Begitu pula dengan tata ruang. Meskipun sudah ada Perdais mengenai tata ruang, Padahal banyak kawasan istimewa yang tata ruangnya diatur secara khusus di Perdais ini. Tidak sebatas mengatur kawasan "istana" Kraton dan Pakualaman saja.
Bahkan kawasan dengan tata ruang istimewa ini penampakannya juga beragam. Mulai kawasan cagar budaya seperti Kotagede dan Kotabaru, hingga bentang alam seperti Perbukitan Menoreh dan Karst Gunung Sewu. Akan tetapi hingga delapan tahun berlalu, kawasan yang tata ruangnya ditata apik hanya di kawasan Malioboro saja.
Untungnya Yogyakarta sejak dulu juga masyhur sebagai kota budaya. Maka UUK DIY juga mengakui keistimewaan DIY di bidang kebudayaan.Â
Keistimewaan ini memberi wewenang bagi DIY untuk melestarikan dan mengembangkan kebudayaan yang selama ini sudah mengakar dan melekat menjadi identitas masyarakat Yogyakarta. Wewenang itu selanjutnya dijalankan oleh Kundha Kabudayan (Dinas Kebudayaan).
Hasil kerja Kundha Kabudayan cukup terlihat melalui seabrek aktivitas kebudayaan yang ada di skala DIY. "Tilik" dan sejumlah sinema pendek karya sineas DIY yang belakangan ini viral di Twitter merupakan film yang produksinya didanai oleh Kundha Kabudayan.
Berdasarkan uraian pendek ini, tampak memang sudah ada upaya proaktif dari Pemda DIY maupun masyarakat Yogyakarta untuk menghidupi status keistimewaannya. Hal ini tampak dari aspek tata pemerintahan dan kebudayaan yang perlahan-lahan telah tampak diperhatikan secara khusus.
Namun DIY juga masih memiliki banyak pekerjaan rumah. Terutama untuk mengelola aspek pertanahan dan tata ruangnya secara istimewa.
Jangan sampai dalam perjalanan menuju delapan windu berikutnya, Yogyakarta masih dikenal sebatas daerah istimewa sebatas karena memiliki dua raja sebagai pemimpin daerahnya. Sudah saatnya Yogyakarta tampil istimewa seutuhnya.
Tidak hanya istimewa untuk kepentingan kerabat Kraton dan Pakualaman. Akan tetapi menjadi istimewa di semua aspek demi kepentingan warganya, segenap kawula Yogyakarta, yang memegang pepatah Pejah Gesang Ndherek Mataram.