Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Esais; Founder Growthmedia, dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Plan, Create, Inspire

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Super Employee, Berani Jujur Hebat!

20 Februari 2016   05:17 Diperbarui: 20 Februari 2016   06:44 784
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kejujuran itu mahal harganya. Pasti. Siapa yang berani bersikap jujur maka dia pantas untuk diberi acungan jempol. Siapa yang berani jujur adalah orang hebat. Berani jujur hebat! Jujur itu tidak sebatas hanya pada ucapan saja, tetapi juga pemikiran dan tindakan hendaknya dilandasi  dengan sikap jujur ini. Bagaimanapun juga, pemikiran adalah hal mendasar yang menjadi awal mula perkataan dan tindakan setiap orang. Berorientasi pada kejujuran akan membuat setiap pribadi mengupayakan sebaik mungkin cara-cara dan langkah-langkah yang akan ditempuh guna meraih suatu tujuan. Bagaimana supaya bisa mendapatkan hasil yang baik dengan cara yang baik. Inilah konsep dasarnya. Apabila orientasi yang kita miliki dalam menggapai setiap tujuan didasarkan pada kejujuran, maka tidak akan lagi kita temukan para pelajar yang mencontek di setiap ujian kenaikan kelas, tidak akan ada lagi pejabat yang menerima suap dalam mengerjakan tugasnya, dan tidak ada lagi karyawan yang mengumbar kebohongan hanya untuk mendapatkan keuntungan dan penghargaan dari atasannya. Keinginan seseorang untuk berhasil mencapai suatu tujuan tertentu sering kiranya disalahartikan dengan perlunya menghalalkan segala cara agar tujuan tersebut bisa diwujudkan. Seorang calon pejabat pemerintah rela melakukan politik uang untuk memikat hati pemilih, para pengusaha rela memberikan sogokan agar bisa memenangi tender proyek, seorang calon Pegawai Negeri Sipil (PNS) rela membayar sejumlah uang ke beberapa oknum agar terwujud keinginannya menjadi PNS, seorang karyawan perusahaan bagian pembelian (purchasing) yang melakukan kong kalikong dengan pihak luar demi mengeruk keuntungan bagi dirinya sendiri, serta masih banyak lagi yang lainnya. Semua perilaku ini disebabkan oleh terlalu berambisinya seseorang dalam meraih suatu tujuan dalam bidang profesinya, sehingga ia akan berbuat apapun dan bagaimanapun caranya untuk meraih hal itu. Pada akhirnya yang terjadi adalah semakin mewabahnya sikap dan perilaku tidak jujur dalam lingkungan kehidupan kita.

Coba kita perhatikan beberapa orang calon PNS yang membayar uang sogokan untuk bisa diterima menjadi PNS di sebuah institusi pemerintah. Orang tersebut mungkin sebenarnya tidak memiliki kompetensi yang layak dalam menempati jabatan tertentu sebagai PNS. Namun karena adanya uang sogokan, maka kemungkinan orang tersebut untuk menyingkirkan para pesaingnya dengan kemampuan yang lebih mumpuni menjadi jauh lebih besar. Mereka yang bersikap jujur dalam meraih tujuannya seringkali mendapatkan perlakuan tidak adil. Hal inilah kiranya yang memunculkan ungkapan SIAPA YANG JUJUR, HANCUR! Seolah-olah ada sebuah legalisasi terhadap suatu ketidakjujuran.

Di dunia kerja, kita akan menjumpai orang-orang yang suka mencari perhatian dari atasannya. Seperti sebuah pengalaman dari seorang teman, sebut saja namanya Ahmad, beberapa tahun lalu. Pada saat itu Ahmad adalah seorang karyawan baru yang baru saja lulus dari kuliahnya (fresh graduate). Ia diterima bekerja di salah satu perusahaan manufaktur ternama di Jawa Timur sebagai staf bagian produksi. Ahmad adalah seorang pribadi yang tergolong cerdas dan cakap dalam bekerja. Suatu ketika, ia diminta untuk membuatkan laporan terkait produksi oleh Kepala Bagiannya.

“Pak Ahmad, Tolong saya dibuatkan laporan hasil produksi bulan ini dan beberapa bulan sebelumnya karena akan saya pakai untuk bahan meeting!” Seru bapak Kepala Bagian.

“Iya, Pak. Akan segera saya buatkan.” Ahmad menyanggupi perintah dari atasannya.

Butuh kerja keras dan waktu yang tidak sebentar untuk merampungkan laporan tersebut sehingga bisa selesai seperti yang diminta oleh sang atasan. Akan tetapi, saat laporan tersebut sudah rampung dan siap untuk diberikan kepada bapak Kepala Bagian (Kabag), ternyata ada atasan lain dari Ahmad yaitu supervisor-nya yang meminta hasil pekerjaannya tersebut.

“Pak Ahmad, laporan hasil produksinya kalau sudah selesai dikerjakan tolong diberikan ke saya saja ya. Nanti saya yang akan menyampaikannya ke Kabag.” Pinta Supervisor.

Ahmad yang tidak menaruh curiga sama sekali tentu saja memberikan laporan yang dibuatnya tersebut kepada supervisor tadi. Ia beranggapan bahwa laporan yang dikerjakannya itu akan disampaikan kepada Kabag sebagai hasil pekerjaannya.

“Iya, Pak. Ini kebetulan laporannya sudah selesai saya buat. Tinggal memindahkan saja datanya ke flash disck.” Ahmad menimpali.

“Ok Pak kalau begitu. Nanti akan saya sampaikan hasil pekerjaan Pak Ahmad ini ke Kabag” Balas supervisor.

“Terima kasih, Pak.”

Namun ternyata Ahmad salah. Supervisor tadi memang memberikan laporan itu kepada Kabag, akan tetapi supervisor tersebut mengatakan bahwa laporan yang diserahkannya tadi adalah laporan yang dibuat oleh supervisor itu sendiri. Ahmad yang mengetahui hal ini tentu saja memendam kekecewaan besar kepada si supervisor. Si supervisor sudah dengan seenaknya sendiri mengklaim hasil pekerjaan orang lain sebagai hasil kerjanya sendiri demi mendapatkan sanjungan dan penghargaan dari atasannya (baca: Kabag). Buntut kekecewaan Ahmad kepada supervisor­-nya memang tidak ditunjukkan secara langsung melalui kata-kata teguran. Ahmad yang kehilangan respek kepada si supervisor selanjutnya lebih banyak menentang dan berdebat terkait banyak hal dalam pekerjaan. Ahmad tidak lagi menjadi anak buah penurut yang bisa dimintai bantuan oleh supervisor-nya.   

Dalam kehidupan sehari-hari, khususnya terkait dengan dunia perdagangan dan jual beli, mungkin kita sudah tidak asing lagi saat menemukan pedagang-pedagang nakal yang mengurangi berat timbangannya sehingga ia mendapatkan keuntungan banyak dengan menjual barang lebih sedikit dari yang seharusnya. Terkadang ada juga pedagang yang mempromosikan jualannya kepada konsumen bahwa barang yang dijualnya adalah barang berkualitas tinggi, namun ternyata barang yang ia jual tersebut adalah barang yang tidak lebih dari barang bajakan dengan kualitas rendah. Kita juga sering menyaksikan berita-berita investigasi perihal penjual-penjual curang yang menjajakan barang dagangannya dengan dicampur zat-zat berbahaya seperti boraks, brem, formalin, dan lain sebagainya. Mereka ingin meraup keuntungan tanpa harus bekerja dengan susah payah. Inilah realitas yang masih sering terjadi di sekitar kita, yang seharusnya menjadi bahan renungan kita bersama.

Pada zaman Rasullullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dulu banyak sekali masyarakat yang berprofesi sebagai pedagang. Mereka bukan hanya berasal dari kaum muslim, akan tetapi banyak juga yang berasal dari kaum yahudi ataupun kaum-kaum yang lainnya. Pada saat itu banyak dari pedagang yahudi yang berbuat curang dengan mengurangi takaran timbangannya dengan harapan ia mendapatkan keuntungan lebih. Mereka menerapkan cara-cara kotor demi meraup keuntungan. Akan tetapi, Rasullullah dan kaum muslimin saat itu menghindarkan diri untuk melakukan hal-hal seperti itu. Alih-alih mengurangi takaran timbangan, Rasullullah justru mengajarkan kepada para sahabat agar supaya melebihkan jumlah barang yang dijualnya kepada para pembeli. Sedekah. Bukan mengurangi takaran, malah menambah takarannya. Dampaknya apa? Para pembeli merasa dihargai dan diperlakukan baik oleh pedagang. Para pembeli tersebut akan menaruh kepercayaan lebih berkat perlakuan jujur para pedagang muslim. The Power of Honesty. Kekuatan sebuah kejujuran. Kadang logikanya memang seperti bertentangan dengan hukum alam. Bagaimana tidak? Kalau kita menjual barang dan menambah takarannya sehingga pembeli mendapatkan lebih banyak, apakah itu tidak berarti bahwa barang yang kita miliki  lebih cepat habis? Sebaliknya jika kita mengurangi takaran barang yang kita jual maka bukankah itu berarti barang kita akan lebih lama habisnya? Dengan hitung-hitungan bahwa barang yang dijual memiliki jumlah yang sama, katakanlah 100 Kg beras dengan harga per kilogram Rp 15.000,-, jika kita menjualnya dengan cara orang culas dimana kita mengurangi takaran sebanyak 1 Ons (0,1 Kg) saja setiap kilogram beras yang kita jual maka pada saat 100 Kg beras tersebut berhasil dijual seluruhnya, maka pendapatan yang kita dapatkan adalah sebesar Rp 1.500.000,- (Pendapatan asli dari terjualnya 100 Kg beras) ditambah Rp 150.000,- (Hasil akumulasi dari pengurangan 0,1 Kg untuk setiap penjualan 1 Kg beras). Dari sini saja kita sudah bisa melihat “potensi” keuntungan sebanyak Rp 150.000,-. Bayangkan jika jumlah beras yang dijual berton-ton jumlahnya. Berapa banyak keuntungan yang diperoleh jika berhasil menjual semuanya? Coba kita bandingkan dengan cara pedagang muslim yang menjual dengan takaran semestinya. Paling banyak pedagang tersebut hanya akan meraup uang sebanyak Rp 1.500.000,- saja atau bahkan lebih sedikit lagi jika pedagang tersebut memberikan tambahan kepada para pembeli untuk barang yang dijualnya. Itu logika kita! Namun benarkah yang terjadi akan seterusnya demikian? Ternyata tidak.

Coba kita lihat lagi bagaimana cara Yahudi dan cara Muslim tadi menjual barang dagangannya. Yahudi mengurangi takaran timbangan untuk barang yang dijualnya sehingga jika berhasil menjual semua barangnya maka ia mendapatkan keuntungan lebih. Akan tetapi bagaimana jika ia tidak berhasil menjual semuanya? Bagaimanapun juga, pembeli yang merasa dirinya dirugikan akan kapok dan menyesal pernah membeli ke tempat yang merugikannya. Pembeli tersebut akan kehilangan kepercayaan pada pedagang nakal itu sehingga tidak akan lagi membeli di tempat yang sama. Lebih tidak mengenakkan lagi bagi para pedagang nakal tersebut ketika pembeli yang dirugikannya tadi mengatakan kepada calon pembeli lain tentang keburukan yang ia dapatkan dari membeli ke tempat pedagang nakal itu berada. Akibatnya apa? Jualannya menjadi sepi, tidak ada pembeli lagi. Kalaupun ada, hanya satu dua saja dan yang datang itupun besar kemungkinan tidak akan datang kembali kesana. Kalau sudah demikian bagaimana mungkin keuntungan yang diperkirakan bisa diperoleh menjadi mungkin terealisasi? Sedangkan apa yang dilakukan oleh pedagang Muslim dengan melayani pembelinya secara jujur justru memberikan hasil yang jauh lebih baik. Ia dipercaya oleh para pembelinya sehingga menjadikannya langganan. Konsekuensi positif didapatkan pedagang muslim tersebut berkat caranya yang jujur.

***

Kita semua pasti sudah tidak asing lagi dengan lembaga anti rasuah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Lembaga yang bertugas untuk menangani kasus-kasus korupsi ini memiliki slogan yang sangat bagus. BERANI JUJUR HEBAT! Mungkin slogan inilah yang harusnya disematkan kedalam hati setiap orang. Seorang hakim yang jujur adalah orang yang hebat. Seorang wakil rakyat yang jujur adalah orang yang hebat. Seorang pengusaha yang jujur adalah orang hebat. Seorang karyawan yang jujur juga merupakan pribadi yang hebat. Kejujuran menjadikan seorang pegawai rendahan memiliki derajat yang lebih tinggi daripada para pejabat tinggi yang bangga atas kebohongannya.

Oleh : Agil Septiyan Habib

Sumber gambar : http://kppnmakassar2.net

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun