Mohon tunggu...
Humaniora

Menonton Jakarta dalam Dongeng

29 November 2016   03:01 Diperbarui: 29 November 2016   03:27 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

“Selamat datang kembali ke dunia khayal.” Ucapan itulah yang langsung terlintas di benak saya kala menyaksikan Festival Dongeng Indonesia 2016 di Museum Nasional Jakarta pada 5-6 November 2016 lalu. Saya pikir bukan hanya saya yang menikmati acara itu karena yang membuat saya agak takjub adalah ramainya orang yang datang dari hampir seluruh penjuru Jakarta, bahkan juga dari luar kota. Saya cukup heran dan bertanya-tanya, apakah semua orang ini datang ke museum untuk lihat dongeng? Tentunya, bisa iya dan juga bisa tidak. Tapi itulah kenyataannya. Toh, museum ini selalu ramai, dengan atau tanpa adanya festival. Saya merasa senang serta bersyukur bahwa masyarakat Jadebotabek sudah mulai sadar akan pentingnya museum. Saya juga berani menebak kalau Museum Nasional yang megah ini tak pernah sejengkalpun kehilangan pengunjung.

Hampir setiap minggu ketika saya melintasi Museum Nasional sesaat setelah CFD-an, yang selalu tertangkap oleh mata adalah keramaian di bagian luar maupun dalam museum. Itu pun sejauh pandangan saya dapat menembus bangunan kaca yang tampak dari depan Jalan Medan Merdeka Barat di mana Museum Nasional, yang sebelumnya lebih populer dengan nama Museum Gajah, berdiri sejak 24 April 1778.

Hari itu pantas saya ingat karena ada begitu banyak manusia urban Jakarta (termasuk dari luar kota) yang ramai-ramai datang ke museum untuk merayakan alih-alih menyaksikan dongeng dalam bentuk Festival Dongeng Indonesia 2016. Bukankah dalam dongeng kita menemukan segala yang sakral dan profan? Karena di museum, segala yang sakral dan profan bertemu lalu menyejarah ke dalam ingatan manusia melalui artefak maupun prasasti. Atau, jangan-jangan kita sedang berusaha memuseumkan dongeng?

Masyarakat tontonan: Jakarta dalam dongeng

Suhu politik Jakarta sejak awal hingga menjelang akhir November 2016 ini semakin memanas. Satu isu saja hampir membuat kondisi tersebut semakin panas hingga mampu memecah kerukunan dan persatuan. Masa-masa kampanye Pilkada Jakarta membuat orang-orang lupa bahwa masalah yang menghinggapi tidak dan bukan hanya masalah dugaan penistaan agama. Masih banyak masalah lainnya yang diidap oleh Jakarta. Unjuk rasa damai besar-besaran tanggal 4 November 2016 lalu menjadi saksi bagaimana panasnya isu dugaan penistaan agama ini dicatat oleh berbagai media baik nasional maupun internasional. 

Belum lagi maraknya kabar burung bahwa akan terjadi unjuk rasa yang lebih besar lagi pada 2 Desember 2016 esok. Aroma permusuhan mulai tercium di sekitar kita. Semua pihak saling tuding sebagai yang paling benar berdasarkan pemahaman dan keyakinannya masing-masing. Logika dan rasa persatuan yang mengidealkan kerukunan seakan diabaikan begitu saja.

Mungkin, logika/nalar kita sebagai orang dewasa sedang kehilangan rasa. Dalam hemat saya, kita tidak boleh semena-mena memisahkan antara logika/nalar dan rasa. Sejauh pemahaman saya, dongeng mengajarkan kita untuk memadukan keduanya. James Danandjaja (1984: 83) menjelaskan dongeng sebagai cerita pendek kolektif kesusastraan lisan. Dongeng adalah cerita prosa rakyat yang tidak dianggap benar-benar terjadi, diceritakan terutama untuk hiburan, walaupun banyak juga yang melukiskan kebenaran, berisikan pelajaran moral, bahkan sindiran. 

Di balik kalimat pembuka maupun penutup dari suatu dongeng yang kadang klise, tetapi selalu membawa pesan moral. Misalnya, para orang tua suka mendongengkan anak-anaknya sebuah kisah pertentangan antara sang peri baik hati dan sang iblis jahat. Dongeng ini pasti berakhir dengan kemenangan peri serta diikuti oleh kekalahan iblis. Pesan moral yang dapat diambil bisa berupa apa saja.

Kita bisa membayangkan Jakarta hari ini seperti apa yang digambarkan oleh Guy Debord (1967) sebagai “The Society of Spectacle” atau masyarakat tontonan. Masyarakat tontonan ini merupakan sebuah kritik atas budaya konsumen kontemporer dan pemujaan terhadap komoditas, yang mana berkaitan dengan isu-isu seperti alienasi kelas, homogenisasi budaya, serta media massa. Apa yang kita saksikan melalui media hanyalah kumpulan citra (image) atau gambar yang pernah ‘langsung hidup’ (live) dan menjadi representasi belaka, kemudian terangkum dalam berbagai bentuk.

Gambar itu sendiri telah menggantikan interaksi manusia yang sebenarnya. Tontonan yang kita lihat sehari-hari ini bukan hanya merupakan koleksi gambar melainkan hubungan sosial antara orang-orang yang dimediasi oleh gambar. Dalam masyarakat konsumen, kehidupan sosial bukan hanya tentang hidup tetapi tentang memiliki. Tontonan menggunakan gambar untuk menyampaikan apa yang orang butuhkan dan harus miliki. Akibatnya, kehidupan sosial bergerak lebih jauh meninggalkan keadaan ‘memiliki’ menuju keadaan ‘muncul’. Sehingga yang paling penting yaitu menampilkan atau memunculkan gambar. Lalu ketika dunia sudah kocar-kacir, yang benar terjadi adalah momen palsu.

Dongeng Jakarta milik siapa?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun