Untuk tambahannya, ketiga aspek ini akan secara otomatis membentuk wacana desain mengenai iklan luar ruang, wacana yang bisa menjadi kritik, masukan, tambahan, dan solusi soal konsep iklan luar ruangan yang ada. Kami mengidentifikasi aspek, mencari masalah, menyimpulkan dampak visualnya secara sosial pada masyarakat, dan dengan bonus mendapatkan wacana yang bisa menjadi suplemen untuk topik ini.
Untuk mencapai kesimpulan akhir, pertama kami akan mengidentifikasi ketiga aspek Teori Segitiga Sosiologi Desain Agus Sachari, yaitu manusia, sistem nilai, dan benda desain
Aspek manusia yang kami gunakan adalah masyarakat Gejayan yang kami temui dan wawancarai. Dari hasil data responden di atas, ada beberapa gejala tren atau kecenderungan yang muncul dan terus berulang, yaitu :
- Semua responden 'cuek' atau tidak peduli dengan iklan.
- Semakin menarik/mencolok visualnya, semakin besar kemungkinannya untuk dibaca.
- Semakin sedikit tulisannya/singkat pesannya, semakin besar kemungkinannya untuk dibaca.
- Kalaupun dibaca, jarang sampai habis.
- Reklame dengan gambar statis lebih efektif dari dari gambar bergerak (videotron).
- Semua responden yang berkendara seringkali tidak sempat membaca habis baliho.
 Hasil dari wawancara acak yang kami lakukan di lapangan hasilnya sangat seragam. Semua yang diwawancara merasa tidak tertarik pada iklan yang disajikan oleh reklame. Beberapa memang bisa menarik perhatian, tapi kelihatannya tidak satupun memiliki kesan positif pada reklame selain hanya merupakan hal yang biasa saja bahkan menggangu.Hal ini adalah tanda bahwa reklame tidak efektif untuk menyalurkan pesan dan menjadi agen iklan yang baik.
Hasil dari pengumpulan data tersebut tentu berkesimpangan dengan salah satu analisis alasan dari keberadaan iklan luar ruang di pertigaan tersebut, yaitu demografi penduduk sekitar yang dipenuhi oleh mahasiswa, yang pada esensinya bersifat lebih konsumtif. Pemasangan iklan luar ruang, ketika mempertimbangkan pasar konsumen yang memperhatikannya, menjadi suatu yang kurang produktif.
 Salah satu faktor yang bisa menjelaskan ketimpangan data serta hasil riset ini adalah perilaku masyarakat terhadap penggunaan smartphone di kehidupan sehari-hari. Penggunaan smartphone menjadi kebiasaan yang berubah menjadi bagian keseharian, dan menjadi fenomena yang mengubah budaya (Kurniawan, 2019). Dari pernyataan tersebut, maka bisa dikatakan bahwa waktu memberhentikan kendaraan pada saat lampu merah, semakin muda pengendara tersebut, maka lebih mungkin waktu luang tersebut digunakan para pengendara untuk berinteraksi dengan smartphone mereka. Asumsi ini didukung data penggunaan smartphone di Indonesia, yang mayoritas berumur 18-25 tahun (Kaonang, 2016), kelompok umur yang biasa dihubungkan dengan umur-umur mahasiswa. Kedua teori ini mendukung gagasan bahwa iklan luar ruang kurang efektif ketika digunakan sebagai alat beriklan, karena budaya penggunaan smartphone membuahkan kebiasaan pengendara untuk cenderung berinteraksi dengan smartphone-nya dibanding mengamati sekitarnya pada saat berhenti di persimpangan.
Dari sini jika dibandingkan aspek sistem nilai kita dimana Gejayan harusnya menjadi tempat yang baik untuk billboard, terjadi pertentangan ekstrim. Dari sini kita bisa mengidentifikasi permasalahan sosiologi desain yang terjadi di Pertigaan Gejayan. Aspek manusia mengatakan pengendara tidak suka dengan iklan luar ruangan, sementara aspek sistem nilai justru mengatakan iklan luar ruangan harusnya dapat berfungsi dengan efektifitas tinggi di tempat tersebut.
Di sini masalahnya adalah iklan luar ruangan yang harusnya bekerja efektif di tempat tersebut malah seakan menjadi 'sampah visual' bagi masyarakat di sekitarnya, seakan iklan yang sudah didesain sedemikian rupa ini malah menjadi sangat tidak efektif dan melenceng jauh. Gejala yang datang dari wawancara adalah tanda bahwa iklan luar ruangan tidak efektif untuk menyalurkan pesan dan menjadi agen iklan yang baik, padahal iklan luar ruangan harusnya menjadi penyampai informasi yang efektif terutama karena berada di lokasi yang sangat mendukung tujuan berdirinya iklan itu.
Setelah kita menjawab masalah sosiologi desain, selanjutnya kita akan bergerak ke 'Teori Segitiga Triadik Sumbo Tinarbuko,' untuk mengidentifikasi aspek pembangunan dan budaya kreatif yang muncul akibat masalah ini.
 Aspek pembangunan yang bisa dibuat dari kasus ini adalah upaya-upaya industri periklanan untuk beradaptasi melawan susahnya mencuri perhatian pengendara untuk melihat ke iklan mereka, upaya seperti desain yang lebih menarik dan pesan yang lebih pendek dan terangkum digunakan untuk membawa pesan dari iklan ke konsumen pengendara sebelum pengendara tersebut membuka smartphone nya saat berhenti. Upaya yang dilakukan industri secara keseluruhan termasuk pendorongan upaya periklanan digital yang melibatkan media sosial. Alat beriklan di media sosial seperti Instagram bisa dikatakan sebagai sebuah alternatif modern untuk membawa iklan yang tersasarkan kepada audiens yang lebih cenderung mengecek smartphone-nya lebih sering pada kesehariannya.
Lalu, budaya kreatif yang muncul dari perkembangan ini adalah bahwa iklan luar ruangan menjadi bagian dari tata kota itu sendiri daripada media beriklan karena iklan luar ruangan dianggap ada begitu saja sebagai sekedar pelengkap lanskap kita di kesadaran masyarakat. Daripada digunakan sepenuhnya untuk beriklan beberapa iklan luar ruangan dibuat untuk menutupi 'ruang kosong' di pojok-pojok kota kita, misalnya menutupi kuburan seperti kasusnya di Pertigaan Gejayan, atau hal-hal lainnya seperti perkampungan kumuh, pembuangan sampah, lahan konstruksi dan sebagainya.