Saat murid belajar dari video rumah, bila belum memahami diharapkan bisa mengulangi (rewind) sampai ia memahami. Akan tetapi jika sebaliknya terjadi, diulang-ulang juga tidak faham, otomatis tidak ada penjelasan lain, tak ada guru yang menjelaskan. Apalagi saat anak bertanya sama orang tua, namun tidak bisa menjelaskan dengan baik, disaat inilah video kehilangan kemapanannya sebagai sumber belajar otentik.
Jadi, berguru melalui video adalah pelajaran satu arah, memberi yang tersaji saja. Walau bisa diputar ulang, namun tidak bisa memberi feedback. Di sinilah kelebihan guru di kelas yang tak tergantikan. Bila di rumah murid tidak mengerti dengan video dan suara yang ditonton/didengarnya, otomatis tak ada penjelasan yang lain, tak ada catatan kaki. Hal inilah membuat anak frustrasi belajar melalui video.
Dari pengalaman menggunakan video secara klasikal dan pemberian tugas video individual secara daring. Saya belajar beberapa hal.
Pertama, anak-anak umur 9-12 tahun, setiap video yang ditonton hanya diselesaikan sampai 58%. Umur 12-40 tahun, hanya menyelesaikan tontonannya 20%. Educationist perlu memecah materi video menjadi segmen pendek.
Kedua, sebagus atau dapat menghibur apa pun video pembelajaran interaktif yang disajikan, kali ini saya harus mengatakan bahwa video tidak lebih baik daripada dokumen teks.
Bila menggunakan buku atau format teks kita bisa segera mengubah arah belajar dengan mudah, bila tugas dirasa kurang greget, terjadi penyimpangan konsep belajar atau ketika semua siswa merasa berat melakukannya.
Educationist bisa memulai instruksi baru lagi dari awal agar murid menjadi mudah belajar. Video tidak memberikan perasaan fleksibilitas (keluwesan) apalagi alat tayang hanya mengandalkan satu layar untuk semua murid.
Dalam hal ini, mengajar dengan menyerahkan penjelasan seutuhnya pada video adalah tindakan kurang tepat, namun mengajar dengan bantuan video saat dibutuhkan untuk menguatkan teks barulah tindakan tepat. Atau mintalah murid belajar dari video untuk melengkapi (pembuktian) pengalaman belajarnya yang tidak didapat dari teks bacaan. Atau bila sulit dijelaskan jika hanya menggunakan teks.
Ketiga, sulit menentukan sejauh mana anak-anak mengerti pada setiap tayangan tertentu karena video bergulir begitu cepat dan memerlukan imajinasi yang kuat untuk memahaminya.
Tidak semua murid mampu menghubung-hubungkan awal kejadian hingga akhir video. Beberapa murid tampak tertarik dan menikmati penjelasan materi di video. Lainnya tidak termotivasi dan cenderung kehilangan fokus dan berkelana ke lain hal yang tak berhubungan.
Keempat, Video boleh kita katakan bahan referensi yang tidak praktis kalau hanya disimpan dalam piringan (CD/DVD) karena rentan tergores dan rusak. Tetapi bisa jadi praktis bila dapat juga disimpan dalam berbagai format yang bisa diputar di PC atau gadget untuk menyegarkan sesuatu yang telah murid lupakan.  Misalnya dibuat dalam format video yang umum seperti mp4.