Bila kita mendengar kata Madilog, banyak dari kita yang tentu akan ingat nama penulisya, Tan Malaka. Tan Malaka bukan nama asli melainkan gelar bangsawan yang didapatkan dari ibunya. Dia memiliki nama asli Sutan Ibrahim.
Pendidikan
      Sebagai kalangan bangsawan, mudah baginya untuk mengenyam pendidikan yang kala itu masih sulit didapatkan. Ia bersekolah di Kweekschool atau dalam Bahasa Indonesia memiliki arti sekolah guru negara yang berlokasi di Bukittinggi Sumatera Barat.
      Tan Malaka dikenal sebagai pribadi yang cerdas. Gurunya, GH Horensma yang menyadari hal itu kemudian membantunya untuk berkuliah di Rijkskweekschool (Sekolah Pendidikan Guru Pemerintah) yang berada di Belanda.
      Di Belanda ia mengkhatamkan buku-buku karya Karl Marx, Friedrich Engels, dan Vladimir Lemin yang di mana buku-buku itu menjadi pedomannya dalam berpikir.
Karier
      Sesuai dengan pendidikan yang dia ambil, Putra dari HM Rasad dan Rangkayo Sinah itu kemudian mengajar Bahasa Melayu bagi anak-anak buruh perkebunan teh dan tembakau di Sanembah, Sumatera Utara.
      Di sanalah ia melihat penderitaan rakyat yang ditipu dengan cara diperas keringatnya tetapi diberikan upah yang rendah. Hal itu terjadi karena kaum buruh tidak pandai berhitung, sehingga menerima begitu saja upah yang diberikan.
      Atas dasar hal itu, tokoh yang lahir 2 Juni 1987 itu terjun ke organisasi Indische Social Democratische Vereeniging (ISDV).
      Tan Malaka juga memulai kepenulisannya di media massa yang  berisi tentang penderitaan kaum pribumi, seperti misalnya penderitaan kuli kebun teh yang pernah dia temui.
      Tahun 1920-an, ia merantau ke Semarang. Di sana ia melanjutkan profesinya sebagai guru dengan mendirikan Sekolah Rakyat yang jika di masa sekarang setara dengan SD.
Pelarian dan Penyamaran
      Masa hidupnya dihabiskan untuk melakukan pelarian dan penyamaran dari pemerintah kolonial. Hal itu karena ia diburu sebab tanpa ragu menunjukan kebenciannya atas ketidakadilan yang menimpa rakyat Indonesia.
      Semasa pelariannya, ia pernah menyamar menjadi pedagang buah dan juru tulis. Namun, ketika ia menyadari bahwa kemerdekaan yang didapatkan Indonesia belum sepenuhnya, ia rela membongkar penyamaran dan memutuskan untuk menemui temannya, Ahmad Soebardjo.
Perjuangan
      Kepeduliannya pada bangsa terus berlanjut. Ia geram dengan Kabinet Sjahrir yang memilih jalan diplomasi ketika Belanda datang kembali untuk berkuasa lagi. Menurutnya, pemerintah perlu tegas dan terus mempertahankan kemerdekaan.
      4 Januari 1946, pendukung Tan Malaka membentuk Kelompok Persatuan Perjuangan yang terbentuk karena kekecewaan terhadap Kabinet Sjahrir. Kemudian lahirlah sebuah usaha untuk melakukan kudeta yang kemudian gagal dan membuat Tan Malaka, Soebardjo, dan Soekarni dipenjara selama dua tahun.
      Setelah bebas, pada  7 November 1948, Tan Malaka membentuk partai Musyawarah Rakyat Banyak (Murba). Partai itu diketuai oleh Sukarni.
      Tan Malaka mulai melakukan gerilya. Bahkan, ia menemui anggota TNI dan pemimpin politik. Pemerintah Indonesia menilai bahwa aktivitas Tan Malaka mulai meresahkan, sehingga ia hidup lagi dalam pelarian.
      Ia tertangkap di sekitar Gunung Wilis, Selopanggung, Kediri. Naas, hidupnya harus berakhir pada 21 Februari 1949 di tangan eksekutor.
Penghargaan
      Pada 28 Maret 1963, Soekarno menjadikan Tan Malaka sebagai pahlawan nasional, tetapi hal itu tidak sejalan dengan kenyataan. Bahkan, nama "Tan Malaka" dicoret dari daftar pahlawan nasional dan tidak pernah ditulis ataupun dibahas dalam pelajaran sejarah di sekolah.
                                                     Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H