Dalam perkembangannya dari waktu ke waktu, jadwal penerbangan komersial dari dan ke Yogyakarta via Bandara Internasional Adisutjipto semakin padat. Rute-rute baru baik di dalam negeri dan rute luar negeri terus tumbuh seiring dengan meningkatnya kunjungan setiap tahun ke kota ini atau kawasan sekitar.
Tingginya jumlah penerbangan tentu saja menambah kepadatan pesawat komersial yang hilir mudik (take off dan landing) sehingga lokasi parkir pesawat kurang mencukupi. Belum lagi bandara Adisutjipto yang sering dipakai untuk penerbangan militer TNI-AU maupun aktivitas sekolah/pendidikan penerbangan maka suasananya cenderung bertambah crowded.
Dampak dari kondisi demikian tidak jarang waktu keberangkatan mengalami delay karena landasan pacu dipergunakan untuk latihan militer oleh yang mempunyai bandara yaitu TNI-AU. Imbasnyapun pada suatu waktu ada pendaratan yang terlambat/tidak diberi ijin mendarat karena kondisi bandara masih padat/sibuk, sehingga jangan kaget bila dari Jakarta ke Yogyakarta yang biasa ditempuh 1 jam, molor menjadi 2 jam-an dan pesawat komersial yang akan landing harus berputar-putar dulu diangkasa.
Data terakhir dapat diketahui bahwa jumlah penumpang pernerbangan komersial/sipil per-tahun di bandara ini mencapai 7,8 juta orang. Sedangkan kapasitas bandara hanya mampu menampung sebanyak 1,8 juta per-tahun (Kompas.com, 2018/01/27) -- sehingga jangan pula heran bilamana terlihat berjejal manusia di bandara Adisutjipto yang hendak bepergian dari maupun datang di Yogyakarta semakin tampak memadati kawasan itu.
Dari beberapa gambaran singkat tersebut, maka kondisi bandara International Adisutjipto Yogyakarta selanjutnya bisa dikatakan mengalami kekurangan kapasitas memadai seperti terminal (domestik dan internasional), runway, taxiway, apron, termasuk parkir kendaraan dan fasilitas pendukung lain.
Atas dasar itu kemudian PT Angkasa Pura I (AP I) dan Pemda DIY menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) berencana membangun bandara baru dengan mengambil lokasi di wilayah pesisir selatan Kecamatan Temon, Kabupaten Kulonprogo, atau sekitar 45 km arah barat dari Kota Yogyakarta.
Pembebasan tanah dan pembangunan tahap pertama hingga saat ini mulai/sedang dilakukan. Diperkirakan pembangunan bandara dengan sebutan/nama New Yogyakarta International Airport (NYIA) pada tahap pertama ini ditarget selesai bulai April 2019. Hanya tinggal beberapa bulan lagi bandara baru bisa dipergunakan, bahkan hingga tulisan ini disusun, siang malam terus dikebut pengerjaannya.
Kita patut berbangga, dan sebagai salah satu warga di DIY penulispun berharap keberadaan infrastruktur transpostasi udara yang memadai akan banyak membantu mobilitas sosial dan transaksi barang seiring dengan percepatan jaman terutama dalam menunjang kegiatan ekonomi-bisnis serta kepentingan lain di era global.
Hadirnya bandara baru di Yogyakarta nantinya diharapkan menambah kenyamanan para penumpang pesawat regular, tidak banyak lagi mengalami delay, kedatangan dan kepergian ke/dari Yogyakarta ke tempat tujuan bisa berjalan lancar dan tepat waktu. Fasilitas pelayanan dalam kawasan bandara semakin layak dibanding sebelumnya. Disamping itu landasan pacunya lebih panjang, lebih smooth ketika pesawat take-off maupun landing.Â
Dibalik itu semua, pembangunan mega proyek New Yogyakarta International Airport yang menelan biaya sekitar 7 sampai 9 trilyun berdiri diatas lahan 587 hektar tersebut bukan berarti tanpa memikirkan resiko-resiko yang kemungkinan  terjadi. Terutama dilihat dari lokasinya yang berada di pinggir pantai (Samudra Indonesia) sisi selatan wilayah Kabupaten Kulonprogo -- dimana kawasan ini dalam sejarahnya pernah dilanda gempa-tsunami maka ancaman ini menjadi layak dipertimbangkan.
Beberapa pihak yang berambisi agar proyek bandara baru segera dirampungkan seringkali menyebut bahwa bangunan bandara sudah diperhitungkan tahan gempa hingga magnitude 8 dan ruang khusus untuk evakuasi bahaya tsunami. Hal demikian dapat dimaklumi mengingat adanya kepentingan tertentu agar semuanya berjalan tanpa hambatan.
Namun berdasar catatan sejarah disebutkan bahwa lokasi bandara baru tersebut (termasuk gempa dan tsunami di Palu) pernah luluh lantak diterjang gempa dan tsunami. Lebih jelasnya dapat dibaca disini: http://jogja.tribunnews.com/2018/10/02/jejak-tsunami-besar-di-pesisir-kulonprogo-dekat-calon-bandara?page=4.
Tanpa memperdebatkan persoalan ini, yang jelas bencana alam (gempa dan tsunami) tidak bisa diprediksi kapan akan terjadi. Yang perlu dipahami bahwa daerah pesisir ini merupakan lokasi ancaman bencana dan perlu diantisipasi. Bukan hanya sebatas pada design bentuk fisik bangunan-- tetapi terpenting  mitigasi bencana gempa-tsunami menjadi perlu disosialisasikan setiap saat kepada seluruh warga setempat (termasuk para calon/penumpang pesawat udara) sehingga dapat meminimalisir korban bilamana bencana alam itu terjadi.
Artikel/tulisan ini bukanlah bermaksud untuk menakut-nakuti. Jauh dari itu hanyalah sekedar mengingatkan atau betapa perlunya suatu perencanaan pembangunan termasuk infrastruktur transportasi udara/bandara baru harus dibarengi suatu perencanaan yang matang.
Meminjam istilah dalam analisis SWOT (Strength/kekuatan, Weakness/kelemahan, Opportunities/peluang, dan Threats/ancaman) walaupun konsep ini tergolong sudah lama, tetapi ada relevansinya di-identifikasi menyangkut faktor eksternal khususnya beberapa ancaman yang kemungkinan terjadi sewaktu-waktu.
Ambisi untuk membangun mega proyek infrastruktur transportasi udara seperti dipaparkan diatas boleh saja dilakukan, Namun jangan sampai hanya mengejar target dan demi prestisius lantas menganggap sepele terhadap sesuatu yang mengancam dihadapan kita, yang justru bisa membawa banyak korban. Apalagi dengan target tahap pertama pembangunan bandara baru di Yogyakarta selesai bulan April 2019 -- bertendensi politis terkait pelaksanaan pemilihan umum legislatif dan pilpres nanti. (Subarja W).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H