Que sera-sera
Whatever wil be will be
The future not our to see
Que sera-sera
It will be will be
Saya sering mendengar cerita mengenai anak tidak normal. Masyarakat sering meyebut anak-anak yang tidak sama dengan orang lain dengan sebutan tidak normal. Saya membayangkan perasaan orang tua yang memiliki sebutan "anak tidak normal" tersebut. Pikiran saya melanglang jauh membayangkan andai saya sudah punya anak, pasti sedih rasanya jika dikatai demikian.Â
Bahkan ada orang tua yang depresi dan merasa gagal sebagai orang tua. Ada pula yang dengan tabah menjaga dan menyayangi anak tersebut tanpa membedaka-bedakannya. Masyarakat kita memang masih perlu belajar lagi mengenai perilaku anak dan kebutuhannya. Anak berkebutuhan khusus disingkat ABK terdengar lebih enak di telinga dibandingkan menyebut mereka anak tidak normal. Lalu apa yang kalian pikirkan mengenai down syndrome? Apakah yang kalian pikirkan mengenai anak berkebutuhan khusus. Kemudian apa yang terpikir tentang autisme dan anggapan mengenai anak tidak normal.
Kesetaraan pendidikan inilah yang perlu diperhatikan orang tua dan pemerintah. Karena walaupun anak tersebut memiliki ketidakmampuan tertentu, ia masih punya hak untuk belajar seperti anak yang lainnya. Tentunya di tempat atau sekolah yang menyediakan pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus. Mengingat dari Data Direktorat Pendidikan Dasar dan Menengah Kemendikbud Tahun 2015 bahwa jumlah anak berkebutuhan Indonesia mencapai 1,6 juta orang.
Ada berbagai macam jenis-jenis anak berkebutuhan khusus. Namun khusus untuk kebutuhan pendidikan inklusi, anak yang berkebutuhan khusus dikelompokan menjadi 9 jenis, yaitu tunanetra/anak yang mengalami gangguan penglihatan, Tunarungu/anak yang mengalami gangguan pendengaran, Tunadaksa/mengalami kelainan angota tubuh/gerakan, Tunagrahita perkembangan mental jauh di bawah rata-rata, Lamban belajar (slow learner), Anak yang mengalami kesulitan belajar spesifik, Anak yang mengalami gangguan komunikasi, dan Tunalaras/anak yang mengalami gangguan emosi dan perilaku.
Pada tanggal 22 September 2017. Saya mendapatkan kesempatan untuk bergabung bersama Kompasiana Jogja untuk dolan sosial di SLB Negeri 2 Yogyakarta. SLB Negeri 2 Yogyakarta masuk ke dalam kategori SLB C. Kategori ini digunakan untuk sekolah yang menampung difabel grahita. Namun, tidak jarang orang tua murid yang merasa nyaman memasukkan anaknya sekolah di SLB N 2 Yogykarta, walaupun anaknya bukanlah difabel grahita. Selain karena lokasinya yang strategis. Kenyamanan dan pelayanan di SLB Negeri 2 Yogyakarta menjadi hal yang diutamakan.
Saya datang bersama 3 orang teman saya dan 1 orang dari SAPDA sebuah yayasan yang telah lama malang melintang di bidang advokasi perempuan difabel dan anak yang berpusat di Jogja. Pengalaman pertama bertemu dan berinteraksi dengan anak-anak baik ini, membuat saya menahan air di ujung mata saya. Kepolosan dan kejujuran mereka bagaikan manusia yang tanpa dosa. Meskipun memiliki kekurangan mereka nampak gembira. Kami bermain dan belajar. Membagikan buku dan hadiah-hadiah agar anak-anak terlatih untuk membaca buku dan berani bicara di depan teman-temannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H