" Benar kata orang, aku harus mencari apa yang ada dalam diriku sendiri untuk bisa menemukan jati diriku sendiri. Sebuah teka-teki yang bertitah kedewasaan. Temukan jawabannya, maka akan menuju tahap selanjutnya. Pembuat pertanyaan terbaik bukan seseorang yang terbaik. Pembuat jawaban terbaik juga bukan seperti itu. Nihil hasil, semua suka, satu pahala bagi kita."
" Apa yang lebih bodoh dari tersesat?"
" Tersesat dalam diri sendiri!"
" Apalah itu, sebagaimana manusia, aku boleh berbicara sendiri didepan sebuah benda. Sekarang, aku berbicara dengan level suara sedang. Fokus suara pada kotak berisik. Benda ini semua orang menyebutnya dengan radio."
" Aku tegaskan sekali lagi, aku sedang berbicara didepan Radio FM tua. MySelf FM. Memutarkan lagu-lagu sepi. Tenang... kupastikan itu bukan Mp3 Player. Ini jelas sebuah Radio. Imanjinasi memaksaku menjadikan semua yang kupandang menjadi hal nyata, hingga -pastinya- fungsionalitas sebuah benda ini kini menjadi alat komunikasi 2 arah."
" ssssstttttttt..... " (suara radio)
" Seperti ini dua arahnya. Kau bisa berbicara padaku, aku tak mendengarkanmu. Aku bisa berbicara padamu, kau tak mendengarkanku. Impas bukan? Oh tentu saja tidak, aku masih punya sakit hati, terutama saat kau tak mendengarkanku, perihal apa yang kutanyakan, padahal itu berulang-ulang. Sakit hati adalah manusiawi. Dan sakit hati itu sakit, walau telah berembel-embel dengan sabar, walau malaikat telah turun dengan mendatangkan hujan. Sakitnya sang manusia. Kau tak perlu memikirkan jawabanmu berbanding dengan bobot pertanyaanku. Tentunya manusia lebih suka jawaban yang mengeksplorasi. Ini kuadrat karena akar pangkat tak terhingga. Jawab saja dengan sepi atau diam atau acuhan atau pergi atau kusam atau hitam atau kosong. Aku sudah senang."
" ssssttttt....... " ( suara radio)
" Desismu seperti cinta!"
" Cukuplah kau mendesis, cukup!"
" Perlahan tapi pasti, kau sudah membunuh dengan beberapa bagian suara itu!"
" sssstttttt......" (suara radio)
" Hey! judul apa lagu apa itu?"
" ssssstttttt..... " (suara radio)
" Aku bisa mengikuti iramanya, Ini seperti perasaan yang tercermin dari sebuah lagu. Lagu yang memberikan pembenaran pada situasi yang kita alami. Padahal tak menguntungkan kita. Klik... Itu laguku... Itu irama sebagaimana aku mencintai musik, aku suka pada iramanya! bukan pada liriknya... Aku benci kemunafikan lirik! Lirik adalah perusak irama, kenapa kebudayaan manusia tak bisa mencegah hal seperti itu terjadi... Kenapa kejujuran harus dibiaskan pada perkataan-pernyataan?"
" ssssttttttt......" (suara radio)
" Penyiarmu tak membacakan judul lagu sebagaimana yang lain. Itu permintaan siapa? kepada siapa? Request siapa? titip-titip salam untuk siapa? Tidak ada ya? Benar, permintaanlah yang membuat kita hidup. Kiranya Tuhan meminta, maka kehidupan itu ada... Adakah Tuhan dalam lagumu? Adakah permintaan dalam iramamu?"
" sssttttttt......" (suara radio)
" Aku harus tahu perihal itu!"
Kemudian aku lari mendekap radio didada, berlari tanpa suara jejak. Suara radio masih mendominasi.
" Radio aku datang, untuk bertanya judul lagumu tadi..."
Aku sampai. Aku masuk ke ruang penyiar dan menanyakan judul lagu tadi.
Sang penyiar mendekat, berbisik dengan jelas.
" ssssssssssttttttttttttttttttttttttttttttttttt......" ( suara sang penyiar).
Semarang, 21 Agustus 2012. 05.00
Bingung mau nulis apa, setelah lama nggak ngompasiana :D
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H