Namun ternyata Ahmad salah. Supervisor tadi memang memberikan laporan itu kepada Kabag, akan tetapi supervisor tersebut mengatakan bahwa laporan yang diserahkannya tadi adalah laporan yang dibuat oleh supervisor itu sendiri. Ahmad yang mengetahui hal ini tentu saja memendam kekecewaan besar kepada si supervisor. Si supervisor sudah dengan seenaknya sendiri mengklaim hasil pekerjaan orang lain sebagai hasil kerjanya sendiri demi mendapatkan sanjungan dan penghargaan dari atasannya (baca: Kabag). Buntut kekecewaan Ahmad kepada supervisor-nya memang tidak ditunjukkan secara langsung melalui kata-kata teguran. Ahmad yang kehilangan respek kepada si supervisor selanjutnya lebih banyak menentang dan berdebat terkait banyak hal dalam pekerjaan. Ahmad tidak lagi menjadi anak buah penurut yang bisa dimintai bantuan oleh supervisor-nya.
Dalam kehidupan sehari-hari, khususnya terkait dengan dunia perdagangan dan jual beli, mungkin kita sudah tidak asing lagi saat menemukan pedagang-pedagang nakal yang mengurangi berat timbangannya sehingga ia mendapatkan keuntungan banyak dengan menjual barang lebih sedikit dari yang seharusnya. Terkadang ada juga pedagang yang mempromosikan jualannya kepada konsumen bahwa barang yang dijualnya adalah barang berkualitas tinggi, namun ternyata barang yang ia jual tersebut adalah barang yang tidak lebih dari barang bajakan dengan kualitas rendah. Kita juga sering menyaksikan berita-berita investigasi perihal penjual-penjual curang yang menjajakan barang dagangannya dengan dicampur zat-zat berbahaya seperti boraks, brem, formalin, dan lain sebagainya. Mereka ingin meraup keuntungan tanpa harus bekerja dengan susah payah. Inilah realitas yang masih sering terjadi di sekitar kita, yang seharusnya menjadi bahan renungan kita bersama.
Pada zaman Rasullullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dulu banyak sekali masyarakat yang berprofesi sebagai pedagang. Mereka bukan hanya berasal dari kaum muslim, akan tetapi banyak juga yang berasal dari kaum yahudi ataupun kaum-kaum yang lainnya. Pada saat itu banyak dari pedagang yahudi yang berbuat curang dengan mengurangi takaran timbangannya dengan harapan ia mendapatkan keuntungan lebih. Mereka menerapkan cara-cara kotor demi meraup keuntungan. Akan tetapi, Rasullullah dan kaum muslimin saat itu menghindarkan diri untuk melakukan hal-hal seperti itu. Alih-alih mengurangi takaran timbangan, Rasullullah justru mengajarkan kepada para sahabat agar supaya melebihkan jumlah barang yang dijualnya kepada para pembeli. Sedekah. Bukan mengurangi takaran, malah menambah takarannya. Dampaknya apa? Para pembeli merasa dihargai dan diperlakukan baik oleh pedagang. Para pembeli tersebut akan menaruh kepercayaan lebih berkat perlakuan jujur para pedagang muslim. The Power of Honesty. Kekuatan sebuah kejujuran. Kadang logikanya memang seperti bertentangan dengan hukum alam. Bagaimana tidak? Kalau kita menjual barang dan menambah takarannya sehingga pembeli mendapatkan lebih banyak, apakah itu tidak berarti bahwa barang yang kita miliki lebih cepat habis? Sebaliknya jika kita mengurangi takaran barang yang kita jual maka bukankah itu berarti barang kita akan lebih lama habisnya? Dengan hitung-hitungan bahwa barang yang dijual memiliki jumlah yang sama, katakanlah 100 Kg beras dengan harga per kilogram Rp 15.000,-, jika kita menjualnya dengan cara orang culas dimana kita mengurangi takaran sebanyak 1 Ons (0,1 Kg) saja setiap kilogram beras yang kita jual maka pada saat 100 Kg beras tersebut berhasil dijual seluruhnya, maka pendapatan yang kita dapatkan adalah sebesar Rp 1.500.000,- (Pendapatan asli dari terjualnya 100 Kg beras) ditambah Rp 150.000,- (Hasil akumulasi dari pengurangan 0,1 Kg untuk setiap penjualan 1 Kg beras). Dari sini saja kita sudah bisa melihat “potensi” keuntungan sebanyak Rp 150.000,-. Bayangkan jika jumlah beras yang dijual berton-ton jumlahnya. Berapa banyak keuntungan yang diperoleh jika berhasil menjual semuanya? Coba kita bandingkan dengan cara pedagang muslim yang menjual dengan takaran semestinya. Paling banyak pedagang tersebut hanya akan meraup uang sebanyak Rp 1.500.000,- saja atau bahkan lebih sedikit lagi jika pedagang tersebut memberikan tambahan kepada para pembeli untuk barang yang dijualnya. Itu logika kita! Namun benarkah yang terjadi akan seterusnya demikian? Ternyata tidak.
Coba kita lihat lagi bagaimana cara Yahudi dan cara Muslim tadi menjual barang dagangannya. Yahudi mengurangi takaran timbangan untuk barang yang dijualnya sehingga jika berhasil menjual semua barangnya maka ia mendapatkan keuntungan lebih. Akan tetapi bagaimana jika ia tidak berhasil menjual semuanya? Bagaimanapun juga, pembeli yang merasa dirinya dirugikan akan kapok dan menyesal pernah membeli ke tempat yang merugikannya. Pembeli terse
***
Kita semua pasti sudah tidak asing lagi dengan lembaga anti rasuah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Lembaga yang bertugas untuk menangani kasus-kasus korupsi ini memiliki slogan yang sangat bagus. BERANI JUJUR HEBAT! Mungkin slogan inilah yang harusnya disematkan kedalam hati setiap orang. Seorang hakim yang jujur adalah orang yang hebat. Seorang wakil rakyat yang jujur adalah orang yang hebat. Seorang pengusaha yang jujur adalah orang hebat. Seorang karyawan yang jujur juga merupakan pribadi yang hebat. Kejujuran menjadikan seorang pegawai rendahan memiliki derajat yang lebih tinggi daripada para pejabat tinggi yang bangga atas kebohongannya.
Oleh : Agil Septiyan Habib
Sumber gambar : http://kppnmakassar2.net
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H