Mohon tunggu...
Aghry Amirul Salman
Aghry Amirul Salman Mohon Tunggu... Lainnya - Hi I'm Here

tulisan merupakan pelarian dari liarnya pikiran

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Pendakian

13 November 2020   10:39 Diperbarui: 13 November 2020   10:46 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"kamu adalah objek nyata, namun terasa fatamorgana."
Begitulah kira-kira penampakan sebuah gunung ketika pendakian.


Hai perkenalkan namaku Aghry Amirul Salman, lahir di sebuah kota yang pada masanya pernah dijuluki sebagai "Paris Van Java", ya betul Bandung. Aku lahir di Bandung pada tanggal 27 Desember 2002, yang tepat pada Desember nanti 18 tahun yang lalu aku dilahirkan, dari sebuah pasangan berdarah Jawa dan Sunda. Ibuku adalah seorang perempuan Sunda yang lemah lembut dan tentunya ibu yang baik untuk kedua anaknya, yang rela meninggalkan pekerjaannya ketika kakakku lahir, dan lebih memilih menjadi ibu rumah tangga sampai sekarang. Sedangkan Ayahku merupakan laki-laki berdarah Jawa yang tak banyak bicara dan begitu sayang kepada seluruh anggota keluarganya, beliau adalah orang yang pekerja keras dan tak akan berhenti ketika keinginan dirinya atau orang di sekitarnya belum tercapai. 

Seperti kota kelahiran ku sekarang aku tinggal di Bandung, Bandung Barat tepatnya. Dan aku sekarang sedang menempuh pendidikan di tingkat Sekolah Menengah Atas atau SMA. Tak terasa sudah 12 tahun aku mengenyam pendidikan dan satu tahun terakhir ini merupakan penentuan dan juga pilihan yang sulit bagi kebanyak siswa kelas 12 termasuk aku, yang akan memilih lanjut untuk kuliah, bekerja, atau gap year. Tapi itu semua bisa kita lalui dengan mudah ketika kita sudah punya tujuan dan rencana untuk kedepannya, ahh.. hidup memang penuh dengan pilihan. Tapi kali ini aku tidak akan bercerita soal itu, karena menurutku bercerita tentang soal yang belum terjawab hanyalah halusinasi yang tak memiliki isi, iya iya itu cuman sudut pandangku jangan baper santai aja, toh setiap orang kan bebas berpendapat. Nah maka dari kali ini aku akan menceritakan sebuah pengalaman yang telah terjadi beberapa tahun kebelakang. Jadi cerita ini bukanlah asumsi, tapi fakta yang telah terjadi. baiklah mari kita masuk ke ceritanya...

*Oh iya sebenarnya aku ragu untuk menuliskan cerita ini karena aku sadar di usiaku yang masih remaja belum terlalu banyak hal yang aku lalui dan aku rasakan, tapi setidaknya cerita ini membuatku sadar dan melek bahwasannya kedewasaan bukanlah di uji ketika kita jatuh tapi juga cara kita untuk kembali bangkit ketika tertimpa diantara reruntuh.

Semua berawal dari ajakan salah satu kawan di grup chat. terjadi 2 tahun yang lalu, bulan April tepatnya.

"muncak kapan nih?." Tanya Ejra salah satu anak pecicilan yang paling dekat denganku.

Selang beberapa detik hampir seluruh penghuni grup membalas ajakan Ejra dengan penuh keantusiasan. Setelah kami mengobrol-ngobrol via chat grup, terjadwal lah sebuah pendakian gunung di daerah Purwakarta pada malam Sabtu, minggu depan. sengaja untuk waktu kita menjadwalkan satu minggu, agar persiapan dan kebutuhan yang kita perlukan bisa matang. Sebenarnya rencana pendakian gunung ini sudah menjadi topik paling sering dibahas sejak sebulan kebelakang, tapi selalu menjadi wacana ketika sudah didiskusikan. Tapi firasat ku untuk rencana kali ini bakal benar-benar terealisasi.

Dan benar saja tepat hari Jumat pada saat itu, aku dan keempat temanku di tambah satu teman Roy, total kami mendaki 6 orang. (Derin, Ejra, Tiko, Roy, Aku, dan teman Roy) Pergi dari Padalarang menuju Cisarua, Lembang. ya memang gunung yang akan kita daki, puncaknya berada di wilayah Purwakarta, sedangkan untuk kaki gunungnya kita bisa mendaki via Legok Haji yang berada di daerah Cisarua, Lembang. Rencana pergi pagi hanyalah wacana, kami berangkat menggunakan 3 sepeda motor pada pukul 10 siang lebih.

Cuaca pada saat itu tidak begitu cerah, dan benar saja di tengah perjalanan, hujan turun dengan lebat, terpaksa mau tidak mau kita menepi sejenak. Karena ini kali pertamanya kami mendaki sebuah gunung dengan ketinggian 2000an mdpl, persiapan logistik dan barang-barang disiapkan seminggu sebelum pemberangkatan, semua itu ditujukan agar persiapan lebih matang, tapi ternyata berbanding terbalik dengan harapan, semua jauh dari kata matang. Logistik dan juga peralatan sangat sangat mengkhawatirkan.

"haduh ada-ada saja, dasar pemula." Keluhku dalam hati.

Ada beberapa kawan yang tidak membawa jas hujan, padahal sudah kami ingatkan untuk membawanya, karena jas hujan merupakan barang wajib yang harus di bawa mengingat kondisi sedang musim penghujan kala itu.
Setelah menunggu sekitar 15 menitan kami melanjutkan perjalanan. Dan pada pukul setengah 12 pas, kami sampai di sebuah perkampungan sebelum memasuki area basecamp, dan kami memutuskan untuk mencari masjid terdekat untuk melaksanakan shalat Jumat, dan kebetulan juga saat itu semua adalah laki-laki jadi mau tidak mau kami harus membawa semua barang-barang dan juga tas ke area masjid.

Pukul setengah 1 siang kami mulai melanjutkan kembali perjalanan menuju basecamp, dan jam 1 siang kami sampai di basecamp gunung Burangrang, ya betul gunung yang akan kami daki saat itu adalah gunung Burangrang, gunung yang tidak terlalu rendah juga tidak terlalu tinggi, cukuplah untuk pendaki pemula seperti kami. Burangrang memiliki beberapa jalur pendakian, tapi setahuku jalur Legok Haji yang kami datangi merupakan satu-satunya jalur yang di kelola secara resmi. 

Setelah sampai kami langsung melakukan segala persiapan dan juga mengecek kembali barang-barang sembari mengisi SIMAKSI yang harus di penuhi, dan juga beristirahat sejenak mengingat perjalanan yang cukup lumayan jauh, dengan kontur jalan yang dipenuhi tanah merah membuat kami kesusahan saat masuk ke area basecamp.

Tepat pukul setengah 2 siang, kami mulai mendaki dari kaki gunung via Legok Haji, di perjalanan sudah terlihat betapa besar dan indahnya gunung Burangrang ini, hanya saja pada saat itu sedang musim penghujan jadi jika di lihat dari bawah, puncak selalu tertutupi oleh kabut yang cukup tebal, tapi itu semua tak menutupi keindahan dari gunung Burangrang.

Trek pendakian di awali dengan beberapa perkebunan warga yang cukup luas, tapi entah kenapa baru saja jalan sekitar 15 menit awal, kaki ini sudah sangat pegal.

"dasar lemah, kaki payah, tak bisa di andalkan ayo semangat." Begitulah kira-kira percikan cacian untuk diri sendiri agar tetap semangat.

 

Dan benar saja di 30 menit awal kami berhenti sejenak untuk menurunkan tensi lutut yang sudah mulai kepanasan, tapi memang begitu biasanya di 30 menit awal kaki benar-benar pegal tapi setelah itu mulai lah kita bisa menikmati, memang perlu pemanasan. Kami beristirahat sekitar 5 menit, suasana hutan belum tentu terasa, masih seperti kebun-kebun biasa belum terdapat pohon-pohon besar. 

Setelah itu kami mulai melanjutkan pendakian, di 15 menit awal mulai lah masalah datang, ternyata gunung Burangrang memiliki trek yang terus menanjak, kami hanya menemukan sedikit trek landai, di tambah jalanan yang licin akibat hujan yang tak berhenti-henti di bulan itu. beberapa kali kami terpeleset jatuh, tapi untungnya masih bisa kembali berdiri. 

"aduh bro, kesalahan ini mah harusnya kesini mah jangan musim hujan." Keluh Derin berbicara paling belakang.

"Semangat perjalanan masih panjang, kalo ada yang cape bilang, satu berhenti semua berhenti." Begitu kataku kepada Derin menyemangati dan memberikan penegasan untuk semua.

Karena salah satu prinsip pendakian berkelompok adalah ketika satu orang lelah maka yang lain harus berhenti. Setidaknya itu yang bisa kita lakukan agar tetap bisa bersama-sama, apalagi ketika kita tidak tau jalur pendakian, bisa menjadi hal fatal jika sampai tertinggal dengan rombongan. 

Setelah kembali mendaki mulai lah kita memasuki hutan yang di penuhi dengan pepohonan besar, akar dari pohon tersebut menjalar hingga jalur pendakian. Akar-akar yang cukup besar bisa menjadi hal baik dan buruk bagi pendaki, baiknya adalah kita bisa memanfaatkannya untuk pegangan atau pijakan, tapi buruknya jika tidak sengaja terinjak apalagi di tengah kondisi hujan akar akan sangat licin ketika kita injak, jadi harus tetap hati-hati. 

Perlahan kami mulai berjalan menaiki jalur yang di penuhi dengan akar, kini jalanan lebih berbahaya dan terjal, di tambah jalur Burangrang yang terus menanjak menaiki akar-akar, membuat semakin panas nya kaki dan juga betis, kontur tanah yang licin membuat pendakian kali ini sungguh butuh perjuangan lebih. Jatuh dan terpeleset sudah tak bisa di hitung lagi dengan jari, celana sudah di kotori dengan tanah, baju sudah di banjiri dengan keringat, rasa sesal selalu bermunculan, tapi tetap harus di nikmati, berbicara dan menyemangati kepada diri sendiri sudah menjadi keharusan di kala itu. 

Dua jam kami berjalan, aku menengok ke arah belakang mengecek apakah ada yang tertinggal. Dan benar saja ternyata Tiko berada jauh di belakang, langkahnya yang mulai melambat tidak seperti tadi saat pertama mendaki, dan ternyata tas carrier yang di gunakan Tiko putus sebelah, jadi mau tidak mau dia menahan dengan satu bahu.

Karena tak tega akhirnya ku bantu dia untuk bertukar tas denganku, agar bebannya sedikit lebih ringan, karena tas ku lebih kecil darinya. Melihat kondisi Tiko yang sudah cukup kelelahan juga. Setelah kami benarkan sedikit tas Tiko, dengan mengaitkan dan mentali-talikan tasnya agar bisa di pakai setidaknya sampai atas, ternyata kawan-kawan yang lain sudah jalan di depan dan tak terlihat sedikit pun.

"pada dimana kok cepet sih?." Tanyaku kepada Tiko.

"gatau mungkin mereka ga lihat kita tadi berhenti, gakpapalah nanti juga mereka nungguin kita kalo udah ngeh." Jawab Tiko meyakinkanku.

Aku dan Tiko mulai menyusul rombongan.

"pantas saja dia begitu kelelahan, ternyata memang berat sekali tas Tiko." Ucapku dalam hati.

Setelah kami berjalan 5 menitan terdengar suara sautan dari kawanku Roy.
"Aghry...Tiko... ." Teriak Roy memanggil kami.

Setelah kembali bergabung semuanya aku sedikit menceritakan apa yang telah terjadi, namun entah kenapa respon dari mereka seperti tidak peduli dan sedikit kesal, ah aku tidak paham dengan mereka... memang benar kata orang-orang jika kau ingin tau tentang sifat asli seseorang, bawa aja pergi naik gunung.

Kami memutuskan untuk kembali beristirahat. Air mineral sangatlah penting saat pendakian, tapi ingat jangan juga terlalu banyak minum karena itu hanya akan membuat kita terus-terusan haus, itulah yang ku rasakan selama pendakian.

Dengan kaki yang sudah mulai lelah kami kembali melangkah, di hadapkan dengan tanjakan-tanjakan licin di iringi gerimis hujan yang berasal dari kabut tebal di atas puncak. Itu tandanya puncak sudah hampir dekat. Tapi entah mengapa rasa-rasanya itu hanyalah fatamorgana belaka, suasana puncak memang sudah terasa tapi lama sekali dan tidak sampai-sampai ketika berjalan.

Tiga jam sudah berlalu, karena hujan semakin lebat kami memutuskan untuk rehat sejenak, di tengah obrolan pelepas penat Tiko tiba-tiba panik.

"kenapa kamu ko, santai dulu lah ada apa? cerita-cerita!." Kata ejra sembari memainkan botol minum.

"konci motor urang ey dimana?!." (kunci motor aku dimana) Kata tiko panik meraba raba saku jaketnya.

"jangan aneh-aneh cari lagi yang bener." Kata roy sembari membantu Tiko mencari di tas kecil yang sedang di pakai Tiko.

Entah apa yang menimpa Tiko saat itu, mulai dari tas carriernya yang putus, dan sekarang kunci motornya hilang entah kemana. Setelah mencari-carinya cukup lama, kami tidak menemukan apapun, dan ketika kami tanya Tiko pun yang ia ingat terakhir saat memasukannya ke saku jaketnya.

Pada akhirnya yang bisa kami lakukan saat itu adalah menenangkan Tiko dan mulai kembali melanjutkan.

"kalo itu emang rejeki pasti ntar juga balik ko, siapa tau ada di tas, ntar kalo udah di puncak kita cari lagi." Kata temanku Derin menenangkan Tiko.

Akhirnya kami melanjutkan kembali perjalanan, dan setelah melewati banyak sekali tanjakan dan juga drama-drama kecil dijalan, tepat pukul 5 sore kami sampai di puncak. Memang pemandangannya tak begitu bagus karena tertutup kabut dan hujan, tapi setidaknya kami bisa tenang karena bisa sampai dipuncak. 

Tanpa beristirahat kami langsung mendirikan tenda, karena melihat kondisi hujan dan kami takutnya salah satu diantara kita terkena Hipotermia (sebuah penyakit yang bisa menyerang kepada seseorang ketika kedinginan yang berlebihan). Ya setidaknya jika sudah ada tenda kita bisa menghangatkan diri sembari memasak dengan kompor. Ditambah lagi kami takut hujan akan semakin deras.

Dan benar saja setelah kami mendirikan tenda dan memasukan barang-barang, hujan kini turun lebih deras.

"ah paling nanti malam reda hujannya." Pikirku dalam hati.

Tapi semakin malam hujan malah semakin besar ditambah angin kencang yang membuat tenda bergoyang-goyang, kondisi semakin mengkhawatirkan, karena ditakutkannya frame penyangga rangka tenda patah karena angin kencang yang tanpa hentinya. Di kondisi seperti itu kami hanya bisa berdoa sembari mengobrol dan bercanda, agar mencairkan suasana.

Pada pukul 10 malam kami semua memutuskan untuk beristirahat, kami menggunakan 2 tenda yang masing-masing di isi oleh 3 orang, jadi untuk space posisi tidur kami masih bisa berbagi tempat dengan sedikit leluasa, ya walau tidak senyaman kasur di rumah, tapi itu pun sudah lebih dari cukup.

Aku mencoba untuk tertidur, meyakinkan diriku untuk bisa tidur malam itu dan bangun esok paginya dengan cuaca yang lebih mendukung dan pemandangan yang indah, tapi sayangnya suara hujan dan di tambah gemuruhnya petir menganggu dan malah menambah kehwatiranku, dan benar saja hingga pukul 2 pagi aku belum tertidur, rasanya ingin kembali ke rumah dan menyesal atas keputusanku untuk ikut mendaki gunung ini, ah tapi percuma menyesal kepada sesuatu yang telah terjadi, itu tidak akan merubah apapun yang harus aku lakukan hanyalah menikmati dan mensyukuri atas pembelajaran yang bisa di dapati.

Jam 6 pagi aku terbangun, entah kenapa senang rasanya ketika sudah tidak mendengar lagi suara tetasan air hujan yang jatuh di atas tenda, aku keluar melihat situasi dan benar saja hujan sudah reda, tapi kabut masih ada.

Tapi terlepas dari itu semua sungguh pagi itu aku benar-benar puas atas segala nikmat yang sedang kurasakan, melihat keindahan ciptaan yang maha kuasa, semua penyesalan seakan-akan terbuang begitu saja.

Baru lah kami bergerak lagi untuk kembali pulang sekitar pukul 9 pagi, sehabis makan dan juga menangkap beberapa potret foto, kami langsung turun menuju basecamp, tidak lupa membawa seluruh sampah yang kami bawa.

Tepat pukul 12 siang kami sampai di basecamp dengan pakaian yang sudah sangat kotor karena jatuh beberapa kali dan memilih untuk berperosotan saat jalan pulang, mengingat jalur pendakian saat turun yang begitu licin. 

Oh iya dan kunci motor yang di cari teko ternyata tergantung di motornya sedari kemarin, untung saja petugas basecamp bisa mengamankannya.

"untung tertinggal di tempat seperti ini, yang notabene kebanyakan para pegiat dan pecinta alam yang memiliki sifat baik tentunya, andaikan tertinggal di tempat umum pasti sudah hilang." Celetuk ku kepada Teko.

Hingga akhirnya setelah kami membersihkan diri dan beristirahat, kami pulang sekitar pukul 1 siang, dan semua selamat sampai rumahnya masing-masing.

Iya jadi itulah sedikit cerita yang pernah aku alami tepatnya ketika aku masih duduk di bangku SMP kelas 3. Aku tersadar bahwasannya ternyata mendaki gunung adalah salah satu kegiatan di alam terbuka yang memiliki banyak sekali benefit terkhusus saat pendakian yang telah ku ceritakan tadi. kita bisa membuka siapa diri kita yang sebenarnya, karena di saat kondisi seperti itu segala macam keputusan, akan memiliki jalan ceritanya masing-masing dan juga pembelajaran yang berbeda-beda.

Dan juga gunung yang terlihat indah dari bawah seperti mudah untuk kita daki, ternyata itu hanyalah asumsi dan juga halusinasi belaka. Karena kita tidak bisa langsung menilai sesuatu hal sebelum kita merasakan, dan banyak orang-orang di luar sana termasuk aku sebelumnya, selalu memudahkan dan menganggap remeh sesuatu hal padahal kita belum pernah merasakan apalagi melakukan pergerakan.

Kita terlalu banyak menghakimi dan sedikit mengetahui,

Kita terlalu banyak berasumsi dan sedikit berintrospeksi,

Kita terlalu banyak mengomentari dan sedikit merasai,

Kita terlalu banyak memberikan janji dan sedikit memberikan bukti,

Hingga kita sadari bahwa hidup bukan soal banyak atau sedikit, tapi soal menyeimbangi. 

tak berlebihan tak kekurangan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun