Terkadang kita dihadapkan pada situasi dan kondisi yang begitu menyebalkan yang memantik emosi. Suasana yang sebelumnya tenang bisa seketika berubah memanas oleh karena adanya peristiwa yang tidak diharapkan terjadi.Â
Seorang atasan bisa seketika naik darah setelah mendengar laporan adanya kesalahan bawahannya, seorang pemimpin pasukan dalam sekejap mata menjadi beringas tatkala memperoleh laporan kegagalan anggota pasukannya, seorang ayah atau ibu bisa kehilangan kendali dirinya ketika mendapatkan laporan bahwa anak mereka bermasalah di sekolah, dan lain sebagainya.Â
Terjadinya peristiwa-peristiwa yang tidak sesuai harapan seringkali mengundang kemarahan seseorang kepada orang yang lainnya.
Dalam artikel terdahulu yang berjudul Kepemimpinan Tanpa Amarah saya menjelaskan bahwa kemarahan adalah akibat dari adanya pembajakan emosi didalam diri kita.Â
Seringkali kemarahan yang mengusai diri seseorang ketika ia diluapkan oleh pemimpin kepada anggota tim, atasan kepada bawahan, atau dari orang tua kepada anak-anaknya malah menciptakan sesuatu yang kontraproduktif.
Lantas tidak bolehkah kita marah? Bagaimana dengan statement letakkan kemarahan pada tempat dan waktunya? Apakah ini berarti kita bisa mengekspresikan kemarahan pada kondisi-kondisi tertentu?Â
Secara garis besar, marah merupakan sebuah emosi yang sebisa mungkin dihindari. Terutama terkait dengan menjalin relasi antar manusia di lingkungan keluarga, lingkungan kerja, atau didalam sebuah komunitas yang menuntut adanya kerjasama dari segenap anggota komunitas tersebut.Â
Sangatlah tidak nyaman sebuah keluarga yang didalamnya memelihara kemarahan sebagai bagian dari budaya.Â
Begitupun dengan suatu organisasi, institusi, lembaga, atau komunitas-komunitas lain juga diharapkan agar didalamnya tercipta iklim komunikasi yang saling menghargai satu sama lain serta menjunjung tinggi kondusivitas yang mana hal ini tidak akan terjadi jikalau kemarahan dijadikan sebagai bagian dari media berkomunikasi.
Kemarahan mungkin merupakan bagian tak terpisahkan dari emosi seseorang. Yang terpenting disini bukanlah menghilangkan amarah didalam diri, akan tetapi bagaimana supaya kemarahan itu tidak memberikan dampak buruk terhadap jalinan komunikasi yang ada.Â
Seorang atasan dipersilahkan marah, tapi jangan sampai kemarahan itu diekspresikan langsung kepada anggota tim sehingga hal itu justru semakin memperburuk situasi dan akhirnya menciptakan iklim kerja yang tidak nyaman.
Kemarahan itu adalah akibat, dan kemarahan itu bisa dicegah apabila sebabnya kita hilangkan. Komunikasi dari hati kehati akan menghilangkan sekat pembatas komunikasi dari satu orang dengan orang lain.Â
Ia akan membuka tabir kebiasaan menahan informasi yang sebelumnya dimaksudkan untuk menghindari kemarahan. Sebuah kebiasaan yang sebenarnya justru berpotensi besar memantik kemarahan seseorang di kemudian hari.
Ketika badai amarah itu datang, ekspresi apa yang biasanya dilakukan? Mengeluarkan kata-kata kasar? Menggebrak meja? Membanting pintu? Melemparkan barang-barang?Â
Mengucapkan kata-kata pedas menyayat hati? Atau barangkali memukul seseorang? Beberapa hal itu adalah ekspresi kemarahan yang harus dihindari karena memiliki dampak yang sangat merugikan bagi pelakunya.Â
Efeknya tidak hanya kekecewaan dari orang lain yang menerima ekspresi kemarahan itu, tetapi juga menciptakan situasi yang merugikan di masa mendatang. Jadi kesimpulannya apakah kita boleh mengekspresikan emosi kemarahan pada diri kita atau tidak?
Abraham Lincoln, salah satu sosok presiden paling berpengaruh Amerika Serikat hidup pada era paling keras dalam sejarah kehidupan bangsa Amerika.Â
Ia hidup ditengah-tengah zaman perbudakan yang sangat rentan dengan pergolakan, peperangan yang terjadi di banyak tempat, dan beragam ujian emosi lain.Â
Pada masa itu seorang pemimpin sebuah bangsa pastilah menghadapi begitu banyak masalah yang menuntutnya untuk tegas dan cepat dalam mengambil keputusan.
Selain itu, kepatuhan dari tim untuk menjalankan instruksi atasan menjadi sesuatu yang begitu penting karena sedikit saja kesalahan mengambil keputusan bisa merugikan negara dan masyarakat luas.Â
Dalam situasi yang begitu keras inilah Presiden Abraham Lincoln mendapatkan ujian kesabaran yang sangat luar biasa. Ketika salah seorang komandan pasukannya diperintahkan untuk melakukan penyerangan kepada pihak pemberontak, hal itu justru diabaikan oleh sang anak buah.
Situasi ini tentu saja membuat murka seorang Presiden Lincoln. Ia menilai sang bawahan tadi betindak bodoh dan menjadikan peperangan tidak berhenti.Â
Presiden menuliskan surat dengan isi yang begitu kasar, penuh kecaman keras, dan sangat menjatuhkan harga diri sang komandan pasukan. Apakah kemudian kemarahan Presiden Lincoln ini berdampak baik terhadap kedamaian disana?
Kenyataan yang diketahui beberapa tahun setelah Presiden Lincoln wafat, surat berisi kecaman kepada sang komandan itu ternyata masih ada di balik tumpukan berkas di ruang kerjanya.Â
Surat itu tidak pernah dikirimkan oleh Presiden Lincoln kepada komandan pasukan yang telah memantik kemarahan besarnya itu.
Yang kita tahu saat ini, Presiden Lincoln dikenal sebagai sosok luar biasa yang berhasil menghapus perbudakan di Amerika Serikat.Â
Kepemimpinannya yang luar biasa telah memberikan banyak inspirasi untuk dipelajarai, dan salah satunya adalah tentang bagaimana ia mengekspresikan kemarahan yang dialaminya secara tepat.
Emosi marah memiliki efek buruk hanya ketika ia diluapkan, diekspresikan, atau disampaikan kepada orang lain yang menerimanya secara langsung ataupun tidak langsung.Â
Bagaimana jika ekspresi kemarahan itu tidak pernah sampai kepada orang lain? Tentu efek dari kemarahan itu tidak akan pernah ada. Jika ekspresi kemarahan itu tidak pernah disampaikan, bagaimana seseorang bisa tahu kita kecewa atau tidak puas terhadap apa yang mereka lakukan?
Justru inilah yang sebaiknya terjadi. Luapan kemarahan bukanlah cara terbaik untuk membuat seseorang memperbaiki dirinya.Â
Bagaimana seseorang bisa tahu dirinya bersalah atau tidak apabila ia tidak menerima dampak dari kesalahannya itu? Disinilah pentingnya membangun budaya kerja yang egaliter, terbuka, bersahabat, dan menjunjung tinggi keamanan psikologis segenap anggota tim.
Apabila kondusifitas kerja terjaga, keamanan psikologis tercipta, dan kejujuran tidak lagi menimbulkan ancaman maka sekecil apapun kesalahan akan dengan mudah diakui dan disadari oleh pelakunya.Â
Charles Duhigg dalam bukunya Smarter, Faster, Better menyampaikan sebuah hasil kajian bahwa kejujuran ditempat kerja meningkat drastis seiring kemanan psikologis yang terjadi didalamnya. Google adalah salah satu perusahaan yang terbukti berhasil menerapkan konsep ini kepada segenap anggota timnya.
Jika sudah demikian yang terjadi maka mengekspresikan kemarahan secara tepat dan bijak akan menghadirkan efek win-win solution.Â
Seseorang yang terpantik amarahnya dapat menyalurkan energi kemarahannya tanpa menimbulkan efek samping yang merugikan, sedangkan disisi lain para anggota tim bisa memperoleh kemanan psikologis yang berperan besar dalam meningkatkan antusiasme serta produktivitas mereka.
Mengekspresikan kemarahan bisa dituangkan dalam banyak cara, salah satunya dengan menuliskannya dalam kata-kata seperti yang dilakukan oleh Presiden Lincoln. Tapi dengan catatan bahwa surat itu jangan sampai dibaca oleh orang-orang yang menjadi objek kemarahan saat itu.
Selain itu, melepaskan energi amarah juga bisa dilakukan melalui cara-cara lain seperti menunaikan sholat (untuk yang beragama Islam), berteriak di alam terbuka nan sepi, berolah raga, dan lain-lain.Â
Kemarahan adalah salah satu bentuk energi, dan hukum kekekalan energi menyatakan bahwa energi tidak dapat diciptakan dan tidak dapat dimusnahkan. Sehingga energi kemarahan itu haruslah diubah kedalam energi lain yang positif.
Salam hangat,
Agil S Habib
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H