewan-hewan. Ketika layar smartphone dinyalakan antusiasmenya seakan meningkat. 

Saat youtube atau game diputar ia ikut menggerakkan tubuhnya mengikuti irama lagu atau berceloteh lucu seolah-olah ingin berkata, "Ini bagus, Yah!", "Ini lucu, Yah!", "Adik sedang lihat video-video ini, Yah!". 

Tidak bisa dipungkiri bahwa itulah salah satu momen paling berharga tatkala bersama buah hati. Melihat tawa dan senyumannya yang begitu tulus dan meneduhkan.

Dibalik kesenangan yang dilihat anak saya, jujur sebenarnya ada kekhawatiran terkait apa yang ia lakukan dengan smarphone. Pandangannya begitu terfokus melihat layar smartphone. 

Bahkan untuk berkedip saja bisa dhititung jumlahnya dengan jari. Bagaimana kalau nanti matanya bermasalah? Bagaimana jika dimasa kecilnya ia harus memaka kacamata? Bagaimana jika penglihatannya terganggu? Pertanyaan penuh kekhawatiran itulah yang beberapa kali melintas di pikiran saya. 

Dengan berat hati saya mencoba untuk mengambil smartphone yang dipakai si kecil. Dengan halus saya tarik perangkat pintar itu. Pelan-pelan berharap ia tidak menyadarinya. Tapi,,,, aaaaaa! Jeritan kecil keluar dari mulutnya. Pertanda bahwa ia tidak sedang dengan apa yang saya lakukan. 

Hatinya tidak sudi mainan yang tengah asyik disaksikannya harus diambil. Mau tidak mau saya mencoba untuk mengalah. Sebentar membiarkan smartphone itu dimainkannya kembali sambil sesekali berbicara kepadanya, membujuknya agar menurunkan minat serta antusiasmenya memainkan perangkat pintar tersebut. 

Buruk rayu dan iming-iming mainan lain beberapa kali ditolaknya. Si kecil masih saja asyik dengan smartphone bersama tontonan kesayangannya.

Hampir satu jam berlalu waktu dihabiskan si kecil untuk menikmati tayangan lagu anak-anak, kartun, dan lain-lain di layar smarphone. "Mau sampai kapan kamu mau mainin HP terus, Nak?", batik saya. Melihat si kecil masih terus asyik, ibunya geger dan memintanya untuk menyudahi aktivitasnya memainkan smartphone. 

"Udah Nak main hape-nya! Kasian mata kamu itu.". Namanya anak kecil, ucapan ibunya seperti tidak digubris. Kondisi ini saya anggap tidak bisa diteruskan. Jangan sampai si kecil kecanduan gadget dan lantas melupakan hal-hal lain. 

Dengan sedikit mengabaikan konsekuensi tangisan akan terjadi, saya "memaksa" untuk mengambil smartphone itu dari genggaman tangan mungilnya. Tangisannya pecah. 

Tidak jarang ia menggulingkan tubuhnya seolah ingin memprotes tindakan yang saya lakukan. "Biarlah kamu menangis, Nak. Asalkan kamu tidak sampai terjebak ke dalam efek negatif penggunaan smartphone yang berlebihan.", "Menangislah Nak. Agar matamu tidak sampai mengalami masalah akibat smartphone.". 

Ada rasa iba dan tidak tega memang ketika sang buah hati yang begitu dirindukan tatapan wajahnya justru menangis. Namun ada hal lain yang perlu lebih dipertimbangkan daripada sekadar tangisan. Barangkali sebuah tangisan pun menjadi sesuatu yang berharga untuk dikenang selama menjalani hari-hari terpisah dari si kecil.

Sudah banyak kasus anak kecil yang harus mengorbankan penglihatannya akibat terlalu sering memainkan smartphone. Sudah banyak balita yang begitu terbiasa hidup dengan layar smartphone di dekapannya. 

Terkadang orang tua justru "menjejalkan" smartphone pada genggaman anak agar ia tidak berlarian kemana-mana dan agar sang orang tua bisa tetap menjalankan "kesibukannya" juga memainkan handphone. 

Urusan pekerjaan, berselancar di dunia maya, update status, atau menonton video viral mungkin merupakan hal-hal yang seringkali dilakukan oleh para orang tua disela-sela waktu senggangnya. 

Hanya saja beberapa orang tua seringkali lupa dan kebablasan menikmati kesibukannya itu hingga tidak mau diganggu oleh siapapun. Si kecil yang dilarang rewel, jangan banyak tingkah, jangan lari-larian. 

Keengganan untuk mengawasi setiap langkah si kecil berujung pada diambilnya langkah praktis dalam menenangkan mereka. Memberikan smartphone berikut tontonannya. Cukup. Masalah selesai. Browsing kembali bisa dilakukan.

Beberapa bulan kemudian ternyata sang anak mengalami gangguan pada matanya. Ketika dibawa ke dokter spesialis mata, sebuah vonis dijatuhkan. Sang anak diharuskan memakai kacamata. Beberapa orang tua masih menganggap anak kecil berkacamata adalah wajar. 

Sebagian lagi beranggapan dengan berkcamata juga terlihat lebih pintar. Benarkah? Mungkin sebagian anak kecil dengan kondisi tertentu memerlukan kacamata sebagai alat bantunya dalam belajar. 

Akan tetapi jikalau kondisi terjadi akibat kita sebagai orang tua yang tidak mengatur perilaku anak dalam memainkan smartphone, maka bisa dikatakan kitalah yang merenggut penglihatan normal mereka. 

Tidakkah kita kasihan melihat mereka nanti harus tertinggal dari teman-temannya yang tengah asyik berlarian penuh canda tawa sedangkan anak kita sendiri harus dengan risih berlari memegangi kecamatanya? 

Sebagai orang tua kita harus bijak dalam memberikan kesempatan anak kita bermain smartphone. Memainkannya boleh, tetapi harus dibatasi dan diatur waktu penggunaannya. 

Pola penggunaan pun juga harus diajarkan, seperti jangan menonton smartphone sambil tiduran atau menontonnya dengan jarak begitu dekat dari mata. 

Tentunya para orang tua mesti memahami betul setiap efek yang bisa ditimbulkan dari kebiasaan anak memainkan smartphone, sehingga orang tua menjadi lebih berhati-hati memperlakukan buah hatinya.

Anak saya masih terus menagis menunjukkan ketidaksetujuannya terhadap smartphone yang saya ambil. Ada rasa tidak tega mendengar tangisan si kecil yang begitu saya sayangi ini. "Ini demi kebaikanmu, Nak!". 

Saya menggendongnya, mendekapnya lembut, dan mengalihkan perhatiannya dengan mempertunjukkan hewan-hewan di sekitar rumah seperti kucing, kambing, bebek, ayam, hingga kupu-kupu. 

Pengalihan perhatian itu berhasil. Ansutiasmenya kembali bangkit setelah menyaksikan imutnya anak ayam yang berlarian mengikuti induknya. "Keisengannya" kembali muncul tatkala ia mulai memainkan ekor kucing. Ia minta diturunkan dan ingin kembali berlari. Bermainlah dengan gembira, kecil. 

Semoga kelak kamu menjadi pribadi hebat. "Maaf, Nak. Ayah membuatmu menagis. Tapi itu Ayah lakukan demi kebaikanmu, demi kebaikan matamu, dan agar kamu tetap bisa tetap bergembira sepanjang waktu."

Salam hangat,

Agil S Habib

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun