Mohon tunggu...
Cerita Pemilih

Populis Gaya Baru: Tren Populis di Pilkada Jakarta (2017)

12 Juli 2017   11:27 Diperbarui: 12 Juli 2017   12:45 2269
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Populisme kanan dan populisme Islam di Pilkada Jakarta

Pilkada Jakarta membuka mata kita akan adanya bentuk populisme lain yang sedang menguat: populisme Islam. istilah ini dipinjam dari Vedi Hadiz, dikutip oleh Ari Perdana dalam artikel IndoProgress berjudul "Menguatnya Populisme: Trump, Brexit hingga FPI." Istilah populisme Islam merupakan cara untuk mendefinisikan sebuah tren yang memiliki anatomi mirip dengan populisme, atau seperti kategori keluarga partai politik milik Mudde. Secara spesifik ia mirip dengan populisme kanan, sekaligus membawa Islam atau muslim sebagai identitas kelompok. Menurut Ari, istilah populis Islam juga bisa digunakan untuk membedakan dengan Islam radikal, atau Islam politik yang bergerak di jalur politik elektoral.

Jelang akhir 2016 lalu, rangkaian aksi "Bela Islam" dimulai. Dari situ dapat tergambarkan kelompok Islam populis yang tergabung dalam beberapa kelompok di Jakarta, yang boleh jadi terdiri atas grup-grup vigilante, kelas menengah (ke atas maupun ke bawah) religius, beberapa elit pemuka agama, tokoh politik dan bisnis. Aksi "Bela Islam" secara tegas menuntut Gubernur DKI Jakarta, Basuki (Ahok) dipenjarakan sebab dianggap "menistakan Islam dan Kitab Suci Al-Quran."

Rangkaian aksi "Bela Islam" susulan yang dilakukan pun masih menuntut hal yang sama. Klaim jutaan orang berkumpul demi menuntut Basuki dipenjara menjadi heboh dan viral bagi yang pro dan kontra. Oleh kelompok ini, aksi "Bela Islam" setara dengan jihad (membela Islam). Ini merupakan aksi untuk menunjukkan ekspresi kelompok dalam jumlah sangat besar, yang secara demografis merupakan mayoritas. Aksinya pun selalu dilakukan di Ring-1 Jakarta: Monas, Mesjid Istiqlal, Mabes POLRI, dll. Tapi, kita perlu berhati-hati dalam menuliskan "umat Islam" karena ada sebagian banyak "umat Islam" lain yang tidak sudi dikategorikan ke dalam kelompok Islam Populis.

Sebagaimana diketahui bahwa Basuki (bersama Djarot) merupakan lawan dari Anies-Sandi dalam kontestasi Pilkada Jakarta. Motif politik yang beredar luas di masyarakat hampir dipastikan menginginkan Basuki agar mundur dalam pencalonan dirinya sebagai Gubernur DKI Jakarta, yang mana semakin membulatkan tekadnya untuk terus maju.

 Di satu sisi, hal tersebut justru menguntungkan Anies-Sandi. Mereka seolah-olah abai pada isu aksi "Bela Islam". Tapi, sebagian masyarakat lain tahu bahwa tokoh-tokoh yang datang dan menggerakkan aksi "Bela Islam" tak lain merupakan para pendukung Anies-Sandi. Di sini kita dapat melihat di mana keberpihakan Anies-Sandi dalam politik elektoral (Pilkada) yang diuntungkan oleh politik jalanan, lewat serangkaian aksi "Bela Islam". Lalu samakah 'masyarakat kebanyakan' yang kerap disebut oleh Anies dengan mereka yang melakukan aksi "Bela Islam", yang menjadi representasi Islam populis?

Selain itu, penggunaan narasi nativism kerap muncul dalam penguatan identitas gerakan umat Islam di Indonesia. Menariknya, isu SARA tidak pernah secara tegas diangkat dalam aksi "Bela Islam" sebab sasaran utama dari aksi adalah Basuki yang notabene beretnis Tionghoa dan beragama Kristen. Di luar aksi tersebut, saya sering jumpai sentimen SARA maupun 'anti-asing' dan 'anti-aseng' mewarnai berita di media massa, daring, maupun perdebatan di media sosial. Selalu ada satu atau dua topik yang menjadi trending topik di Twitter, misalnya, yang ramai berbicara tentang "Ahok", "Bela Islam", "Aksi 212", dan lainnya. Hari-hari terakhir ini, saya pun masih menemui ceramah keagamaan maupun spanduk bertebaran yang mengindikasikan secara tidak tegas bahwa akan ada aksi lanjutan yaitu "Bela Ulama" yang mana senafas dengan aksi "Bela Islam".

Penutup: tantangan untuk masa depan Indonesia?

Idi Subandy Ibrahim dalam Hegemoni Budaya mengutip bagaimana kekecewaan Bung Hatta sewaktu merasa ruang publik untuk rakyat diintervensi oleh tokoh politik kolonial. Kekecewaan tersebut yang akhirnya mendorong Bung Hatta merintis majalah Daulat Rakyat, semacam ruang publik yang akan mempertahankan asas kerakyatan yang sebenarnya dalam segala susunan: dalam politik, perekonomian dan pergaulan sosial, tulis Ibrahim dalam Hegemoni Budaya (1997: 339-340).

"Bagi kita rakyat itu yang utama, rakyat umum yang mempunyai kedaulatan, kekuasaan (souveriniteit). Karena rakyat adalah jantung hati bangsa. Dan rakyat itulah yang menjadi ukuran tinggi rendahnya derajat bangsa kita. Dengan rakyat kita akan mati dan dengan rakyat itulah kita akan tenggelam. Hidup atau mati rakyat Indonesia bergantung pada semangat rakyat. Penganjur-penganjur dan golongan terpelajar baru ada artinya, kalau di belakangnya ada rakyat yang sadar dan insaf akan kedaulatan dirinya," demikian Bung Hatta.[7]

 Ide Bung Hatta di atas tak lain adalah semangat idealis populisme yang terjadi di jamannya, berikut konstelasi politik yang cenderung Kiri. Namun hari ini kita lebih banyak melihat poros atau sayap Kanan yang populis -- bahkan ultra nasionalis. Tentu banyak yang berubah. Bila dahulu ruang publik dikuasai kelas menengah, kini masyarakat kebanyakan yang kelas menengah ke bawah juga insyaf akan haknya yang sama atas ruang publik. Aksi "Bela Islam" berjilid dapat kita tandai dalam konteks ini sebagai dan sekaligus kebangkitan Islam populis yang marak mewarnai media di Indonesia. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun