Non-motorized transportation (NMT) adalah pendekatan baru yang cocok diterapkan untuk mengurai masalah transportasi di Jogja. Sesuai namanya, NMT mengandalkan moda transportasi seperti sepeda dan berjalan kaki dalam sistem utama transportasi kota.Â
Sedangkan jenis transportasi lainnya asalkan tidak bermesin (misal: dokar atau becak), juga bisa masuk hitungan sebagai NMT. Adapun transportasi umum yang menggunakan mesin dimanfaatkan menjadi sistem pendukung.
Lantas kenapa pendekatan ini saya pandang cocok untuk Jogja? Karena pendekatan ini lebih banyak fokus ke kultur daripada infrastruktur.Â
Pendekatan Kultur
Pendekatan ini bisa dibilang baru buat banyak kota di negara berkembang. Walau demikian kultur ini sama sekali bukan hal baru buat Jogja. Jauh sebelum akrab dengan kemacetan, Jogja sudah cukup lama pernah menerapkan kultur NMT ini.
Memang Jogja tidak memakai label NMT yang mentereng dan keminggris. Kultur ini diperkenalkan oleh Herry Zudianto ketika menjabat sebagai wali kota (2001-2011). Waktu itu kultur NMT Jogja dikemas dengan istilah yang sangat njogjani: "Sego Segawe". SEpeda kangGO SEkolah lan nyambut GAWE. (baca: Sepeda untuk bersekolah dan bekerja.)
Dengan semangat untuk menggiatkan Sego Segawe ini, Jogja mulai punya infrastruktur jalur sepeda di sisi kiri-kanan jalan, ruang tunggu sepeda di tiap bangjo, hingga papan petunjuk arah jalan pintas khusus sepeda di seluruh penjuru kota.Â
Secara kultural, PNS balai kota setiap Jumat juga diwajibkan bersepeda/berjalan kaki untuk datang/pulang kantor (dan kendaraan bermotor dilarang parkir di kompleks balai kota pada hari tersebut).Â
Mulai tumbuh pula gerakan Jogja Last Friday Ride (JLFR). Lalu Jl. Mangkubumi saban tengah malam disulap menjadi Mangkubumi Late Nite Bicycle Playground.Â
Semua program-program kultural, penyediaan infrastruktur, dan munculnya dukungan organik dari masyarakat dirangkum dalam label besar Sego Segawe. Kultur NMT Jogja berhasil tumbuh subur melalui gerakan Sego Segawe. Sudah on the track.
Lalu apa sih yang masih harus dikembangkan supaya NMT ala Jogja ini makin bagus lagi? Sekali lagi, NMT menggunakan pendekatan kultural sebagai pendekatan utamanya.Â
Kultur berjalan kaki ataupun bersepeda. Jogja punya bekal cetak biru NMT yang sudah begitu bagus. Kita punya contoh kultur bersepeda yang sip dalam gerakan Sego Segawe. Maka kini saatnya berbicara tentang kultur berjalan kaki kita.
Orang Jogja yang tinggal di area perkotaan malas sekali jika disuruh berjalan kaki. Mulai dari malas menghabiskan waktu, malas capek, hingga malas berkeringat. Pergi ke warung yang jaraknya 100-200 meter saja orang merasa perlu mengeluarkan motor.Â
Kalau orang Jogja yang tinggal di gunung atau di desa, aku yakin tidak semanja orang-orang Jogja perkotaan. Bisa dilihat dari simbah-simbah yang tinggalnya di gunung dengan pekerjaan utama bertani atau berkebun.Â
Mereka meski sudah sepuh pasti masih rutin beraktivitas dengan berjalan kaki atau bersepeda setiap harinya. Entah untuk nyawah, entah ngarit, entah mencari tumpukan rumput untuk pakan ternaknya.
Nah kultur semacam inilah yang harus digiatkan kepada orang Jogja perkotaan agar kita ini tidak terlalu manja. Kita mesti mulai belajar dari diri kita sendiri. Membiasakan untuk berjalan kaki saja untuk mobilitas jarak dekat. Misalnya kita bisa memilih berjalan kaki untuk pergi ke minimarket jika jaraknya kurang dari 1 kilometer.Â
Secara matematis, kecepatan normal orang berjalan kaki itu sekitar 4 kilometer/jam. Sehingga idealnya orang berjalan kaki dengan jarak sejauh 500 meter sampai 1 kilometer hanya akan menghabiskan waktu 7-15 menit saja.Â
Durasi yang jauh lebih singkat daripada durasi jogging atau maraton. Orang normal harusnya tidak mengeluh capek kalau cuma diajak berjalan kaki dalam durasi sesingkat itu.
Pendekatan Infrastruktur
Nah beranjak dari pendekatan kultur, Pemkot juga bisa mulai bergerak menyiapkan pendekatan infrastruktur. Pemkot dapat menyediakan fasilitas pendukung untuk memotivasi orang-orang supaya menjadi makin terbiasa dan senang berjalan kaki.Â
Papan petunjuk jalan (wayfinding) bagi pejalan kaki yang bisa ditemukan di beberapa titik persimpangan jalan strategis merupakan awalan yang bagus. Walaupun terlihat jelas kalau wayfinding itu lebih bermanfaat untuk dipakai foto-foto turis karena hanya tersedia di sekitar daerah wisata saja.Â
Alangkah baiknya jika wayfinding ini diperluas sampai ke daerah pemukiman dan perkantoran agar lebih bermanfaat bagi warga pejalan kaki.
Lantas Pemkot perlu menata ulang desain trotoar di seluruh penjuru kota agar nyaman dan menarik orang agar mau berjalan kaki sejauh 500 meter sampai 1 kilometer.Â
Jangan hanya membangun trotoar dengan kondisi seadanya. Hindari pula membangun trotoar tergesa-gesa hanya karena bertujuan mengejar target penyerapan APBD di kuartal keempat.Â
Di titik-titik yang trotoarnya tidak layak karena terlalu sempit, buatlah proyek pelebaran trotoar. Sebab sudah sangat jelas trotoar yang lebar itu membuat orang merasa nyaman dan betah berjalan kaki daripada trotoar yang sempit.Â
Warga Jogja tentu tidak perlu memiliki trotoar selebar kawasan pedestrian Malioboro. Namun setidaknya lebar setiap ruas trotoar harus memadai bagi dua kursi roda lewat berpapasan dengan mudah dan aman.Â
Pastikan pula di tiap ujung-ujung trotoar ada jalur melandai yang tidak curam sebagai fasilitas pengguna kursi roda untuk bisa turun dari trotoar.
Khusus untuk jalan-jalan yang terlalu sempit dan trotoarnya benar-benar tidak bisa dilebarkan lagi dengan cara apapun, trotoar bisa dilebarkan dengan memanfaatkan jalur sepeda. Sehingga jalur sepeda tidak lagi di atas aspal, tetapi ditempatkan di mix-used trotoar.
Lalu Pemkot perlu mengingat juga kalau trotoar merupakan jalur khusus bagi pejalan kaki, pengguna kursi roda, dan pesepeda (dalam kasus tertentu). Trotoar idealnya tidak dipakai secara tumpang tindih sebagai space jalur hijau (misal: pot tanaman) atau utilitas kota (misal: tiang listrik dan rambu lalu lintas).
Pot-pot tanaman eksterior jalan untuk jalur hijau, tiang-tiang listrik, atau rambu lalu lintas, idealnya berada di space tersendiri di samping trotoar. Apabila tidak cukup ruang untuk menyediakan space khusus jalur utilitas kota dan jalur hijau, Pemkot bisa menanam kabel utilitas di dalam tanah dan menerapkan konsep parklet sebagai jalur hijau. Konsep parklet juga bisa dimanfaatkan untuk meletakkan street furniture berupa bangku-bangku panjang dan keran air minum.
Terakhir jangan lupakan kalau Jogja ini kota di negara tropis dengan suhu yang panas dan lembab. Maka tak ada salahnya Pemkot menyediakan pergola/kanopi trotoar sebagai kelengkapan trotoar. Contoh pergola yang ideal bisa dilihat seperti yang ada di kampus UNY.
Sebenarnya tidak terlalu susah untuk mewujudkan sistem NMT di Jogja. Sebab akarnya memang sudah tertanam kuat di kota ini. Sekarang ini yang dibutuhkan hanyalah kepemimpinan yang kuat dan goodwill dari pemangku kebijakan.Â
Pemkot harus memiliki visi menghidupkan kultur berjalan kaki dan bersepeda serta mau menyediakan fasilitas yang memanjakan pejalan kaki serta pesepeda. Jika itu terjadi, saya yakin warga Jogja akan makin tergugah untuk lebih sering bermobilitas tanpa kendaraan bermotor.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H