Mohon tunggu...
Eko Setiaone
Eko Setiaone Mohon Tunggu... Freelancer - Human-Center Oriented Activism, Participatory Planner, Story Teller, Free man

"Kesalahan besar bangsa ini adalah seringkali melupakan sejarah, dan mengabaikan aspirasi orang-orang kecil. Dunia sudah modern, seharusnya tak menjadi penghalang. Saya memelajari sejarah dan mencari aspirasi dari masyarakat marginal untuk melawan kesembarangan pemerintah/ perusahaan/ pelaku usaha. Dunia tak akan adil jika semua orang menjadi kapitalis"

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Terbunuh Kebijakan Kampus, Aktivisme Harus Lawan dengan Ko-Kreasi

29 Oktober 2019   18:15 Diperbarui: 29 Oktober 2019   18:50 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : Dokumentasi tim, 2018

Ada rekan lama, dia mengkritik kepadaku, kok beda sih mas kepengurusan zaman mas Eko dengan zaman mas S ? BEM ITB sekarang, lieur euy. Diajak kesana-sini, tidak mau sama-sekali. Padahal esensi kita dekat kan, supaya bisa kolaborasi bareng.

Sebenarnya, hal ini kondisi umum yang sering kita temui di Indonesia (hari ini), dimana suksesi kepemimpinan yang berbeda-beda antar kepengurusan, belum lagi kalau sudah antar generasi pastinya akar permasalahannya akan kompleks.

Pola pergerakan mahasiswa yang menjadi opsi narasi mereka yakni kontra-lawan pemerintah, semu-produktif dan kolaborasi-keterbukaan-pembelajaran.

Satu, bagaimana kemahasiswaan akan selalu berada pada titik puncak idealisme mereka. Secara harfiah, usia 20-25 adalah usia pencarian jatidiri sehingga wajar saja, jika mereka mendambakan hidup yang ideal- sesuai aturan dan bahkan hal-hal yang mereka impikan dalam teori pembelajaran di kelas-kelas. 

Wajar saja, sebagian besar dari mereka tentu akan mensyaratkan (jangan ngaku aktivis) kalau belum pernah demo/ bicara di ruang publik, jalanan dll. 

Dengan realita itu, mereka sering kali membawa narasi kritis, dan pesimis terhadap upaya yang dilakukan pemerintah (kebijakan, program dan kegiatan dsb).

 Mereka memberanikan diri turun ke jalan, dengan alasan kegelisahan dan kegiatan dialektika yang (mungkin) menurut mereka sudah cukup menggambarkan kegelisahan mereka. Aktivisme kemahasiswaan ini booming di era orde lama dan orde baru, untuk mengawal pemerintahan yang cukup otoriter dan menindas rakyat. 

Mereka menyuarakan kegelisahan mereka, dalam memberantas KKN, dan hal-hal lain. Alhasil, aktivisme ini menghasilkan beberapa aktivis yang terbiasa berperan sebagai seorang legislator / politisi dan orang-orang yang berdiri di belakang kepentingan (ormas/ partai/ kelompok). 

Mereka sangat mengandalkan kekuatan sosial dan lobi-lobi politik yang diselesaikan lewat jalur konfrontasi / perlawanan, sesuai karakteristik mereka. Sebut saja, Adian Napitupulu (UKI), Fahri Hamzah (UI), Budiman Sudjatmiko (UGM), Hilmar Farid (UI), dsb

Selanjutnya, selepas masa reformasi dan menuju masa transisi, kita dihadapkan pada beberapa situasi seperti supremasi hukum dan beberapa tuntutan reformasi yang mendorong pada demokrasi multipartai.  

Aktivisme kemahasiswaan di era 2000-2012 terlihat semu- dan senyap karena mereka berada pada dua kaki. Disamping mereka masih menyisakan karakter mereka (keras, kritis dll), mereka juga menguatkan diri dan kepentingan organisasi mereka. 

Alhasil era kemahasiswaan ini menghasilkan beberapa orang yang memiliki karakter kritis-pandai menempatkan diri (adaptif) dan berorientasi pada membangun hubungan kekerabatan- keluarga. Angkatan periode ini, sebut saja Faldo Maldini (UI), Ridwansyah Yusuf (ITB), Tizar Bijaksana (ITB), dan beberapa lulusan lain. 

Keahlian mereka membangun kekerabatan dari luar dan dalam, mayoritas dari mereka kini berkiprah sebagai seorang pendidik (dosen), pejabat publik pemerintahan (eksekutif) dan di ranah swasta. 

Kekuatan mereka adalah membangun kharisma dan kepercayaan publik atau individu, kepandaian mereka mengelola situasi mendukung karier mereka untuk berkiprah di ranah strategis lainnya. 

Yang unik, disaat mereka menjadi agen seniornya ke bawah, mereka juga bisa mengkritik dengan "pedas" dan mengemas ragam gerakan parlemen jalanan yang elegan, dengan mulai mengenalkan dialektika aktivis dengan pakar di lingkungan kampus

Era terakhir kemahasiswaan selanjutnya, bisa dikatakan era keterbukaan-kolaborasi dan pembelajaran. Tahun 2013, kita bisa melihat beberapa gerakan akar rumput lahir dengan cara dan platform baru dengan menonjolkan sisi kerelawanan, dan pengembangan diri (CV) ditunjang sentuhan IT (online based). 

Banyak sekali, platform baru yang dibangun untuk menampung kreativitas pergerakan mahasiswa yang mulai dikenalkan di kampus, dari yang sifatnya, ekspedisi- pengaryaan dan lain-lain.

Secara umum, era ini tidaklah jauh berbeda dengan era sebelumnya. Generasi yang aktif di kepengurusan mahasiswa tahun 2013- 2019 adalah mereka yang sering kita sebut, millennial dan post millennial. 

Mereka punya warna baru dan gagasan besar (abstrak) dan sangat sulit dibahasakan secara sederhana dan taktis pada orang lain. Gagasan mereka bagus tetapi tidak dibangun operasionalisasi yang realistis sehingga terkadang mereka tak lebih dari seorang kaum / kelompok papa, kepada senior-senior nya yang sukses. 

Adapun dari mereka yang telah sukses di usia muda, dapat dipastikan, mereka bukanlah aktivis benar-benar (jalanan/ blusukan) di luar kampus. 

Mereka menaruh kesuksesan di usia muda, mayoritas adalah pribadi-pribadi unggul berorientasi pada nilai/ IPK dan CV (biodata diri)/ portfolio. Definisi sukses disini adalah mereka yang berkarier di luar ranah pemerintahan, swasta atau ormas. 

Sukses disini lebih pada mereka membangun jejaring-profit dari upaya bisnis yang mereka bangun sendiri. 

Generasi ini sudah banyak rekaan dan kelinci percobaan dari kebijakan-kebijakan pemerintah, sehingga produknya mereka kental sekali dengan alur birokratis dan sistematis-prosedural. Produk generasi ini secara tidak langsung terbunuh oleh kebijakan kampus itu sendiri.

"Organisasi bukan lagi tempat tongkrongan yang dipenuhi rokok dan kopi, tetapi organisasi adalah wadah untuk memperbincangkan awal perubahan", begitu kesan seorang aktivis di bandung yang bercerita ke saya.

Setali tiga uang, saya juga beranggapan demikian (hari ini). Organisasi adalah media perantara untuk memobilisasi gagasan terhadap perubahan. 

Namun dalam pelaksanaannya, kita terlalu banyak melihat pengaturan dan pelembagaan kepada mahasiswa agar melaksanakan apa yang kita perlukan, bahwa itu benar menurut "kita", bukan menurut mahasiswa itu sendiri. 

Produk generasi terakhir ini, umumnya bermuara pada penerapan karya dan pengabdian masyarakat sehingga banyak sekali kegiatan mahasiswa diarahkan dan disetel oleh lembaga pemerintah/ institusi sebagai model percontohan terbaik gerakan untuk mahasiswa. 

Salah satu gerakan mahasiswa yang saya pikir real, adalah gerakan penerapan karya yang dikelola oleh DIKTI di tiap tahun.

Program PKM DIKTI yang mengukur sejauh mana kepedulian dan perhatian mahasiswa terhadap beragam isu di lapangan dengan menuangkan gagasan melalui tulisan (proposal/ dsB) dan diajukan kepada Menristekdikti.

Beberapa kampus, memiliki fokus penelitian masing-masing dan menggunakan pendekatan masing-masing. Salah satu di antara semua itu, adalah Kampus ITB. 

Program PKM yang dahulu diinisiasi oleh DIKTI dan bisa diikuti oleh mahasiswa siapapun, kini dilembagakan. Semua prosedur penulisan Proposal PKM diatur sedemikian rupa oleh lembaga tersebut, dan lembaga itu dipimpin oleh seorang atau sekelompok orang yang mendapat gaji oleh ITB. KPI "Key Performance Index" mereka memang terukur dengan lembaga itu. 

Parameter yang dibangun dari lembaga ini tentu, seberapa banyak mahasiswa yang terlibat PKM dan seberapa banyak mahasiswa ITB juara dalam PKM PIMNAS, Cenderung kuantitatif. Sedih sekali ! Alasannya demi nama baik kampus.

Kita mengevaluasi pada gerakan penerapan karya di lembaga jurusan (program studi) di ITB. Dimana dari sebagian mereka, diarahkan untuk bisa mendorong keterlibatan ITB di ajang tahunan DIKTI. Mereka dipaksa berkarya dengan model "standardisasi" berupa proposal standar yang menurut sebagian orang (penilai) itu benar dan yakin akan meloloskan ITB dalam ajang PKM.

Saya bisa mengatakan bahwa mekanisme ini adalah "Kemahfiaan Akademis"

Lalu bagaimana mereka yang memiliki gagasan baik dan tidak terakomodir di PKM ? 

Mereka yang tidak terakomodir (tidak lolos PIMNAS/ Tidak menjadi partisipan), ternyata tetap bergerak pada realitas aktivisme kemahasiswaan. Mereka aktif terlibat dalam organisasi (intra dan ekstra kampus), dan umumnya mereka yang tidak aktif dalam lembaga atau ajang tahunan DIKTI ini menjadi pimpinan organisasi di sana. 

Karier mereka bisa dibilang, tak kalah cemerlang karena sebagian dari mereka sering mengikuti tur seminar (nasional- internasional), pertukaran studi (exchange) dan termasuk memilih demo di jalanan atau di kalangan masyarakat (sebagian ada).

Mereka justru lebih terlihat sebagai orang yang vocal menerapkan gagasannya dan mewujudkan akan mimpi-mimpi mereka. Mereka justru lebih dikenali di massa kampus, daripada mereka yang sering mengikuti PKM itu sendiri. Karier mereka terbangun dari jalur aktivisme dan pertemanan yang luas.

Sementara jejaring rekan-rekan PKM? 

Tidak. Mereka yang seringkali lolos PKM Pimnas DIkti justru lebih memilih bekerja menjadi karyawan atau pegawai pemerintahan. Mereka tak benar-benar serius membangun profil diri melalui gagasan pergerakan penerapan karya dari perlombaan tahunan PKM itu sendiri. 

Selain tak ada kontrol keberlanjutan dari pihak DIKTI dan kampus, untuk mengelola bisnis plan dari gagasan mereka. Mereka yang menang dari PKM DIKTI, justru lebih sering ditinggal (tanpa modal, tanpa pendampingan).

Gagasan Peserta PKM PIMNAS lebih sering menjadi tumpukan kertas di Lembaga Kemahasiswaan ITB dan tidak benar-benar serius untuk diimplementasikan lebih jauh kepada yang bersangkutan. 

Selesai lomba- Sudah selesai

Realita itu pun harus dihadapi kembali, kala, mendengar bahwa mahfia-mahfia ini justru diberi akses yang luas untuk mengelola think thank pergerakan kemahasiswaan berbasis karya di kampus ITB hari ini.

Saya sangat prihatin mendengarnya karena apabila ITB In Move, program dari BEM /Keluarga mahasiswa ITB justru di take over oleh mereka.

Pergerakan mahasiswa, juga bergerak tanpa saling belajar dan mengajari, sehingga yang tumbuh satu-sama lain adalah ego sektoral sesuai apa yang "ia dan kelompoknya (himpunan- unit kemahasiswaan)" yang mereka yakini bahwa itu benar. 

Aktivis, sebutannya, hanya mengambil peran di lingkungan mainnya saja (kampus/ organisasi) tanpa mengambil benar-benar peran yang ia miliki untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan masyarakat hari ini.

Dalam beberapa dialog dengan warga masyarakat di sekitar perantauan, saya melihat pergerakan mahasiswa hari ini sangat etik sekali dalam mendekat. Prinsip-prinsip mereka untuk lebih memudahkan dialog perubahan dengan duduk lesehan bersama warga jadi makin renggang. 

Ada sekat-sekat, antara mahasiswa dan masyarakat yang justru diciptakan oleh model-model kebijakan kampus atau kurikulum penerapan studi yang akan membunuh mahasiswa nya itu sendiri.

Dunia aktivisme kemahasiswaan masih punya pengharapan yang baik, setidaknya untuk beberapa tahun ke depan. 

Dengan catatan, keterbukaan-kolaborasi dan pembelajaran diri, benar-benar melibatkan seluruh kebutuhan dan kepentingan kelompok mahasiswa dan menjadi arah baru.

Mereka yang tidak lolos dalam kegiatan PKM DIKTI/ Seminar dsb bukan berarti mereka adalah mahasiswa yang malas atau justru akademik oriented melainkan bisa saja, faktor-faktor lain seperti ketidakhadiran Kurikulum atau dukungan lainnya (insentif, mentoring karya dan CV dan lain-lain) tak dapat mereka akses. 

Pun mereka yang sering ikut PIMNAS, mereka juga bisa kita katakan seorang aktivis karya karena mereka benar-benar berhasrat menerapkan pengetahuannya ke luar kampus. Khusus untuk para aktivis BEM di kampus hari ini, janganlah mimpi terlalu tinggi dan besar dengan angan-angan gagasan yang makin melahirkan ketidakpastian. 

Banyak aktivis yang akhirnya tak bisa hidup dari kehidupan nya yang selalu "ideal" dengan mengkritik pemerintah di jalan, banyak aktivis yang tak bisa hidup dari mengandalkan proyek/ riset dosen karena mereka juga terkendala finansial yang harus ada tiap waktu. 

Ujungnya, mereka berkoloni dengan pemerintah dan hidup bersama-sama. Ke depan, aktivisme / pergerakan kemahasiswaan harus memberikan pembelajaran diri, membuka seluas-luasnya keterlibatan berbagai lintas sektor dan kepentingan serta mengedepankan semangat kolaborasi.

Jika terlalu abstrak, maka katakanlah bahwa hari ini, aktivis adalah seorang mahasiswa yang aktif berkuliah dan berdialektika secara akademis dengan dosen atau sivitas akademika di kampus. Aktivis hari ini adalah seorang pemuda Tangguh, bermental wirausaha dan tidak menggantungkan hidup sendiri atau organisasi dari alumni/ senior.

Berani berkatalah, kalau aktivis hari ini, adalah aktivis muda yang sudah banyak berkegiatan dengan masyarakat sekitar, di lingkungan kampus. Berani berkatalah, bahwa kalian tak hanya belajar sendiri akan tetapi mampu mengajak dan membimbing adik-adik juniornya terlibat dalam kegiatan.

Jika hari ini, kita sudah terbunuh (mahfia kampus, kebijakan kampus, dan pemerintah) maka lawan dengan pergerakan mandiri tanpa sekat dan aturan. Bergerak atas narasi perubahan diri dan sosial. Mari Ber ko- kreasi !

Saya sebagai tenaga fasilitator di Kecamatan Coblong, menawarkan kepada rekan-rekan mahasiswa/ i di ITB, dan sekitarnya (kecamatan Coblong) untuk mengaktivasi diri dengan berkarya dan berjejaring dengan Forum Inovasi Teknologi Tepat Guna di Kecamatan Coblong. 

Kami memiliki fokus dan prioritas anggaran yang didukung oleh komitmen bersama antara warga dengan masyarakat, yang mau mengubah dirinya dan lingkungan nya dengan peran sentuhan inovasi dan perubahan. 

Kami menyediakan platform pengembangan diri (sekretariat kegiatan/ co-working space, piagam pengharagaan/ sertifikat, surat pengalaman aktif kegiatan dan dukungan dana atau keterlibatan diri) di forum sosial pembangunan daerah. 

Kami menilai bahwa birokrasi dan kebijakan kampus yang berbelit, harus kita lawan dengan semangat produktivitas sosial yang bersifat ko-kreasi. Kita bisa menggunakan alokasi dana CSR dan akses kepada pemodal untuk mengeksekusi prototipe ide / gagasan.

Pergerakan Era Baru- Mahasiswa (Ko-kreasi)

1. Forum Inovasi Teknologi Tahun 2018

2. Forum Inovasi Teknologi tahun 2019

Sumber : Dokumentasi tim, 2019
Sumber : Dokumentasi tim, 2019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun