Mohon tunggu...
Ageng Rikhmawan
Ageng Rikhmawan Mohon Tunggu... lainnya -

"Karena Teknologi yang berfilosofi dan berseni adalah Tempe Indonesia."

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Jika ini Jingga, Kuingin Kembali Sadar, Kuingin Kembali Menjingga

7 November 2013   19:13 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:28 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ruang lukis sebuah bengkel seni. Ruang persegi tertutup percikan cat-cat ditembok. Beberapa lukisan bersandar menumpuk menutupi sisi. Jejak lainnya bekas sebuah kanvas yang lama menggantung di dinding, hanya tinggal paku dan bentuk kotak yang tak tertutup debu. Pencahayaan acak yang lumayan berpihak pada pencerahan ruangan. Udara masih segar, bernafas disini tak akan mengganggu konsentrasi. Walau sesekali masih tercium bau asbak penuh abu. Bau tembakau adalah pengabaian untuk kaummu mestinya.


Toh ini tempat nyaman yang berkuasa atas karya kuasmu. Ya.. yang kau sukai sekarang menjadi jalan hidupmu. Berbeda dengan diriku yang harus menjulur panjang untuk mencari bentuk yang layak agar menjadi pilihan jalan hidupku. Masa yang lalu, ada yang tak bisa kupercaya tentang awal kepercayaanmu, kini aku hanya bisa iri. Kau berhasil berpegang teguh atas itu. Bisa bertahan dan merekayasanya menjadi andalan.


Katamu, kita bisa bertemu ditempat ini. Sudah berapa lama aku tidak mengijinkan diri untuk mengunjungimu? Jauh dari prasangka negatif untuk kembali di kota ini. Kini rasanya ada waktu untuk kembali dan mengurai apa yang pernah kutinggal. Perpisahan hanya karena keadaan. Tidak ada gejolak lalu hilang begitu saja. Aku terlalu sibuk dengan usaha pencarian diri serta kau terlalu enggan beralih ke ranah baru. Itu saja.


" Sudah lama disini Lita?", suara dibalik pintu yang sudah kutebak itu kau. Suara derap langkah sebelumnya. Tidak kaget dan berusaha menyambut dengan senyuman.

" Maaf terlambat ", kata ini kuucapkan bersamaan denganmu. Lalu kami tertawa.
" Haha... Masih seperti dulu mas kamu", terangku selanjutnya.
" Kamu sih, ingin bertemu disini, padahal ada banyak obyek wisata baru dipusat kota", selanya sambil membuka alat penyangga kanvas. Lalu menggelarnya ditengah ruangan.


Aku hanya bisa tersenyum. Kemudian kau memberikan minuman soda kaleng. Aku menolaknya.



" Aku sedang diet mas, sekarang sudah tidak banyak minum soda kaleng seperti dulu. Sekarang sudah beralih ke minuman sehat buatan sendiri", sambil kuperlihatkan botol plastik yang kubawa di tas.
" Ah.. bagus sekali itu, dan sekarang kamu lebih tinggi. Apakah karena botol itu atau karena sepatu hak tinggi yang kau pakai?"
" Keduanya..." tersenyum kembali.
" Seperti apa yang kusampaikan kemarin, kalau sudah disini, harus ada lukisan yang terselesaikan. Dan kamu mau kucuekin sampai lukisan ini selesai kan?",
" Ah.. iya", itu sudah aku pahami.


Kau bekerja disini mencari realitas jalan hidup bahwa dunia membutuhkan uang untuk menukarnya dengan kebutuhan. Aku juga, sebagai pekerja otak kanan, kita juga harus paham itu. Kadang lapar mempengaruhi proses berfikir. Selisih dari lapar dan kenyang merupakan sisi terbaik untuk mengkoreksi karya-karya kita. Keseimbangan merupakan potensi dari sebuah jangka waktu sampai kapan kita masih bisa berkarya.


Cat sudah kau toreh di kanvas. Perlahan membentuk sketsa. Aku lalu sembunyi dibelakangmu duduk di tumpukan kursi yang tidak tertata rapi. Punggungmu masih tegak dalam membentang kuas, rambut panjang lelakimu menyibak gagah. Kenapa harus melihat sedetail itu, seharusnya seperti pertemuan pertama tanpa kesan-kesan nyata. Hingga beberapa saat aku mengenal Impresionisme karyamu. Bersembunyi pada kesan-kesan pencayaan yang kuat. Memeras penekanan pada tampilan warna. Pupus jingga tipis jadi landasan karyamu.


Tak lama siluet lukismu bisa kubaca, kau melukis tubuhmu sendiri yang sedang melukis diruangan ini. Siluet tipis selanjutnya kau membentuk obyek baru. Bermain dengan banyak warna untuk sepatu hak tinggi yang mempunyai dimensi kecil. Kau berusaha membuat obyek ini menjadi utama. Tentu saja aku bisa menebak, kau mau melukis diriku. Duduk di kursi dan membelakangimu. Duduk dengan kesibukanku sendiri. Ah.. Kau memanfaatkan keadaan rupanya.


Kuraih sebuah kursi. Bersadar rapat dengan kursi yang kau duduki. Saling membelakangi. Kemudian mulai membuka komputer jinjing yang kuambil dari tas. Layar terbuka, menerawang entah kemana sampai aku menemukan bab fiksi yang belum terselesaikan. Ketikan berjalan dengan sendirinya. Ide bermunculan dengan dahsyatnya. Hingga aku melupakanmu dan proses lukismu sejenak. Kita larut dalam dimensi kita tersendiri. Maaf.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun