Menjaga kalacakra agar berputar ditempatnya, doa hujan tetap ingin langit meludah daratan dengan hujan. Rapalnya secepat desir hati, hampir mirip si pemohon. Menyemburkan air penghilang dahaga musim panas panjang. Panas yang berjangka mempercepat kematian ataupun mempercepat manusia sadar akan dosanya. Sebagian tidak menarik memang akan lamanya musim terik. Biarlah api menggantikan percik, biarkan manusia menilai sendiri seberapa hangus jiwa mereka, hujan janganlah datang. Tepatlah datang saat manusia enggan memimpin jiwanya sendiri. Memang terlalu risakan, tapi benar, kedatangan hujan kadang harus mempermainkan sesatnya manusia.
" Apa yang sangat kau rindukan selain hujan dimusim panas yang tak berujung ini?"
" Aku bisa mempermainkan pikiranku seperti biasa, panas akan kusamakan dengan air berlebihan," mengerutkan dahi kemudian tersenyum." Menghapus hausmu dengan panas? Bagaimana mungkin?"
" Hahaha.. Mari kita tertawa tentang kebodohan ini. Inilah yang kurindu pada panas tak berujung. Aku bisa berfatamorgana melebihi waktu-waktu yang lain. Aku akan sangat berteman erat dan sangat nyaman dengan kebodohanku sendiri."
" Kau dehidrasi?"
" Tentu, haus akan semua hal yang pernah kubuang waktu itu."
" Seberapa haus sekarang?"
" Sekarang? Aku tak memiliki apa-apa. Kealpaan apa yang melebihi kehausan? Aku senang. Rasa senangku sebatas tahu bahwa aku lupa tak memiliki apa-apa sekarang."
Alunan menambah daftar konsentrasi hidup disiang itu. Alunan sekarang memanggil. Mereka memanggil untuk bersatu meminta air dari langit. Dua orang itu sepertinya menoleh ke arah sumber suara. Tertarik.
" Mari kita menuju panggilan umat peminta hujan. Pada dasarnya hujan adalah rejeki", tambahnya." Mari. Bukan... hujan adalah pemalas"
" Hujan adalah pemersatu"
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!