Kita hidup tidak terpisahkan dari orang lain. Keluarga, sahabat, rekan kerja, atau anggota masyarakat lain merupakan bagian tidak terpisahkan dari hidup kita sehari-hari.Â
Jalinan komunikasi, interaksi sosial, atau hubungan bisnis akan senantiasa memerlukan keterlibatan orang lain di dalamnya. Semakin luas jejaring yang kita bentuk, maka keuntungan yang kita peroleh akan semakin besar. Tentunya dengan kualitas hubungan yang baik antara kita dengan mereka semua.
Sebagaimana ada kata-kata bijak yang menyatakan bahwa, "Jangan terlalu bangga dengan memiliki 1000 teman, karena itu terlalu sedikit. Jangan merasa aman dengan memiliki 1 orang musuh, karena itu terlalu banyak."
Siapapun kita, sebaiknya memang menambah sebanyak mungkin relasi dengan orang lain, jalinan pertemanan, atau tali silaturrahmi yang baik dengan sesama manusia.Â
Memiliki rekanan yang banyak memang bisa dikatakan baik. Namun alangkah lebih baik lagi apabila dibarengi dengan kualitas pertemanan yang baik pula.
Mungkin tidak sedikit dari kita yang memiliki teman facebook diatas 5.000 orang, tapi apakah kita benar-benar menjalin komunikasi dengan mereka semua? Jangan-jangan ada banyak dari list teman facebook kita itu yang justru sering berkonflik dengan diri kita. Kuantitas teman kita banyak, tapi kualitasnya justru sebaliknya.
Sejak media sosial seperti facebook, twitter, instagram, dan lain-lain meningkat pesat kepopulerannya di masyarakat, semakin terlihat jelas pula bahwa perbedaan pandangan antara satu orang dengan orang yang lain seringkali berujung pada adu mulut, saling ejek, saling hina, hingga saling lapor.Â
Dalam kasus pemberitaan ringan seperti bahasan tentang siapa pemain sepak bola terbaik dunia antara Lionel Messi atau Cristiano Ronaldo saja sampai terjadi saling "serang" dan saling ejek di media sosial.Â
Seolah-olah dua pemain itu adalah sanak keluarga mereka sendiri yang dengan begitu gigihnya dibela. Lebih aneh lagi ketika saya menjumpai komentar sinis seseorang terhadap status vlog publik figur saat melakukan review kuliner, yang pada akhirnya berujung pada makian antarpribadi.Â
Ketiadaan perjumpaan secara langsung antar masing-masing pengguna media sosial bisa jadi memberi andil terkait begitu mudahnya seseorang menghujat, memaki, atau menyampaikan ketidaksukaannya kepada orang lain.Â
Meskipun sudah ada aturan yang jelas yang mengatur pergaulan di sosial media seperti UU ITE, toh ternyata masih banyak saja sikap sinis, menghujat, kritik pedas, dan lain sebagainya. Masalahnya bukan pada perkembangan teknologinya, bukan karena keberadaan media sosialnya, tapi karena kita sebagai pengguna yang melupakan etika penting pergaulan.
Dale Carnagie memberikan pengajaran yang luar biasa terkait bagaimana seseorang itu sebaiknya bersikap kepada orang lain. Sebuah sikap yang diharapkan nanti dikemudian hari akan memberikan konsekuensi positif kepada diri masing-masing.
Dalam buku How to Win Friends & Influence People, Dale Carnagie menyebutkan setiap orang akan senantiasa memberikan perlindungan terhadap dirinya sendiri tatkala disudutkan atau disalahkan oleh orang lain.Â
Setiap orang memiliki kecenderungan untuk bertindak defensif dalam melindungi dirinya. Bahkan dalam buku tersebut dikatakan bahwa dari 100 kesalahan yang dilakukan oleh seseorang, hanya satu saja yang benar-benar diakui oleh dirinya. Kita memiliki pembenaran masing-masing atas apa yang kita perbuat.Â
Bahkan seorang kriminal sekalipun seringkali berargumen bahwa apa yang dilakukannya itu untuk suatu kepentingan yang baik. Kita harus akui bahwa setiap orang tidak suka disalahkan, dikritik, terlebih disudutkan. Sehingga, jalinan komunikasi yang didalamnya masih mendewakan kritik, teguran, dan terlebih memojokkan tidak akan memberikan konsekuensi perubahan positif secara signifikan.
Apabila kita ingin merangkul orang lain untuk bergabung dan menjadi bagian tim pendukung kita, maka memenangkan hatinya adalah cara yang paling mujarab. Jika ingin membaur dengan baik di media sosial dan memiliki interaksi yang baik dengan orang banyak, maka kita harus menjauhi sikap sinis atau tindakan-tindakan lain yang berpotensi menciptakan ketersinggungan kepada orang lain.Â
Apabila seorang atasan mendambakan bawahannya bisa bekerja sama baik dengan dirinya, maka ia harus merubah pola komunikasi yang sebelumnya memarahi, mengkritik, atau sejenisnya dengan pendekatan yang lebih bersahabat. Setiap orang akan lebih senang ketika ia diingatkan secara halus.
Jikalau mereka berbuat salah, seorang pemimpin yang bisa menempatkan diri sebagaimana kondisi bawahannya itu akan lebih bijak nantinya dalam bersikap. Cara mengingatkannya bukanlah melalui bentuk penghakiman yang mempermalukan, melainkan tindakan bersahabat yang justru membuat anggota timnya lebih terbuka dan lebih introspeksi terhadap apa yang dilakukannya.Â
Terkadang kita harus melihat sesuatu dari kacamata orang lain, dan merasakan bagaimana seandainya kita berada diposisinya. Ada hal-hal yang kita pandang remeh tapi belum tentu demikian menurut orang lain. Budaya yang membentuk kepribadian setiap orang yang berbeda-beda tentu memberikan efek yang berbeda pula.Â
Cara berkomunikasi, inisiatif, atau kemampuan memutuskan sesuatu mungkin akan berbeda-beda juga. Jika kita bijak untuk memahami hal ini, maka seharusnya kita tidak akan langsung ceplas-ceplos dalam berkomentar serta tidak terburu-buru dalam menilai sesuatu. Sebuah tindakan yang terlihat buruk sekalipun mungkin sebenarnya tidak seburuk yang terlihat.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H