Banyak teori yang dipaparkan terkait dengan begitu tingginya minat masyarakat untuk menjalani profesi karyawan serta masih rendahnya antusiasme masyarakat untuk menekuni dunia kewirausahaan. Tidak sedikit yang beranggapan bahwa profesi karyawan memiliki risiko yang lebih kecil terutama jika dibandingkan ketika menjadi seorang pengusaha atau wirausahawan. Selain itu, persepsi yang terbangun dalam benak sebagian besar masyarakat kita adalah untuk membuka dan memulai bisnis sendiri diperlukan modal yang tidak sedikit. Meskipun kini sudah begitu banyak kampanye tentang pentingnya menjadi pengusaha, bertebarannya buku-buku motivasi bisnis, ataupun banyaknya seminar-seminar kewirausahaan yang diadakan, ternyata hal itu masih belum cukup mampu untuk menggoyahkan “keyakinan” sebagian besar masyarakat kita bahwa menjadi pengusaha itu lebih baik daripada menjadi karyawan. Barangkali memang diperlukan waktu panjang untuk merubah mindset yang sudah terbangun sejak lama dalam benak setiap orang.
Profesi sebagai karyawan adalah sandaran hidup utama bagi sebagian besar masyarakat kita. Apabila terjadi gejolak yang melanda profesi ini seperti terjadinya krisis ekonomi global yang berakibat pada lesunya kinerja perusahaan-perusahaan, sehingga berujung pada Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) besar-besaran terhadap para karyawannya, maka dapat dipastikan akan menimbulkan permasalahan sosial yang cukup besar. Kerusuhan tahun 1998 adalah salah satu bukti nyata akan hal ini. Bahkan pada tahun 2015 yang lalu dimana ketika nilai rupiah melemah secara drastis, begitu banyak perusahaan-perusahaan yang “merumahkan” para karyawannya.
Beberapa waktu lalu saya mendapati sebuah perusahaan yang melakukan PHK terhadap sebagian besar karyawannya akibat kondisi perusahaan yang lesu. Jumlah pendapatan perusahaan menurun secara signifikan. Demi mengurangi beban biaya operasional, salah satu cara yang ditempuh oleh pihak perusahaan adalah dengan mengurangi jumlah karyawannya. Ratusan pekerja harus menerima kenyataan bahwa mereka kehilangan pekerjaan yang selama ini menjadi sandaran hidupnya. Banyak karyawan yang menangis sedih menerima kenyataan ini, hal ini karena profesi mereka sebagai karyawan merupakan satu-satunya mata pencaharian untuk memenuhi segala kebutuhan hidup mereka. Mereka tidak tahu harus bekerja apa lagi setelah mendapati bahwa perusahaan tempat mereka bekerja memberhentikan mereka.
Saya kira kekhawatiran serupa menghinggapi sebagian besar orang yang berprofesi sebagai karyawan atau pegawai. Baik itu karyawan yang bekerja pada suatu kelompok tertentu seperti perusahaan, instansi, dan sejenisnya ataupun yang bekerja pada individu atau perorangan. Ketika sebuah perusahaan, instansi, lembaga, ataupun perorangan memutuskan untuk melakukan PHK terhadap karyawannya, pada umumnya hal itu tidaklah dilakukan secara random (acak). Akan ada beberapa pertimbangan tertentu yang dijadikan sebagai dasar untuk memilih tentang siapa-siapa saja yang “lebih layak” untuk dipertahankan, dan siapa-siapa saja yang diputus hubungan kerjanya. Setiap perusahaan yang mengalami penurunan kinerja mungkin akan membuat kebijakan PHK kepada para karyawannya, akan tetapi selama perusahaan tersebut masih beroperasi tentu saja ada sebagian karyawan yang dipertahankan. Terkecuali bagi perusahaan—perusahaan yang sudah kolaps alias bangkrut dan tidak bisa lagi mampu meneruskan operasinya, maka mau tidak mau semua karyawan yang dimilikinya akan dirumahkkan. Begitupun yang terjadi pada instansi, lembaga, serta perorangan yang hendak mempertahankan atau mengakhiri hubungan kerja dengan para karyawan atau pegawainya.
Ketika seseorang berada dalam posisi sebagai karyawan sebuah perusahaan yang tengah mengalami pergolakan bisnis, dimana pihak perusahaan harus membuat keputusan berat untuk melakukan PHK terhadap sebagian karyawannya, tetaplah menjadi harapan besar dari hampir semua karyawan yang ada di perusahaan tersebut untuk bisa terus dipertahankan. Sederhananya, tidak ada karyawan yang ingin di PHK dari tempat mereka bekerja.
Pada konteks yang lain, ketika sebuah perusahaan hendak memilih orang-orang terbaik untuk mengisi jabatan strategis di perusahaan, maka pertimbangan utamanya adalah terkait kinerja atau prestasi dari orang-orang yang hendak dipilih guna mengisi jabatan tersebut. Sangat jarang kiranya atau kecil sekali kemungkinannya bagi suatu perusahaan profesional untuk memilih individu yang jauh dari kata cakap untuk mengemban tugas penting di perusahaan. Demikian juga yang terjadi di setiap instansi, lembaga, atau tempa-tempat lainnya. Selalu mereka yang dianggap terbaiklah yang dipilih dan diberikan kepercayaan. Pada bagian produksi suatu perusahaan, seseorang yang paling banyak tahu tentang produksi dan segala hal yang terkait merupakan kandidat terkuat untuk menepati posisi Kepala Bagian. Seorang office boy yang memiliki kinerja terbaik dengan karakter personal yang paling baik pulalah yang umumnya dipercaya untuk menjadi koordinator. Seorang staff yang hendak dipromosikan menduduki asisten manajer tentu saja seseorang yang dianggap memiliki kemampuan lebih daripada yang lainnya. Selalu yang paling cakap dan terbaiklah yang diberikan kepercayaan.
Di sebuah perusahaan PT XY ada seorang karyawan yang begitu dihormati oleh para karyawan lainnya. Namanya Pak Juan. Beliau menduduki jabatan strategis sebagai Kepala Divisi (Kadiv) produksi yang mengepalai beberapa Departemen yang bertanggung jawab dalam operasional produksi perusahaan. Usianya sudah tidak bisa dibilang muda lagi, dan memang seharusnya beliau sudah memasuki masa pensiun. Akan tetapi pihak manajemen PT XY masih ingin terus mempertahankannya. Beliau dianggap memiliki kompetensi tinggi, dan menurut pihak manajemen masih belum ada orang lain yang dianggap sepadan untuk menggantikan posisinya tersebut. Pak Juan dianggap sebagai pribadi yang istimewa karena sudah bekerja di perusahaan tersebut selama puluhan tahun. Sebagian besar usia hidupnya dihabiskan untuk bekerja di perusahaan tersebut. Beliau merintis karir pekerjaannya sebagai operator mesin, lalu meningkat menjadi supervisor, meningkat lagi menjadi Kepala Bagian, hingga akhirnya mendapatkan mandat mengepalai divisi produksi. Beliau sangat dipercayai oleh atasannya (pemilik perusahaan) karena kecakapannya dalam bekerja. Sempat juga beliau dikirim ke luar negeri oleh sang pemilik perusahaan untuk menepuh pendidikan. Suatu hal yang tidak bisa diperoleh sembarang orang. Hanya pribadi-pribadi istimewa saja yang bisa mendapatkannya.
Pak Juan adalah orang yang cerdas dan memiliki kreativitas tinggi dalam bekerja. Permasalahan-permasalahan terkait produksi seringkali beliau selesaikan dengan cemerlang. Beberapa mesin produksi bahkan bisa beroperasi dengan jauh lebih baik berkat upaya beliau. Sebagai pribadi cerdas dan memiliki komitmen tinggi dalam pekerjaannya, tidak mengherankan apabila pihak manajemen begitu ngotot untuk terus mempertahankannya.
Sebuah kisah dari Bapak Houtman mungkin juga bisa menjadi teladan yang luar biasa bagi kita. Pak Houtman adalah seorang lulusan SMA yang bekerja di salah satu bank terkemuka di Indonesia sebagai seorang office boy. Namun secara luar biasa beliau bisa menduduki jabatan tertinggi kedua di bank tersebut, yaitu sebagai vice president. Bagaimana mungkin? Luar biasanya diri beliau tidak bisa dilepaskan dari keinginannya yang kuat untuk terus belajar, kekuatan sedekahnya, dan kemampuan beliau untuk berteman baik dengan orang-orang di sekitarnya. Beliau adalah seorang yang sangat dermawan. Pernah beliau menyedekahkan seluruh gajinya untuk seorang ibu tersesat yang beliau jumpai. Saat ini beliau adalah salah seorang founder lembaga amal Dompet Dhuafa.
Pada saat beliau masih menjalani pekerjaan sebagai seorang office boy, keinginan belajarnya yang kuat membawa beliau hingga ke luar negeri untuk diberikan pelatihan oleh pihak bank tempatnya bekerja. Kisahnya bermula ketika beliau sering memperhatikan pelatihan-pelatihan yang diadakan oleh perusahaan kepada para karyawannya. Suatu kali beliau yang bertugas sebagai seorang office boy tengah berada di sekitar ruangan pelatihan. Ketertarikan dan keinginan kuat beliau untuk belajar membuatnya mencatat segala materi yang dipaparkan oleh trainer. Beliau mencatat apa saja materi yang terdapat di papan pelatihan dengan melihatnya dari luar. Sehingga setiap kali trainer-nya ke luar ruangan selalu menjumpai beliau yang sedang asyik memperhatikan materi pelatihan di dalam. Mungkin karena jengkel terhadap Pak Houtman yang selalu berada di depan pintu dan memperhatikan materi yang disampaikan, trainer tersebut akhirnya menyuruh beliau masuk ke dalam ruangan untuk duduk dan mendengarkan materi-materi yang disampaikan. Pada saat itu trainer mengatakan kepada para peserta pelatihan bahwa Pak Houtman adalah peserta pasif yang diberi kesempatan untuk mendengarkan materi namun tidak diberikan ujian atau tes terkait materi-materi pelatihan sebagaimana peserta yang lain. Pak Houtman yang mendengarkan apa yang disampaikan oleh trainer menolak pernyataan tersebut dan beliau bersikeras untuk diberikan ujian juga sebagaimana peserta yang lain. Dari sinilah semua bermula. Beliau yang hanya seorang lulusan SMA harus bersaing dengan para lulusan universitas ternama dalam mengerjakan ujian materi pelatihan yang bisa dibilang tidak terlalu familiar baginya. Namun beliau bertekad untuk mendapatkan hasil ujian yang “tidak terlalu buruk”. Target beliau hanya masuk urutan empat dari bawah. Hebatnya, ketika hasil ujian diumumkan ternyata beliau berhasil meraih peringkat keempat dari atas sehingga perusahaan memberi beliau kesempatan untuk mendapatkan training lanjutan ke luar negeri. Ditunjang dengan keakraban dan kemampuannya untuk berteman baik dengan karyawan-karyawan lain yang saat itu memiliki jabatan lebih tinggi dari beliau, semakain banyak juga bekal pengetahuan yang beliau dapatkan. Hal inilah yang kelak menjadi salah satu kunci sukses beliau menduduki posisi vice president.
Perjalanan hidup dari dua pribadi hebat tersebut pada dasarnya memiliki karakter sukses yang tidak jauh berbeda. Pak Juan dan Pak Houtman dapat dikatakan memiliki kecerdasan yang tinggi. Pak Juan yang mampu membuat suatu penyelesaian cemerlang terkait dengan beberapa permasalahan produksi di perusahaan tempatnya bekerja adalah bentuk nyata dari kecerdasan itu. Tanpa intelektualitas tinggi yang dimiliki beliau akan sulit kiranya membuat solusi penyelesaian terhadap masalah-masalah yang timbul. Selain itu, kemampuan beliau untuk mengkomunikasikan ide dan gagasannya kepada rekan kerja juga merupakan suatu hal yang penting. Sebagaimana layaknya sebuah perusahaan yang mengandalkan kerja tim, tanpa kemampuan komunikasi yang baik maka tidak ada gunanya intelektualitas yang dimiliki oleh seseorang. Perihal kemampuan komunikasi ini sepertinya sudah melekat dalam diri beliau. Karena tidak hanya dengan “kalangan atas” saja seperti para Kepala Bagian atau General Manager beliau mampu berkomunikasi dengan baik, akan tetapi dengan “kalangan bawah” juga beliau tidak segan untuk membaur. Beliau bukan tipe orang yang terlalu menjaga jarak dan gengsinya untuk berbaur dengan para operator atau tenaga lapangan lainnya. Mungkin hal ini didasarkan pada masa lalu beliau yang merintis karir dari posisi paling bawah sebagai seorang operator, sehingga tidak ada kecanggungan untuk ikut “merakyat”.