Hidup bekerja di tanah rantau dengan masih mengemban alamat kampung halaman yang terpampang di Kartu Tanda Penduduk (KTP) sedikit banyak menjadi kendala tersendiri. Mengurus pembukaan rekening bank bagi sebagian orang yang memiliki alamat KTP didaerah bank beroperasi tidak memerlukan keterangan domisili atau surat pengantar dari tempat bekerja.Â
Akan tetapi hal serupa tidak berlaku bagi orang-orang beralamat KTP luar daerah. Terkadang kondisi semacam ini menimbulkan pertanyaan di benak saya pribadi. Apakah ketika kita hidup di tanah rantau dalam ranah geografis negara Indonesia, Kartu Tanda Penduduk kita dianggap tidak bisa mewakili eksistensi kita sebagai warga Indonesia?Â
Bukankah seharusnya tidak memerlukan adanya persyaratan khusus antara orang-orang dari tanah rantau dengan penduduk domisili sekitar? Mungkin ada persyaratan administrasi dari pihak bank bersangkutan, namun perlukah hal itu?Â
Membedakan sesama warga negara dengan mekanisme dan persyaratan yang berbeda. Bukankah setiap warga negara berhak mendapatkan pelayanan yang sama di setiap titik yang ada di negara ini?
Beberapa tahun lalu mengurus perpanjangan Surat Izin Mengemudi (SIM) harus dilakukan di daerah asal pemilik kendaraan. Namun hal itu sekarang sudah tidak perlu lagi. Setiap pemilik kendaraan dapat melakukan perpanjangan SIM di tempat ia tinggal, di tempat mereka tinggal disalah satu belahan negara Indonesia.Â
Pelayanan dalam proses perpanjangan nomor kendaraan mungkin masih belum dilakukan dengan sistem serupa, karena mengharuskan pemiliknya untuk kembali mengurusnya ditempat kendaraannya berasal. Sebenarnya banyak sekali hal-hal di negeri kita ini yang bisa disimplifikasi.Â
Melayani kebutuhan warga negara sayogyanya tidak lagi dibedakan oleh domisili asal, karena bagaimanapun juga kita semua adalah warga negara Indonesia yang hidup sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Apakah salah apabila setiap layanan untuk warga negara dibuat sama rata? Asas persamaan bukankah harus diberlakukan kepada segenap masyarakat yang menjadi bagian dari Bangsa Indonesia?
Beberapa tahun lalu mempersyaratkan hal-hal seperti surat keterangan kerja atau domisili untuk mendapatkan pelayanan umum dari lembaga atau institusi milik negara mungkin adalah sebuah kewajaran. Namun seiring zaman yang terus berkembang dan persebaran penduduk sudah semakin cepat, relevansi terkait persyaratan pelayanan tersebut perlu dipertanyakan kembali.Â
Bagaimana mungkin eksistensi lembaga negara akan terjaga jikalau masih memberlakukan sistem model lama yang cenderung membeda-bedakan pelayanan kepada setiap warga negaranya.Â
Terlepas dari apapun jenis kebijakan yang diberlakukan oleh masing-masing lembaga atau institusi negara, setiap pelayanan haruslah diberlakukan sama rata meskipun setiap orang yang akan dilayani memiliki latar belakang domisili yang berbeda-beda. Prinsipnya adalah, dari manapun mereka berasal semuanya adalah sama-sama penduduk Indonesia. Sehingga perlakuan yang diberikan haruslah merata bagi setiap orang.
Segala jenis dan semua bentuk layanan masyarakat barangkali perlu ditinjau ulang. Terutama untuk pelayanan-pelayanan yang masih memberlakukan perbedaan dalam persyaratan pelayanan.Â
Ketika salah seorang anggota masyarakat mengorbankan sebagian waktunya dan menyempatkan diri datang ke suatu lembaga atau instansi milik negara untuk memperoleh suatu pelayanan, tapi kemudian karena mereka berasal dari lokasi yang berbeda dari tempat mereka ingin mendapatkan layanan hal itu menjadikan mereka tertolak.Â
Situasi seperti ini tentu menyisakan kekecewaan di benak orang tersebut. Sudah berkorban waktu tapi tidak memperoleh hasil sesuai harapan. Apakah kekecewaan seperti inilah yang diharapkan dari sebuah pelayanan?
Salam hangat,
Agil S Habib
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H