Mohon tunggu...
Ageng Rikhmawan
Ageng Rikhmawan Mohon Tunggu... lainnya -

"Karena Teknologi yang berfilosofi dan berseni adalah Tempe Indonesia."

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Armentum

1 Oktober 2012   17:14 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:24 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menjaga kalacakra agar berputar ditempatnya, doa hujan tetap ingin langit meludah daratan dengan hujan. Rapalnya secepat desir hati, hampir mirip si pemohon. Menyemburkan air penghilang dahaga musim panas panjang. Panas yang berjangka mempercepat kematian ataupun mempercepat manusia sadar akan dosanya. Sebagian tidak menarik memang akan lamanya musim terik. Biarlah api menggantikan percik, biarkan manusia menilai sendiri seberapa hangus jiwa mereka, hujan janganlah datang. Tepatlah datang saat manusia enggan memimpin jiwanya sendiri. Memang terlalu risakan, tapi benar, kedatangan hujan kadang harus mempermainkan sesatnya manusia.

" Apa yang sangat kau rindukan selain hujan dimusim panas yang tak berujung ini?"
" Aku bisa mempermainkan pikiranku seperti biasa, panas akan kusamakan dengan air berlebihan," mengerutkan dahi kemudian tersenyum.

" Menghapus hausmu dengan panas? Bagaimana mungkin?"

" Hahaha.. Mari kita tertawa tentang kebodohan ini. Inilah yang kurindu pada panas tak berujung. Aku bisa berfatamorgana melebihi waktu-waktu yang lain. Aku akan sangat berteman erat dan sangat nyaman dengan kebodohanku sendiri."

" Kau dehidrasi?"

" Tentu, haus akan semua hal yang pernah kubuang waktu itu."

" Seberapa haus sekarang?"

" Sekarang? Aku tak memiliki apa-apa. Kealpaan apa yang melebihi kehausan? Aku senang. Rasa senangku sebatas tahu bahwa aku lupa tak memiliki apa-apa sekarang."


Alunan menambah daftar konsentrasi hidup disiang itu. Alunan sekarang memanggil. Mereka memanggil untuk bersatu meminta air dari langit. Dua orang itu sepertinya menoleh ke arah sumber suara. Tertarik.

" Mari kita menuju panggilan umat peminta hujan. Pada dasarnya hujan adalah rejeki", tambahnya.

" Mari. Bukan... hujan adalah pemalas"

" Hujan adalah pemersatu"

" Hujan adalah alasan"

" Hujan adalah semua orang memihak pada bersandar."

" Hujan adalah kamuflase orang menangis."

" Mari kita mencintai kemarau, selayaknya aku mencintai hujan."

" Aku telah mencintai kemarau. Dan enggan beralih ke hujan."

" Kenapa kau akan ikut bersama umat peminta hujan?"

" Apa aku berdoa meminta hujan di tengah umat itu?"

" Kau minta apa?"

" Aku minta agar umat peminta hujan juga mencintai kemarau berkepanjangan."


Umat peminta hujan melakukan ibadahnya ditengah ladang kerontang. Mereka masih tetap mendamba hujan. Bersama, meminta agar Tuhan membasahi dengan embun pada dahaga-dahaga mereka. Walau tak banyak orang tahu. Cinta adalah hujan. Mencintai kemarau panjang adalah hujan terindah bagi diri sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun