Tahun 1920-an, ia merantau ke Semarang. Di sana ia melanjutkan profesinya sebagai guru dengan mendirikan Sekolah Rakyat yang jika di masa sekarang setara dengan SD.
Pelarian dan Penyamaran
      Masa hidupnya dihabiskan untuk melakukan pelarian dan penyamaran dari pemerintah kolonial. Hal itu karena ia diburu sebab tanpa ragu menunjukan kebenciannya atas ketidakadilan yang menimpa rakyat Indonesia.
      Semasa pelariannya, ia pernah menyamar menjadi pedagang buah dan juru tulis. Namun, ketika ia menyadari bahwa kemerdekaan yang didapatkan Indonesia belum sepenuhnya, ia rela membongkar penyamaran dan memutuskan untuk menemui temannya, Ahmad Soebardjo.
Perjuangan
      Kepeduliannya pada bangsa terus berlanjut. Ia geram dengan Kabinet Sjahrir yang memilih jalan diplomasi ketika Belanda datang kembali untuk berkuasa lagi. Menurutnya, pemerintah perlu tegas dan terus mempertahankan kemerdekaan.
      4 Januari 1946, pendukung Tan Malaka membentuk Kelompok Persatuan Perjuangan yang terbentuk karena kekecewaan terhadap Kabinet Sjahrir. Kemudian lahirlah sebuah usaha untuk melakukan kudeta yang kemudian gagal dan membuat Tan Malaka, Soebardjo, dan Soekarni dipenjara selama dua tahun.
      Setelah bebas, pada  7 November 1948, Tan Malaka membentuk partai Musyawarah Rakyat Banyak (Murba). Partai itu diketuai oleh Sukarni.
      Tan Malaka mulai melakukan gerilya. Bahkan, ia menemui anggota TNI dan pemimpin politik. Pemerintah Indonesia menilai bahwa aktivitas Tan Malaka mulai meresahkan, sehingga ia hidup lagi dalam pelarian.
      Ia tertangkap di sekitar Gunung Wilis, Selopanggung, Kediri. Naas, hidupnya harus berakhir pada 21 Februari 1949 di tangan eksekutor.
Penghargaan