Mohon tunggu...
Rivaldo Pramana
Rivaldo Pramana Mohon Tunggu... Desainer - Mahasiswa

Mahasiswa DKV ISI YK

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Analisis Dampak Iklan Luar Ruang di Jalan Gejayan, Kabupaten Sleman 2019

27 November 2019   19:45 Diperbarui: 27 November 2019   20:15 567
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Latar Belakang

Iklan luar ruang adalah jenis media luar ruang berukuran besar yang diletakkan pada posisi strategis di luar ruang yang bisa dilihat semua orang, biasanya di pinggir jalanan atau di atas ngunan. Media luar ruang mencakup banyak jenis, mulai dari reklame, baliho, bendera, hingga billboard berukuran raksasa. Perkembangan teknologi digital juga melahirkan jenis media luar ruang digital dengan layar LCD/LED untuk menunjukan gambar statis maupun bergerak (Videotron) (Wikipedia,2019).

Definisi lain datang dari Peraturan Bupati Sleman no.53 Tahun 2015 pasal 1, yang berbunyi, "Pasal 1, Reklame adalah benda, alat, perbuatan atau media yang bentuk dan corak ragamnya dirancang untuk tujuan komersial, memperkenalkan, menganjurkan, mempromosikan atau untuk menarik perhatian umum terhadap barang, jasa, orang, atau badan yang dapat dilihat, dibaca, didengar, dirasakan, dan atau dinikmati oleh umum.

Papan/billboard adalah reklame dan alat peraga yang berbentuk bidang, dengan bahan terbuat dari kayu, logam, fiber glas/kaca, plastik dan bahan lain yang sejenis sesuai perkembangan jaman, yang pemasangannya berdiri sendiri, menempel bangunan dengan konstruksi tetap dan bersifat permanen ...."

Keberadaan luar ruang sudah ada sejak pertengahan abad ke 19, bersamaan dengan revolusi industri di mana pabrik-pabrik baru memerlukan media untuk mengiklankan hasil produksi mereka. Sejak saat itu iklan-iklan raksasa ini akrab menghiasi banyak kota di seluruh dunia. Kemajuan ekonomi berarti lebih banyak barang yang dijual, yang membutuhkan media untuk mempromosikan produk tersebut, yang pada akhirnya semakin meningkatkan jumlah iklan luar ruang. Saking banyaknya hingga jumlah iklan ini melahirkan masalah dengan istilah 'sampah visual'.

" Sampah visual dipahami sebagai aktivitas pemasangan iklan luar ruang berjenis            kelamin komersial, sosial, maupun iklan politik yang penempatannya tidak sesuai   dengan peruntukkannya ...."  (Sumbo Tinarbuko; DEKAVE, Desain Komunikasi Visual, Penanda Zaman Masyarakat Global.)

Karena kebutuhan iklan luar ruang, beberapa menyalahi aturan dengan berada tidak pada tempatnya, tidak dibayar pajaknya, bahkan membahayakan karena bisa menjadi distraksi.

Lepas dari masalah di atas, isu sampah visual jelas menjadi bukti bahwa kita kini dikelilingi begitu banyak iklan luar ruang sampai beberapa bisa disebut sebagai sampah visual. Lanskap kota-kota kita rasanya tidak lengkap jika tidak ada lautan billboard yang tinggi menjulang atau lebar memanjang yang berlomba-lomba menarik perhatian walaupun tidak semua billboard menarik untuk dilihat dan dibaca sehingga kebanyakan orang-orang bersikap cuek dan tidak memerhatikan walaupun billboard itu sendiri sudah diakui oleh pemerintah kota dan menjadi bagiannya sehingga tetap akan memiliki dampak apabila tiba-tiba dihilangkan. Seperti pendapat beberapa masyarakat yang sempat kami kumpulkan sebelumnya.

Makalah ini bertujuan untuk mengetahui analisis dampak visual iklan luar ruang di wilayah Jalan Gejayan, Kabupaten Sleman. Pertama kami ingin mengumpulkan opini masyarakat tentang perspektif mereka terhadap iklan luar ruang mengenai apakah di zaman yang didominasi iklan digital dan cara beriklan lain yang lebih modern, iklan-iklan luar ruang masih relevan, efektif, dan memiliki daya saing jika dibandingkan dengan media iklan lainnya. Dari pengumpulan data dan hasil analisis ini kami dapat mengidentifikasi dampak sosial seperti apa yang mempengaruhi masyarakat.

Peran DKV dalam menanggapi dampak visual iklan luar ruang

Dalam segi budaya kreatif, makalah ini menunjukan bahwa billboard kurang efektif bagi masyarakat dan tidak lagi diperhatikan, hilang dari pandangan dan menyatu dengan lanskap di sekitanya, padahal sebagai agen penyalur informasi billboard harusnya mencolok. Orang masih sadar ada billboard di sana, hanya informasi di dalamnya saja yang tidak tersalurkan, oleh karena itu maka sebagai desainer harus bersikap dan berfikir kritis. Dalam hal ini maka desainer bisa mengembangkan media-media kreatif yang dapat dikembangkan untuk media periklanan yang baru dan sebisa mungkin meminimalisir resiko dari sampah visual maupun sampah yang nyata.

Ada dua hal yang diberikan argumen di atas kepada dunia desain komunikasi visual. Billboard yang kini menyatu dengan lanskap di mana ia harusnya mencolok kini butuh bentuk dan media yang jauh berbeda dan tidak biasa, istilahnya unconventional media. Para perajin desain yang kini mengerjakan iklan luar ruangan harus bekerja di luar zona nyaman agar iklan luar ruangan kembali aktif, eksis, dan mencolok, di sini sumbangan iklan luar ruangan kepada desain adalah faktor yang mendorong para desainer dan tren iklan luar ruang secara umum di Indonesia maju, seakan menjadi katalis evolusi bagi jenis iklan yang satu ini.

Yang kedua datang dari segi berkesenian. Iklan-iklan luar ruangan kini bergeser peran dari sekedar alat beriklan yang mencolok menjadi bagian dari lanskap iklan, menyatu dengan latar di sekitarnya seakan-akan memang di bangun untuk menjadi bagian dari kota. Banyak contoh seperti Times Square di New York atau Akihabara di Tokyo di mana billboard dan iklan luar ruangan yang justru populer dan jadi ikon lokasi tersebut. Jika dipikir kembali, menyebut nama Gejayan tanpa billboard-billboard raksasa di tempat tersebut pun juga sekarang hampir tidak mungkin, pasti terbayang saat menyebut nama Gejayan.

Di sini iklan tergantung penempatan, kualitas, dan nilai astetiknya, iklan luar ruangan bisa menjadi karya seni di jalan seperti grafiti atau ikon kota seperti contoh di atas atau menjadi sampah visual yang sayangnya menjadi realita di banyak kota di Indonesia. Iklan luar ruangan kini bisa menjadi ajang berseni. Jika digunakan secara benar, bisa menjadi galeri raksasa yang mengisi ruang kosong dan lanskap kota. Praktisi DKV bisa memperalat iklan menjadi media untuk melakukan seni. Dalam kasus ini, sumbangsih yang diberikan iklan luar ruangan pada DKV adalah memberikan bentuk media baru yang bisa digunakan praktisi desain untuk berkarya dan kesempatan baru untuk menyebarkan ide desain mereka.

Metodologi

Iklan luar ruang dibuat oleh manusia sehingga aspeknya datang dari manusia, dan iklan-iklan ini dibuat untuk mempengaruhi manusia. Aspek-aspek ini; sebuah konstruk ide atau pola pikiran, akan dicerna oleh masyarakat dan menjadi bagian dari msayarakat, lalu akan memengaruhi aspek lainnya yang nantinya akan diterapkan masyarakat tersebut. Kami ingin mengidentifikasi aspek dan sekaligus hasil polanya dengan teori-teori yang kami pelajari dari buku, jurnal maupun dari berbagai sumber.    

Kami memilih lokasi yang bertempat di Pertigaan Gejayan, Kabupaten Sleman, Kota Yogyakarta sebagai tempat survei. Alasan karena kami memilih tempat ini karena Gejayan memiliki jumlah iklan luar ruang berbentuk billboard yang terkenal tidak sedikit. Hampir sepanjang Jalan Gejayan terdapat billboard dan jenis reklame lainnya, dan paling terkonsentrasi di pertigaan antara Jalan Gejayan dan Jalan Colombo.

Lalu, metode yang kami gunakan untuk penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif.  Berikut definisi deskriptif kualitatif yang kami kutip.

"Penelitian deskriptif kualitatif merupakan salah satu dari jenis penelitian yang    termasuk dalam jenis penelitian kualitatif. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah            untuk mengungkapkan kejadian atau fakta, keadaan, fenomena, variabel dan keadaan          yang terjadi saat penelitian berlangsung dengan menyuguhkan apa yang sebenarnya   terjadi." (Agung Prasetyo, Linguistikid.com, 2016)

Kami mengumpulkan data dengan cara bertanya langsung di tempat dan secara lisan menanyakan opini mereka secara deskriptif tanpa kuesioner. Objek wawancara kami adalah orang-orang yang kami temui di lokasi pada waktu itu (19/11/2019), mulai dari pejalan kaki hingga polisi, siapapun yang bisa dan berkenan memberikan opini soal iklan luar ruang di tempat itu..

Pertanyaan yang digunakan pada wawancara tersebut adalah:

  • Apakah pemasangan iklan luar ruang pada area ini efektif dalam mengiklankan produk/ layanan?
  • Apakah keberadaan iklan luar ruang pada area ini mengganggu pandangan sekitar area?
  • Apakah pesan yang disampaikan iklan luar ruang ini tersampaikan dengan baik?
  • Apakah opini publik apabila iklan luar ruang dihilangkan?

Tujuan dari keempat pernyataan di atas adalah untuk mengetahui pandangan masyarakat terhadap keberadaan iklan-iklan yang sering mereka jumpai di lokasi tersebut. Kami tidak menggunakan kuesioner karena jawaban yang diberikan terhadap pertanyaan di atas bersifat kualitatif dan unik bagi setiap responden. Setiap responden memberikan jawabannya sesuai versi mereka sendiri karena setiap individu punya opini dan cara deskripsi mereka masing-masing untuk jawaban yang mereka berikan. Cara wawancara lain yang lebih kaku hanya akan membatasi jawaban responden.

Namun, meski tanpa variabel tetap, kesimpulan secara umum dapat ditarik dari jawaban unik setiap responden untuk menentukan suatu tren atau kecenderungan yang secara kolektif menentukan ke arah mana hasil kesimpulan analisis kami.

Kemudian hasil kesimpulan yang kami dapatkan akan kami uji dengan beberapa teori untuk menentukan dampak sosiologinya. Teori-teori ini membantu kami untuk mengidentifikasi aspek desain iklan luar ruang apa yang berpengaruh secara sosial lewat visual kepada masyarakat dan apa bentuk pengaruhnya; menjelaskan dengan proses logika bagaimana sebuah aspek visual iklan luar ruang bisa termanifestasikan dalam realita dan apa dampak nya pada realita tersebut.

1. Teori  Segitiga Triadik Sumbo Tinarbuko 

dokpri-segitiga-triadik-versi-sumbo-tinarbuko-5dde696f097f363d08561c22.jpeg
dokpri-segitiga-triadik-versi-sumbo-tinarbuko-5dde696f097f363d08561c22.jpeg
Teori ini menjelaskan bagaimana untuk membentuk sebuah wacana desain, sosiologi desain, budaya kreatif, dan pembangunan adalah aspek wajib.

Sosiologi desain membahas proses interaksi dan komunikasi. Budaya Kreatif adalah hal yang muncul dari desain yang hasilnya termanifestasikan di masyarakat dan desain memicu pembangunan dan modernisasi.

Ketiga aspek ini saling berhubungan. Pembangunan/moderenisasi dan proses interaksi komunikasi memproduksi budaya kreatif; budaya kreatif dan proses interaksi komunikasi mendorong pembangunan dan moderenisasi; budaya keatif serta pembangunan dan moderenisasi memicu dan mendukung proses interaksi dan komunikasi. Wacana desain yang baik adalah yang memiliki 3 aspek yang saling melengkapi ini.

2.  Teori Segitiga Sosiologi Desain Agus Sachari

dokpri-segitiga-triadik-versi-agus-sachari-5dde682fdf66a7613b54f8f2.jpeg
dokpri-segitiga-triadik-versi-agus-sachari-5dde682fdf66a7613b54f8f2.jpeg

Sosiologi desain dijelaskan lagi menjadi tiga aspek. Dalam sosiologi desain terdapat aspek manusia, sistem nilai, dan benda desain.

Manusia adalah aspek masyarakatnya; pengamat, konsumer, penikmat; sebagai subjek. Sistem nilai adalah standar yang digunakan untuk menilai dalam kajian dan benda desain sebagai objek yang dikaji.

Analisis

Untuk analisis iklan luar ruang, kami mengidentifikasi elemen-elemen di hadapan teori yang kami gunakan. 'Teori Segitiga Sosiologi Desain Agus Sachari' dalam makalah ini aspek manusianya adalah masyarakat di sekitar Pertigaan Gejayan, benda desainnya adalah Billboard di Pertigaan Gejayan, dan sistem nilainya menggunakan asumsi yang datang mengenai kenapa Jalan Gejayan menjadi lokasi yang populer untuk memasang billboard.

Menurut kelompok kami, ada dua alasan logika kenapa terdapat konsentrasi billboard yang begitu padat di kawasan Pertigaan Gejayan.

1. Jumlah Kampus dan Demografi Kawasan Sekitar.

Jalan Gejayan dekat dengan Universitas Negeri Yogyakarta, Universitas GajahMada, dan institusi pendidikan tinggi lainnya di Yogyakarta. Konsentrasi mahasiswa di kawasan ini membantu pertumbuhan iklan luar ruang di daerah ini. 

Pasalnya,  demografi dari mahasiswa yang biasa belajar dan menjalani kehidupan sehari-hari di   daerah tersebut bisa dikategorikan sebagai 'konsumtif', yang biasa menyamakan   kedudukan kebutuhan tersier (hiburan) dan primer (kebutuhan dasar) (Syamila, 2015).   Kebiasaan dan perilaku inilah yang memberikan permintaan atas alat dan media    periklanan di daerah seperti pertigaan Jl. Gejayan ini.

2. Posisi Iklan Luar Ruang Sebagai Penambah Pemandangan

Pertigaan Jl. Colombo dan Jl. Gejayan, secara lokasi, bersampingan dengan    sebuah areal kuburan, lebih tepatnya kuburan RS. Bethesda. Penempatan iklan luar        ruang yang sangat berlebih di area ini juga bisa dikatakan sebagai upaya untuk menutupi area kuburan, dan memberi pemandangan yang terkesan lebih hidup untuk        pengendara yang berhenti di pertigaan tersebut.  

Penjelasan di atas menjadi dasar sistem nilai kami untuk dibandingkan dengan hasil wawancara masyarakat Gejayan sebagai aspek manusia dan kenyataan iklan luar ruang di lapangan sebagai aspek benda desain. Dari sini kita bisa mengidentifikasi proses interaksi dan komunikasi apa yang terjadi, atau lebih tepatnya menentukan masalah sosiologi desain apa yang ada karena keberadaan billboard-billboard tersebut.

Lalu setelah 'Teori Segitiga Sosiologi Desain Agus Sachari' menjelaskan soal 'Sosoiologi Desain', kami berlanjut pada 'Teori Segitiga Triadik Sumbo Tinarbuko' di mana sosiologi desain menjadi salahsatu aspek dalam teori tersebut.

Kenapa kami berlanjut kepada teori kedua adalah karena hasil dampak Visual iklan luar ruang yang menjadi tujuan kami menulis makalah ini datang dalam bentuk 'Budaya Kreatif' dan 'Pembangunan/Modernisasi' yang terjadi di masyarakat akibat iklan luar ruangan.

 Karena salah satu aspek triadik, yaitu Sosiologi Desain, sudah dijawab oleh segitiga sosiologi desain, kita dapat mengidetifikasi aspek budaya kreatif dan pembangunannya. Kami menggunakan kedua teori seperti rumus untuk menemukan jawaban yang menjadi tujuan makalah ini. Mengidentifikasi variabel dengan cara mengumpulkan data, menggunakan teori sebagai rumus, dan menggunakan 'rumus' tersebut untuk mendapatkan variabel yang kami cari sebagai jawaban makalah kami.

Untuk tambahannya, ketiga aspek ini akan secara otomatis membentuk wacana desain mengenai iklan luar ruang, wacana yang bisa menjadi kritik, masukan, tambahan, dan solusi soal konsep iklan luar ruangan yang ada. Kami mengidentifikasi aspek, mencari masalah, menyimpulkan dampak visualnya secara sosial pada masyarakat, dan dengan bonus mendapatkan wacana yang bisa menjadi suplemen untuk topik ini.

Untuk mencapai kesimpulan akhir, pertama kami akan mengidentifikasi ketiga aspek Teori Segitiga Sosiologi Desain Agus Sachari, yaitu manusia, sistem nilai, dan benda desain

Aspek manusia yang kami gunakan adalah masyarakat Gejayan yang kami temui dan wawancarai. Dari hasil data responden di atas, ada beberapa gejala tren atau kecenderungan yang muncul dan terus berulang, yaitu :

  • Semua responden 'cuek' atau tidak peduli dengan iklan.
  • Semakin menarik/mencolok visualnya, semakin besar kemungkinannya untuk dibaca.
  • Semakin sedikit tulisannya/singkat pesannya, semakin besar kemungkinannya untuk dibaca.
  • Kalaupun dibaca, jarang sampai habis.
  • Reklame dengan gambar statis lebih efektif dari dari gambar bergerak (videotron).
  • Semua responden yang berkendara seringkali tidak sempat membaca habis baliho.

 Hasil dari wawancara acak yang kami lakukan di lapangan hasilnya sangat seragam. Semua yang diwawancara merasa tidak tertarik pada iklan yang disajikan oleh reklame. Beberapa memang bisa menarik perhatian, tapi kelihatannya tidak satupun memiliki kesan positif pada reklame selain hanya merupakan hal yang biasa saja bahkan menggangu.Hal ini adalah tanda bahwa reklame tidak efektif untuk menyalurkan pesan dan menjadi agen iklan yang baik.

Hasil dari pengumpulan data tersebut tentu berkesimpangan dengan salah satu analisis alasan dari keberadaan iklan luar ruang di pertigaan tersebut, yaitu demografi penduduk sekitar yang dipenuhi oleh mahasiswa, yang pada esensinya bersifat lebih konsumtif. Pemasangan iklan luar ruang, ketika mempertimbangkan pasar konsumen yang memperhatikannya, menjadi suatu yang kurang produktif.

 Salah satu faktor yang bisa menjelaskan ketimpangan data serta hasil riset ini adalah perilaku masyarakat terhadap penggunaan smartphone di kehidupan sehari-hari. Penggunaan smartphone menjadi kebiasaan yang berubah menjadi bagian keseharian, dan menjadi fenomena yang mengubah budaya (Kurniawan, 2019). Dari pernyataan tersebut, maka bisa dikatakan bahwa waktu memberhentikan kendaraan pada saat lampu merah, semakin muda pengendara tersebut, maka lebih mungkin waktu luang tersebut digunakan para pengendara untuk berinteraksi dengan smartphone mereka. Asumsi ini didukung data penggunaan smartphone di Indonesia, yang mayoritas berumur 18-25 tahun (Kaonang, 2016), kelompok umur yang biasa dihubungkan dengan umur-umur mahasiswa. Kedua teori ini mendukung gagasan bahwa iklan luar ruang kurang efektif ketika digunakan sebagai alat beriklan, karena budaya penggunaan smartphone membuahkan kebiasaan pengendara untuk cenderung berinteraksi dengan smartphone-nya dibanding mengamati sekitarnya pada saat berhenti di persimpangan.

Dari sini jika dibandingkan aspek sistem nilai kita dimana Gejayan harusnya menjadi tempat yang baik untuk billboard, terjadi pertentangan ekstrim. Dari sini kita bisa mengidentifikasi permasalahan sosiologi desain yang terjadi di Pertigaan Gejayan. Aspek manusia mengatakan pengendara tidak suka dengan iklan luar ruangan, sementara aspek sistem nilai justru mengatakan iklan luar ruangan harusnya dapat berfungsi dengan efektifitas tinggi di tempat tersebut.

Di sini masalahnya adalah iklan luar ruangan yang harusnya bekerja efektif di tempat tersebut malah seakan menjadi 'sampah visual' bagi masyarakat di sekitarnya, seakan iklan yang sudah didesain sedemikian rupa ini malah menjadi sangat tidak efektif dan melenceng jauh. Gejala yang datang dari wawancara adalah tanda bahwa iklan luar ruangan tidak efektif untuk menyalurkan pesan dan menjadi agen iklan yang baik, padahal iklan luar ruangan harusnya menjadi penyampai informasi yang efektif terutama karena berada di lokasi yang sangat mendukung tujuan berdirinya iklan itu.

Setelah kita menjawab masalah sosiologi desain, selanjutnya kita akan bergerak ke 'Teori Segitiga Triadik Sumbo Tinarbuko,' untuk mengidentifikasi aspek pembangunan dan budaya kreatif yang muncul akibat masalah ini.

  Aspek pembangunan yang bisa dibuat dari kasus ini adalah upaya-upaya industri periklanan untuk beradaptasi melawan susahnya mencuri perhatian pengendara untuk melihat ke iklan mereka, upaya seperti desain yang lebih menarik dan pesan yang lebih pendek dan terangkum digunakan untuk membawa pesan dari iklan ke konsumen pengendara sebelum pengendara tersebut membuka smartphone nya saat berhenti. Upaya yang dilakukan industri secara keseluruhan termasuk pendorongan upaya periklanan digital yang melibatkan media sosial. Alat beriklan di media sosial seperti Instagram bisa dikatakan sebagai sebuah alternatif modern untuk membawa iklan yang tersasarkan kepada audiens yang lebih cenderung mengecek smartphone-nya lebih sering pada kesehariannya.

Lalu, budaya kreatif yang muncul dari perkembangan ini adalah bahwa iklan luar ruangan menjadi bagian dari tata kota itu sendiri daripada media beriklan karena iklan luar ruangan dianggap ada begitu saja sebagai sekedar pelengkap lanskap kita di kesadaran masyarakat. Daripada digunakan sepenuhnya untuk beriklan beberapa iklan luar ruangan dibuat untuk menutupi 'ruang kosong' di pojok-pojok kota kita, misalnya menutupi kuburan seperti kasusnya di Pertigaan Gejayan, atau hal-hal lainnya seperti perkampungan kumuh, pembuangan sampah, lahan konstruksi dan sebagainya.

Budaya kreatif yang juga muncul adalah tren atau kecenderungan ilustrasi yang menggambarkan kota besar pasti memasukan iklan luar ruangan kedalam karyanya, karena saking banyak dan umumnya iklan luar ruangan, lanskap kota tanpa iklan luar ruangan rasanya tidak lengkap. Tidak sedikit lanskap kota yang terkenal justru karena iklan luar ruangannya ketimbang stuktur di kota itu sendiri, seperti Times Square di New York, Akihabara di Tokyo, dan Taman Anggrek di Jakarta.

Kesimpulan

Iklan luar ruangan meski sudah lagi tidak populer dan seefektif dulu, secara visual masih memiliki efek di bidang lainnya yang mendorong secara segi pembangunan dan menempatkan budaya kreatif yang menjadi bagian dari masyarakat kita. Menyelidiki masalah ini juga memberikan solusi untuk menggunakan iklan luar ruangan menjadi lebih efektif di lain hari. Iklan ruangan hampir menjadi sampah visual seluruhnya di kota kita, namun dengan sedikit perbaikan, iklan ruangan yang menjadi media kreatif yang tidak membedakan siapa-siapa di mana orang siapapun dia bisa melihatnya, punya harapan untuk kembali efektif dan terus menjadi agen penyalur informasi yang efektif dan signifikan.

Semoga makalah ini dapat membantu upaya itu, serta memberikan manfaat lainnya bagi pembacanya. Terima kasih atas kesediannya serta perhatiannya untuk membaca hingga akhir akhir.  Bila ada kata-kata yang salah, analisis yang kurang tepat, atau asumsi yang tidak benar, mohon dimaafkan.

Sekali lagi kami segenap kelompok mengucapkan terima kasih.

Daftar Pustaka

Bibliografi:

  1. M.Suyanto. 2006. Strategi Perancangan Iklan Outdoor Kelas Dunia. Yogyakarta: CV ANDI OFFSET
  2. Sachari, Agus. 2002. Sosiologi Desain. Bandung: ITB
  3. Tinarbuko, Sumbo. 2015. DEKAVE Desain Komunikasi Visual -- Penanda Zaman Masyarakat Global. Yogyakarta : CAPS (Center for Academic Publishing Service).

Webtografi:

  1. Kaonang, Glenn, 'Memahami tren penggunaan Smartphone di Indonesia'
  2. https://dailysocial.id/post/memahami-tren-penggunaan-smartphone-di-indonesia-berdasarkan-usia (diakses 26 November 2019 pada 21:51)
  3. Kurniawan, Dian, 'Fenomena Penggunaan Ponsel berdampak pada Perubahan Budaya'
  4. https://surabaya.liputan6.com/read/4098250/fenomena-penggunaan-ponsel-berdampak-pada-perubahan-budaya (diakses 26 November 2019) pada 21:45
  5. Syamil, Adam, 'Saat Perilaku Konsumtif menjadi Budaya Remaja'
  6. https://www.kompasiana.com/www.ahdasyamil.com/54f92016a33311f8478b4b84/saat-perilaku-konsumtif-menjadi-budaya-remaja, (diakses 26 November 2019 pada 21:25)
  7. http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/files/ld/2002/sleman5-2002.pdf diakses pada (26 November 2019 pada 7:04)
  8. https://www.linguistikid.com/2016/09/pengertian-penelitian-deskriptif-kualitatif.html (diakses pada 25 November 2019 pada 6:36)
  9. http://sipsn.menlhk.go.id/sites/default/files/produk-hukum/Perbup%20Nomor%2053%20Tahun%202015%20ttg%20Penyelenggaraan%20Reklame.pdf (diakses pada 26 November 2019 pada 7:12)
  10. https://id.wikipedia.org/wiki/Media_luar_ruang_digital  (diakses pada 27 November 2019 pada 15:52)

 

Lampiran

Data Responden

Wawancara dilakukan kepada subjek yang dipilih secara acak pada tanggal 19 November 2019, pukul 15.20 hingga 17.02, di Perempatan Gejayan, Jl Affandi, daerah Demangan.

1. Pengendara Sepeda Motor, Perempuan, Murid SMA

dokpri
dokpri
"Cuek pada iklan billboard, tak jarang melihat billboard tanpa menyerap info sampai habis."

2. Teknisi Pemasang Billboard, Laki-laki

dokpri
dokpri
"Sangat cuek dengan iklan, sesekali melihat tidak sampai habis, tertarik apabila memiliki visual yang menarik dan pesan singkat.  Baliho dan sejenisnya memang mengganggu visual, tapi media periklanan dibutuhkan eksistensinya oleh pengusaha. Kalau tidak ada Baliho kami harus kerja apa, yang penting dari baliho adalah alamat perusahaannya jelas."

3. Pengendara Sepeda Motor, Laki-laki, Pekerja Kantoran

dokpri
dokpri
            "Billboard mengganggu karena menghalangi rambu."

4. Pengendara Mobil, Laki-laki

"Hampir tidak pernah memperhatikan baliho, informasi baliho tidak tersampaikan, baliho di Gejayan tidak ada yang menarik, baliho mengganggu konsentrasi berkendara."

Polisi Lalu Lintas, Laki-laki

dokpri
dokpri
           "Billboard sudah memiliki peraturan dan regulasi pemasangannya sendiri, yang berarti keberadaan billboard sudah diakui kota dan menjadi bagian dari tata kota, jika billboard hilang karena suatu hari nanti, dampaknya kepada tata kota akan lumayan."

5.  Penjual Bunga, Perempuan

"Meski toko berada persis di depan billboad-billboard Gejayan, hampir tidak pernah   memperhatikan apalagi sampai membaca karena sama sekali tidak tertarik. Ada    billboard yang menarik karena mencolok atau warna yang menyala, tapi juga tidak  dibaca, tidak ada baliho yang berkesan dan bisa diingat sepanjang berjualan di      pertigaan."

Kelompok Ki Purbo

Zanuar Nuril Mubin -- 1512357024

Iim Maitri Vashaka -- 1712465024

Rifky Satya Pratam -- 1812483024

I Putu Rivaldo Pramana Putra -- 1812495024

Nouzan Kharim A.A -- 1812507024

Stevan Lucky -- 1812508024

Rahul Rahman -- 1812532024

Wahyu Purbo Sejati -- 1812548024

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun