Peneliti Wendy ostroff (penulis penerapan kurikulum) berpendapat sama seperti Robinson. Ostroff begitu percaya bahwa banyak sekolah ditetapkan sedemikian rupa sehingga anak-anak tidak mampu berimajinasi dengan baik dan bebas ketika menjadi anak sekolah. Mereka terikat dengan kekakuan pendidiknya serta aturan sekolah yang mengekang atau tidak memfasilitasi imajinasinya.Â
Sebagai anak sekolahan tentu murid menurut saja pada aturan guru dan sekolah. Anak penurut tentu akan minim kreatifitas, minim berpikir kritis. Hal ini terlihat ketika anak masuk dan belajar sekolah dasar, ketika mereka mulai diajar secara klasikal, di saat itu daya imajinasi dan kreatifitas mulai terkungkung.
Jauh berbeda ketika mereka bersekolah di TK, belajar dan bermain, belajar sambil bermain betul-betul membuat anak TK terasah kreatifitasnya tanpa beban.
Kata Osroft lagi, "Kebanyakan sekolah hanya berorientasi konsep," yaitu tersekatnya antara pengetahuan yang harus dihafal dan kreatifitas yang butuh fleksibilitas (bukan kamu harus begini dan begitu). Akhirnya, guru dalam situasi ini hanya sebagai penghambat semangat belajar murid.Â
Menghambat bebas berimajinasi sesuai minatnya. Makin dipersempit ruang gerak kreatifitas anak oleh guru dengan membuat ketat RPP hanya sesuai selera guru, tanpa mengakomodasi apa sebenarnya yang dibutuhkan muridnya saat duduk di sekolah dasar dan level pendidikan di atasnya.
Apa yang terjadi? Murid merespon dengan mencoba untuk menyenangkan guru bahwa ia setuju dengan caranya. Sebaliknya, murid menjadi kehilangan minat intrinsik yang mereka inginkan ketika proses belajar.
Akhirnya, murid kehilangan keterampilan bagaimana bersosialisasi, mengelola emosional, mengelola kemampuan 'ekolokasi' ketika mereka belajar di sekolah formal. Oleh karena itu, guru sekolah dasar, menengah, dan atas harus menekankan daya gebrak imajinasi ini ketika membuat RPP.
Longgarkan peraturan ketat kelas di RPP, yang memungkinkan murid lebih leluasa menguasai pekerjaan mereka tanpa campur tangan orang dewasa sehingga anak-anak merasa tidak terbebani. Dengan demikian, rasa ingin tahu mereka bisa lebih lepas dan mendalam, apapun hasilnya. Keluwesan interaksi belajar akan menghasilkan ide-ide cemerlang dari anak didik.
Selain RPP yang memfasilitasi daya imajinasi anak, dalam rencana belajar perlu juga menerapkan "Flip sistem", membalik keadaan belajar yang semula kaku dan berpusat pada guru (harus sesuai dengan kerja dan keinginan guru, harus sama persis dan sebagainya) menjadi berpusat kepada murid. Sehingga pembelajaran makin berkesan oleh murid. Semua pekerjaan, mulai dari ide mesti dilakukan oleh mereka dan untuk mereka sendiri. Bukan dari guru untuk guru. Itulah maksud students center.
Bagaimana praktek melatih imajinasi dan kreatifitas?
Dengan mengarang. Saat murid kita suruh mengarang, mereka boleh menetapkan panjang tulisan hingga berapapun. Suruhlah mereka menulis tanpa tekanan dengan harus menggunakan tata bahasa atau kata baku yang ketat. Terlebih dahulu guru memberi kebebasan untuk memutuskan apa yang terbaik buat karangan mereka. Tentang apa saja. Berikan mereka tanggung jawab penuh mengambil keputusan topik dan ide yang menarik menurut seleranya.Â